KENDATI jarang dikenal orang, nama Siau lumayan sering muncul awal Mei lalu menyusul meletusnya Gunung Ruang. Pulau di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) itu memainkan peran penting buat penduduk yang mengungsi lantaran dipilih pemerintah kabupaten menjadi lokasi evakuasi.
“Penjabat Bupati Sitaro, Joi Eltiano B Oroh, mengatakan jika seiring dengan meningkatnya aktivitas Gunung Ruang, ratusan warga harus dipindahkan secepatnya menggunakan kapal laut, dan Pulau Siau adalah daerah paling dekat dan cepat untuk dituju,” demikian diberitakan kumparan.com, 1 Mei 2024.
Kendati nama Siau jauh dari populer, dahulu pulau yang berjarak 150 km dari Manado dan 366 km dari General Santos City, Filipina itu punya sebuah kerajaan Kristen. Namanya sama dengan nama pulaunya, Kerajaan Siau. Menurut Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa, Kerajaan Siau sudah lebih dulu Kristen daripada masyarakat Minahasa di daratan Sulawesi Utara.
“Panji-panji Kerajaan Siau ciptaan Winsulang, tampil tiga ukuran dan bentuk. Semuanya disebut sebagai saka-saka. Bendera itu berwarna merah yang dikelilingi bis (pinggiran) putih,” catat Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowalide dalam Daerah Perbatasan, Keterbatasan, dan Pembatasan.
Baca juga: Perlawanan Kerajaan Siau terhadap Belanda
Bendera panji buatan Raja Winsulangi (1591-1631) itu terus dipakai hingga ketika Hindia Belanda menguasai Nusantara. Di zaman Hindia Belanda, pejabat Belanda yang mengurusi Siau adalah residen Manado. Sebagai pusat dari keresidenan, Manado membawahkan Sulawesi bagian utara dan Kepulauan Sangihe Talaud yang di dalamnya termasuk Sitaro.
Sejak 1851, Jacob Ponto, putra dari Daud Ponto, berkuasa di Siau. Dia naik menggantikan pamannya, Nicolaas Ponto. Jacob berkuasa hingga tahun 1889.
Kerajaan Siau berhubungan baik dengan Kerajaan Bolaang Mangondow. Suatu kali, Raja Jacob Ponto melamar adik raja Bolaang Mangondow, tetapi ditolak karena beda agama. Namun, Jacob yang sudah tahu bahwa untuk bisa menikahi adik raja tersebut agamanya harus sama, tak patah arang.
“Raja Ponto memahami isyarat itu, berangkat ke Bolaang Itam, tempat kelahirannya, masuk Islam di sana, lalu mengulagi lamarannya yang akhirnya diterima,” catat Nederlandsche Zendelinggenootschap dalam Mededeelingen tijdschrift voor zendingswetenschap Volume 11.
Baca juga: Sultan Jailolo Mencari Leluhur Hingga Cianjur
Siau yang kerajaan Kristen pun dipimpin raja yang Muslim. Namun, itu sama sekali tak menjadi masalah. Orang Sulawesi Utara terkenal toleran terhadap perbedaan agama.
Masalah justru datang dari Residen Manado Marinus Cornelis Emanuel Stakman pada 1889. Sang residen tak berkenan dengan panji Kerajaan Siau yang merah-putih tadi. Selain itu, pungutan pajak Siau yang di bawah target serta soal agama jadi masalah bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
“Raja Jacob Ponto dihadapkan pada tiga pilihan: pertama menurunkan dan mengganti bendera Kerajaan Siau dengan bendera Hindia Belanda; kedua menaikkan pajak kepala setiap laki-laki dewasa menjadi 1 gulden; ketiga melepaskan agamanya (Islam),” tulis Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowalide.
Baca juga: Di Balik Keindahan Nusa Penida
Menaikkan pajak berarti memberatkan rakyat. Raja Jacob tak ingin mengambil opsi menyengsarakan rakyatnya. Namun, ia juga tak ingin menyerah pada pilihan residen. Jacob pun terpaksa turun takhta. Koran De Locomotief tanggal 1 Juli 1898 memberitakan, Raja Jacob yang dicap pengacau oleh pemerintah kolonial dituduh ingin menjual Siau kepada Inggris.
Setelah ditahan di Manado, pada 1890 Jacob diasingkan ke Cirebon, Jawa Barat. Pemerintah kolonial lalu mengangkat M.D. Kansil menjadi pengganti Jacob Ponto sebagai raja Siau. M.D. Kansil masih kerabat Jacob dan masih terhitung leluhur dari Jordi Amat pesebakbola timnas Indonesia.
Namun, berkali-kali yang jadi pengganti raja hanya sebentar berkuasa. Penyebabnya, kata De Locomotief, “yang satu melakukan perpajakan yang melanggar hukum, yang lain kurang giat, dan sebagainya, sehingga sering terjadi kesimpangsiuran.”
Sementara itu, beberapa bulan setelah berada di Cirebon, Jacob Ponto jatuh sakit. Pada 3 Mei 1890, Jacob meninggal dunia. Dia dimakamkan di Desa Sangkanhurip, sekira 23 km selatan Cirebon, yang masuk Kabupaten Kuningan. Makamnya lebih terkesan Islam. Belakangan, di sana muncul jalan bernama Jalan Jacob Ponto.*