Masuk Daftar
My Getplus

Teroris Hendak Membajak Pesawat Garuda Sampai Sri Lanka

Situasi darurat bernegosiasi dengan pembajak pesawat. Adu siasat mengulur-ulur waktu sementara operasi militer sedang menunggu.

Oleh: Martin Sitompul | 15 Jul 2022
Pesawat Garuda "Woyla" yang dibajak pada 28--31 Maret 1981. Tampak pimpinan pembajak bernama Mahrizal berdiri di atas pesawat. (Sumber: Suratkabar "The Nation Review", 30 Maret 1981)

Kepala Bakin (kini BIN) Jenderal Yoga Soegama berang bukan kepalang. Bagaimana tidak, Pesawat Garuda “Woyla” jurusan Jakarta-Palembang-Medan yang sedang transit di Bandara Bayan Lepas, Penang, Malaysia dibajak sekelompok teroris. Celakanya, kedutaan Indonesia di Malaysia sedang kosong sehingga tidak ada yang dapat dihubungi. Kekesalan itu ditumpahkan Yoga kepada B.S. Arifin, Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri.  

“Buatkanlah suatu cara dan kebiasaan menghadapi keadaan darurat. Saya tidak meminta para duta besar harus selalu ada di tempat tugas. Juga wakilnya. Tapi setidak-tidaknya kalau hendak bepergian tinggalkanlah pesan, tinggalkanlah petunjuk di mana mereka bisa dihubungi. Bisa dikontak,” kata Yoga mengeluh seperti dikutip B. Wiwoho dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah.

Sore itu, tanggal 28 Maret 1981, pukul 16.05 waktu Penang. Pesawat Garuda yang dibajak dikabarkan akan terbang menuju Bangkok, Thailand lanjut ke Sri Lanka. Sementara itu, Yoga memerintahkan perwakilan Indonesia di Bangkok bersiap untuk menghadangnya. Ia berpesan agar menahan Woyla selama mungkin sampai mendapat petunjuk dari Jakarta. Pesan itu diterima Duta Besar Letnan Jenderal Hasnan Habib.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sebelum Pembajakan Pesawat Garuda

Waktu memasuki pukul 16.53 sore waktu Thailand. Woyla mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok. Pihak Indonesia menumpang di kantor maskapai penerbangan Belanda KLM yang punya jaringan radio UHF. Dengan peralatan komunikasi itu, mereka dapat terhubung dengan Woyla yang dikuasai pembajak. Hasnan Habib bertindak jadi negosiator sementara.

Sementara itu di Jakarta, Jenderal Yoga menemui Presiden Soeharto, menyampaikan tuntutan pembajak dan menanyakan bagaimana sikap pemerintah. Soeharto menegaskan bahwa tidak ada kompromi dengan teroris. Meski demikian, ia menekankan agar semua penumpang diselamatkan. Soeharto menugaskan Yoga ke Bangkok untuk bernegosiasi dengan pembajak mewakili pemerintah Indonesia. Berbarengan dengan itu, operasi militer pembebasan sandera dipersiapkan, akan dipimpin Asintel I/Hankam Letnan Jenderal Benny Moerdani.

“Yoga diberi tugas untuk melakukan tawar-menawar dengan para pembajak, agar peluang tersebut bisa dipakai untuk mengulur waktu. Sementara sebuah rancangan operasi militer guna membebaskan para sandera juga telah selesai dirumuskan,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan

Baca juga: Jenderal Yoga dan Pembajakan Garuda Woyla

Memasuki petang, komunikasi radio dari kantor KLM dengan Woyla tersambung. Informasi awal yang diterima menyebutkan jumlah pembajak sekira 5 orang, awak pesawat 5 orang, dan penumpang sekira 40-an orang. Pembajak meminta logistik bahan bakar dipenuhi untuk meneruskan penerbangan ke Colombo, Sri Lanka. Selain itu, mereka meminta penggantian kru pesawat, pembebasan rekan-rekan mereka yang dipenjara dalam Peristiwa Cicendo dan Rajapolah untuk kemudian diterbangkan ke Colombo. Permintaan itu diberi tenggat waktu 28 jam. 

Sekira pukul 21.00, Hasnan Habib terhubung lagi ke Woyla. Ia mengatakan penggantian kru pesawat tidak dapat dipenuhi dengan segera. Alasannya, susah mencari kru berkualifikasi terbang internasional. Sementara itu, kru yang ada di Woyla sudah keletihan dan tidak punya kualifikasi terbang internasional. Mengenai penerbangan ke Colombo, Hasnan menyebut pemerintah Sri Lanka tidak bersedia menerima pembajak maupun rekan-rekannya. Namun, para pembajak bersikukuh untuk tetap berangkat. Hasnan melobi agar tetap bersabar sembari menanti kru pesawat yang baru tersedia. Rupanya pembajak makin beringas.

“Saudara Duta Besar yang bodoh,” kata pimpinan yang mendaku dirinya sebagai pelaku penembakan polisi di Cicendo. “Dan saya, kalau terpaksa juga sanggup melakukan penembakan serupa terhadap siapa saja di sini,” ancamnya seperti dikutip Wiwoho.

Baca juga: Cerita Korban Pembajakan Garuda Woyla

“Ya, ya. Saya percaya itu semua. Kalau tidak saudara takkan mungkin berbuat seperti sekarang,” balas Hasnan. Bukan main galaknya para pembajak itu. Toh, Hasnan masih berdalih.

Hasnan menjelaskan bahwa listrik di Sri Lanka itu berasal dari sumber air. Padahal, di Sri Lanka sedang terjadi krisis air sehingga listrik di bandara hanya dinyalakan 6 jam sehari. Itupun pada siang saja. “Maka pada malam hari biar pun pemerintah Sri Lanka mau menerima saudara, sayang bahwa fasilitasnya tidak menginjinkan saudara mendarat,” kata Hasnan. Keterangan Hasnan itu berdasarkan kunjungannya ke Colombo pada dua bulan sebelumnya, Januari 1981.

Baca juga: Teroris Membajak Pesawat Garuda

Pembajak tampaknya termakan omongan Hasnan. Siasat itu berhasil mengulur waktu hingga Yoga tiba di Bangkok. Yoga kemudian menggantikan Hasnan sebagai juru bicara.

Hingga Minggu pagi, 29 Maret 1981, menurut berita Sinar Harapan, 7 April 1981, pembajak tetap bersikeras akan meneruskan penerbangan ke Colombo. Mereka meminta kepada Yoga dan Hasnan untuk mengurusi izin mendarat dan tidak mau mengerti apakah ada izin atau tidak. Hasnan dan Yoga tidak hilang akal. Mereka mengundang Duta Besar Sri Lanka di Bangkok Ny. Manel Abeysekera ke pusat krisis di kantor KLM. Kepada pembajak, ia dipersilakan berbicara langsung. Duta Besar Ny. Manel menegaskan bahwa presiden dan pemerintah Sri Lanka tidak dapat menerima kehadiran pembajak.

“Pimpinan teroris Mahrizal yang fasih berbahasa Inggris langsung bicara. Setelah mendapat penjelasan dari Ny. Manel ia tidak mengutik-utik lagi kehendaknya mau ke Kolombo,” demikian dilansir Sinar Harapan.

Baca juga: Kapten Herman Rante dan Pembajakan Pesawat Garuda

Para pembajak akhirnya mengurungkan niat untuk terbang dan bertahan di Don Mueang. Pada pukul 02.25 tanggal 30 Maret 1981, Benny Moerdani dan rombongan pasukan Kopassandha tiba di Bangkok. Pada pukul 02.45 esoknya, 31 Maret, operasi pembebasan sandera dilancarkan. 

“Pemerintah Sri Lanka dalam hal ini berjasa kepada kita, dalam membantu usaha menghadapi pembajak,” kata seorang pejabat tinggi kepada wartawan Sinar Harapan di lapangan terbang Don Mueang.

Operasi militer yang berlangsung dalam waktu singkat itu menumpas mati para pembajak. Para pembajak itu antara lain bernama: Mahrizal, Zulfikar, Abu Sofyan, Abdullah, dan Wendy. Usut punya usut dari para penumpang yang selamat, dari Colombo, para pembajak rencananya akan terus membajak pesawat Garuda itu ke salah satu negara Arab, diperkirakan Libya. Di pihak Kopassandha, Capa Ahmad Kirang tertembak pembajak, begitupun dengan Kapten Pilot Herman Rante. Keduanya meninggal akibat mengalami luka berat.

TAG

pembajakan garuda woyla

ARTIKEL TERKAIT

Mimpi Pilkada Langsung Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah