Masuk Daftar
My Getplus

Islamisasi ala Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati memperdalam ilmu agama di tanah Arab untuk disebarkan di Tatar Sunda yang Hindu.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 26 Mei 2019
Kegiatan zikir di Masjid Sang Saka Ratu di Gunung Sembung Cirebon. (Wikimedia Commons).

SETIAP malam Jumat Kliwon aktivitas tidak biasa kerap terlihat di Gunung Sembung, Cirebon Utara: warga berbondong-bondong datang ke Kompleks Makam Astana Gunung Jati untuk berziarah sambil berzikir di masjid Sang Saka Ratu.

Tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan waktu tersebut untuk mengambil air dari tujuh sumur yang tersebar di sekitar kompleks. Namun ada pula yang memilih berdiam di area makam para tokoh pendiri Cirebon yang dimakamkan di sana, salah satunya Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati, atau dikenal juga sebagai Syarif Hidayatullah adalah tokoh penegak Islam pertama di Tatar Sunda. Ia dibesarkan dan dididik di tanah Arab. Mengenal Islam dari tokoh-tokoh besar di Mekah dan Baghdad, membuat pengetahuan Islam Syarif Hidayatullah sangat mumpuni untuk disebarkan kepada masyarakat.

Advertising
Advertising

“Setelah kembali ke Mesir, Syarif Hidayatullah memutuskan untuk menyebarkan Islam di Pulau Jawa yang masih Hindu,” tulis Bambang Setia Budi dalam Masjid Kuno Cirebon.

Diceritakan dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif Hidayatullah tiba di Cirebon pada 1475, setelah sebelumnya singgah di Samudera Pasai, Banten, dan Jawa Timur. Ia datang bersama para pedagang Arab yang singgah di pelabuhan Muara Jati. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Desa Pasambangan.

Baca juga: Islam Arab atau Islam Cina?

Di tempat itu Syarif Hidayatullah mulai mengajarkan agama Islam. Ia dengan cepat diterima oleh masyarakat, walau pada saat itu masih dianggap orang asing (Arab). Setelah beberapa tahun tinggal di sana, Syarif Hidayatullah berhasil mengislamkan penduduk yang mayoritas beragama Hindu.

Kedudukan Syarif Hidayatullah dalam menyebarkan Islam semakin kuat setelah menikahi gadis-gadis lokal. Dalam Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, Ajip Rosidi menulis bahwa Syarif Hidayatullah menikah sebanyak 6 kali, yakni: (1) Nyai Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuwana; (2) Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan; (3) Nyai Kawung Anten, adik bupati Banten; (4) Syarifah Baghdadi, adik Pangeran Panjunan; (5) Ong Tien Nio, putri keturunan Cina; dan (6) Nyai Tepasari, putri Ki Gedeng Tepasari dari Majapahit.

“Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat, ia mendapat sebutan Syekh Maulana Jati,” kata Bambang.

Pada 1479, sepulang berdakwah di Banten, Pangeran Cakrabuwana menyerahkan takhta kekuasaan Cirebon kepada Syarif Hidayatullah. Ia mendapat gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah.

Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda: Babad Cirebon menyebut para wali di Jawa menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panetep Panatagama Rasul di tanah Sunda. Sebutan lainnya Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah SAW.

Baca juga: Cerita di Balik Gambar Sunan Kalijaga

Setelah memangku jabatan penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah segera memutuskan untuk melepaskan diri dari Kerajaan Sunda. Ia menolak memberikan kewajiban upeti, berupa garam dan terasi, kepada Sri Baduga Maharaja.

Mengetahui hal itu, raja Sunda murka. Ia kemudian mengirim Tumenggung Jagabaya dan bala tentaranya untuk mendesak Cirebon.

“Setelah tiba di Cirebon, Tumenggung Jagabaya beserta pasukannya justru beralih agama menjadi Islam. Mereka menetap di Cirebon dan mengabdi kepada Syarif Hidayatullah,” tulis A. Sobana Hardjasaputra dalam Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20.

Peristiwa pengkhianatan pasukannya membuat Sri Baduga Maharaja berencana menyerang habis-habisan Cirebon. Tetapi berhasil dicegah oleh purohita (pendeta tertinggi keraton). Sobana menyebut Syarif Hidyatullah, sebagai Wali Sanga, telah berulangkali meminta raja Sunda untuk memeluk Islam. Namun selalu gagal.

Sejak berhenti memberikan upeti itulah Cirebon menjadi kerajaan Islam yang merdeka dan otonom. Penetapan berdirinya kesultanan pun tercatat pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 1482 Masehi.

Sebagai kepala negara sekaligus kepala agama (wali), Syarif Hidayatullah berperan penting dalam perluasan kekuasaan politik dan agama Islam di wilayah Cirebon. Salah satu jalan dakwah yang menjadi prioritasnya adalah pembangunan sarana ibadah di seluruh wilayah kekuasaannya.

Syarif Hidayatullah mempelopori pembangunan masjid agung Sang Cipta Rasa (1489) sebagai pusat dakwah. Letak masjid berada di samping kiri keraton dan sebelah barat alun-alun. Dalam Babad Cirebon disebutkan pembangunan masjid melibatkan Raden Sepat, mantan arsitek Majapahit. Ia juga dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.

Baca juga: Sebelum Tobat, Sunan Kalijaga Pernah Jadi Begal

Selama masa awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah membangun banyak sarana dan prasarana kerajaan. Seperti sarana transportasi penunjang pelabuhan dan sungai, serta memperluas area jalan di beberapa tempat. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penyebaran agama Islam di wilayahnya.

“Salah satu kearifan Sunan Gunung Jati adalah dalam pemberlakuan pajak. Jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat serta digunakan dengan semestinya,” tulis Sobana.

Syarif Hidayatullah memprioritaskan pengembangan Islam dengan mendirikan masjid-masjid di seluruh wilayah Cirebon. Setelah itu, ia melanjutkannya dengan pembangunan spiritual masyarakat. Sejalan dengan hal itu, wilayah kekuasaan Cirebon pun semakin luas dengan diperkenalkannya ajaran-ajaran Syarif Hidayatullah oleh para muridnya.

Kegiatan dakwah Syarif Hidayatullah di luar Cirebon mencakup daerah Sumedanglarang, daerah Ukur Cibaliung di Kabupaten Bandung, Batulayang, daerah Pasir Luhur, hingga Garut. Syarif Hidayatullah menggunakan pendekatan sosial budaya dalam proses dakwahnya, sehingga ajarannya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.

"Dalam berdakwah, Sunan Gunung Jati juga memanfaatkan pengetahuan masyarakat tentang unsur-unsur legenda dan mitos," tulis Sobana.

Pada 1568, Syarif Hidayatullah meninggal dunia. Ia dimakamkan di Astana Gunung Sembung. Syarif Hidayatullah tampil sebagai kepala pemerintahan Cirebon selama kurang lebih 89 tahun, dan berhasil mengislamkan hampir seluruh wilayah kekuasaannya.

TAG

Islam Cirebon

ARTIKEL TERKAIT

Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Soerjopranoto Si Raja Mogok Dakwah Walisongo Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Pencarian Islam Muhammad Ali Manuskrip-manuskrip tentang Pandemi di Dunia Islam Melihat Pesona Masjid Cut Meutia