SELAMA ini tidak diketahui secara pasti kapan Islam dikenal oleh masyarakat di tatar Pasundan. Yang jelas dari hasil penelitian J.C. van Leur yang dipublikasikan dalam Indonesia Trade and Society: Essay in Asian Social Economic History diketahui bahwa penyebaran Islam di pulau Jawa masuk melalui pantai utara oleh para saudagar Arab.
Sejarawan A. Sobana Hardjasaputra dalam bukunya Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20 juga meyakini jika Jawa Barat menjadi daerah pertama yang disinggahi Islam setelah pantai Sumatera. “Berdasarkan letak geografisnya, dan dihubungkan dengan peranan saudagar-saudagar Muslim, mungkin pantai utara Jawa Barat adalah daerah di Pulau Jawa yang lebih dahulu dimasuki agama Islam,” tulisnya.
Mulanya hubungan masyarakat Sunda dengan orang-orang Arab ini hanya terbatas pada kepentingan ekonomi saja, tetapi lambat laun mereka mulai mengenal aktivitas keagamaan yang dijalankan para saudagar Muslim tersebut. Hal itu membuat masyarakat Sunda Hindu tertarik untuk mempelajarinya. Sehingga mulai terbentuklah kelompok-kelompok Muslim di Jawa Barat.
Baca juga: Islam Arab atau Islam Cina?
Pada 1867, seorang peneliti sejarah berkebangsaan Belanda, J. Hageman menelusuri tentang hikayat agama Islam di barat Jawa. Dalam bukunya, “Geshiedenis der Soendalanden”, dikatakannya bahwa orang Sunda pertama yang memeluk agama Islam adalah putra Prabu Kuda Lalean, yang mendapat julukan Haji Purwa.
Hageman menggunakan sumber-sumber lokal, termasuk penuturan masyarakat, untuk melacak keberadaan muslim pertama dari etnis Sunda tersebut. Menurutnya Haji Purwa dahulu bekerja sebagai pedagang yang telah melakukan kegiatan hingga ke luar Nusantara.
Dalam penelitian Nina H. Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, disebutkan Haji Purwa tertarik mempelajari Islam pada saat melakukan perjalanan dagang ke India. Saat itu dirinya masih seorang Hindu yang taat. Namun perkenalannya dengan banyak pedagang dari tanah Arab, membuat dirinya perlahan mencoba mengenal lebih dalam agama yang baginya asing tersebut.
“Ia diislamkan oleh saudagar Arab yang kebetulan bertemu di India,” tulis Nina.
Menurut sumber lain, nama asli Haji Purwa adalah Bratalegawa, putra kedua Raja Galuh. Diungkapkan Rokhmin Dahuri dalam Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon, Bratelagawa merupakan seorang saudagar Sunda yang sukses. Ia senang melakukan perjalanan niaga ke luar negeri. Dari sanalah ia mulai berkomunikasi dengan banyak saudagar Muslim, hingga akhirnya diislamkan oleh seorang yang berasal dari Timur Tengah.
Baca juga: Mempertanyakan Bukti Islam Tertua di Jawa
Bratalegawa kemudian menikahi seorang wanita Muslim dari Gujarat, bernama Farhana binti Muhammad. Keduanya lalu memutuskan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah kembali, Bratalegawa mengganti namanya menjadi Haji Baharudin al-Jawi. “Oleh karena ia merupakan haji pertama di Galuh, maka ia disebut Haji Purwa (pertama),” tulis Rokhmin.
Dari Mekkah, Haji Purwa beserta keluarganya pergi ke Jawa Barat. Mereka tiba di Galuh pada 1337 Masehi. Dibantu oleh kawan Muslimnya dari Arab, Haji Purwa berusaha mengislamkan penguasa Galuh. Namun upayanya mengalami kegagalan karena pengaruh Hindu masih terlalu kuat di Tatar Sunda.
Gagalnya upaya Islamisasi di Galuh membuat Haji Purwa memilih untuk keluar dari pusat kerajaan. Ia pun memutuskan tinggal di Caruban Girang (Cirebon), yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Galuh, dan menyebarkan Islam di sana.
“Hageman dan Ekadjati menghubungkan tokoh Haji Purwa dengan Syeh Maulana Safiuddin, orang Islam pertama yang menetap di Caruban Girang,” tulis Sobana.
Setelah Haji Purwa menyebarkan ajarannya, banyak masyarakat Cirebon yang memeluk Islam. Walau masih terbatas di wilayah Cirebon pesisir, tetapi dari sanalah muncul tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa Barat. Salah satu yang paling berjasa melanjutkan peran Haji Purwa adalah Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.
Baca juga: Islamisasi ala Sunan Gunung Jati