Masuk Daftar
My Getplus

Perlawanan Kerajaan Siau terhadap Belanda

Menolak tunduk, rakyat Siau sekuat tenaga memukul kekuatan asing dari wilayahnya. Sempat menjadi satu-satunya wilayah merdeka di ujung Sulawesi Utara.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 27 Jan 2021
Potret masyarakat Siau (Troppen Museum/Wikimedia Commons)

Pada pertengahan abad ke-16, rakyat Kerajaan Siau dilanda kegelisahan. Gejolak perang mulai terjadi di banyak tempat di wilayah Sulawesi Utara tersebut. Tidak lama setelah raja pertamanya, Raja Lokongbanua (1510-1549) berpulang, kedua pangeran di negeri itu, yakni Angkumang dan Posumah, saling mengklaim hak atas takhta mendiang sang ayah. Melalui peperangan, Posumah keluar sebagai pemenang. Ia memerintah pada 1549-1587.

Kerajaan Siau terletak di Sangir Talaud, Sulawesi Utara. Siau menjadi salah satu daerah paling utara di Nusantara, berbatasan langsung dengan Filipina. Tempat itu merupakan sengketa di antara pelaut Eropa pada abad ke-16. Spanyol dan Portugis berencana menjadikan Siau gerbang masuk ke wilayah Nusantara dari masing-masing basis kekuasaan mereka di Asia, yakni Filipina dan Malaka. Sementara Belanda ingin Sulawesi Utara, khususnya Siau, melengkapi monopoli rempah mereka di wilayah Timur Nusantara.

Kontak pertama Siau dengan bangsa Eropa terjadi semasa pemerintahan Posumah. Portugis, yang mengetahui Ternate tengah berusaha mengislamkan Siau, segera mengirim armada dari Malaka. Pemerintahan Portugis cemas jika Islam berkembang di Siau, kegiatan dagang mereka akan terancam. Portugis pun berusaha menangkalnya dengan melakukan misi penyebaran agama Katolik, pimpinan Diogo de Magelhaes.

Advertising
Advertising

Baca juga: Wallanae, Sungai Purba di Sulawesi Selatan

“Misi itu berhasil ketika Raja Babontehu yang berpusat di pulau Manado Tua dibaptiskan bersama 1500 rakyatnya. Kebetulan Raja Posumah dari Kerajaan Siau sedang menjadi tamu di kerajaan Babontehu itu. Ia pun bersimpati lalu minta dibaptiskan untuk agama Katolik,” J.R. Tooy, dkk dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara.

Keputusan Posumah itu rupanya menimbulkan konflik di Siau. Rakyat yang masih menganut kepercayaan adat menolak keberadaan agama baru di wilayahnya. Pertentangan rakyat itu berujung pertumpahan darah karena Posumah berencana menjadikan Katolik agama resmi di kerajaannya. Terlebih, seperti dijelaskan Mukhlis P, dkk dalam Sejarah Kebudayaan Sulawesi, terjadi kegagalan panen yang diyakini masyarakat disebabkan aktivitas misionaris. Perang saudara pun tak terhindarkan. Meski akhirnya berhasil diredam, perang membuat kontak pertama dengan orang-orang Barat itu berakhir buruk. Portugis pun menjadi pihak yang paling dibenci rakyat Siau.

Pada penghujung abad ke-16, raja Siau pergi ke Filipina. Ia berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Spanyol. Ancaman dari Ternate membuat Siau perlu mecari bantuan kekuatan. Karena Portugis menjadi pihak yang dibenci, maka Spanyol menjadi pilihan terbaik bagi Siau. Pada 1593, ditandatanganilah perjanjian antara kedua pihak. Siau secara resmi mengakui Spanyol sebagai yang dipertuan. Mereka mendapat bantuan militer, sementara Spanyol diberi izin mendirikan benteng dan menempatkan pasukan di Siau.

Baca juga: Gambar Cadas Tertua Ditemukan di Sulawesi Selatan

Pada dekade pertama abad ke-17 terjadi pertempuran antara Spanyol dan Belanda di sekitar perairan Sangir Talaud. Sebagai pendatang yang baru menginjakan kaki di Sulawesi Utara pada 1601, Belanda mengklaim kekuasaan atas Siau. Tentu klaim itu membuat Spanyol murka. Perang laut pun berlangsung selama 1608. Belanda keluar sebagai pemenang.

Merasa terdesak, Spanyol mundur dan berlindung di benteng Siau. Dengan bantuan Ternate, Belanda mengerahkan pasukan ke Siau. Puluhan kapal besar diturunkan. Sejumlah kapal tradisional milik tentara Ternate juga diarahkan ke pantai Siau. Pada 1614 berkobarlah pertempuran antara Belanda dan kerajaan Siau.

“Ini merupakan pertempuran pertama antara kerajaan tradisional dan daerah ini melawan suatu kekuatan asing yang memiliki kemampuan militer modern dibandingkan dengan kerajaan Siau,” ungkap Tooy.

Kapal-kapal perang Belanda memuntahkan peluru meriam ke arah pantai Siau, terutama Ondong dan Ulu sebagai tempat benteng Spanyol berada. Serangan besar di laut itu tidak bisa dibendung pasukan maritim Siau pimpinan Laksamana Hengkengunaung. Mereka dipaksa mundur, sehingga pertempuran berlanjut di daratan. Kondisi semakin tidak menguntungkan ketika benteng Spanyol di lumpuhkan. Raja akhirnya menyerah dan Siau berhasil ditaklukan.

Baca juga: Agar Sulawesi Tetap Indonesia

Namun itu hanyalah siasat raja. Selama dua tahun, ia bersama Laksamana Hengkengunaung menghimpun kekuatan secara diam-diam. Pada 1616, tanpa diduga, Siau memberi serangan balasan. Pasukan Belanda dan Ternate dipukul mundur ke kapal-kapal mereka. Pada 1625, gabungan Belanda-Ternate muncul lagi di Siau. Bermaksud melakukan penaklukan, mereka malah kembali dipermalukan. Pasukan Siau rupanya sudah menyusun kekuatan dengan mantap dalam menghadapi serangan seperti sebelumnya. Ditambah benteng Spanyol telah diperkuat. Sejak itu, selama lebih dari setengah abad, Siau aman dari ancaman militer Belanda.

Belanda yang mengetahui bantuan Spanyol berdampak besar kepada kekuatan tempur Siau, mengganti taktik dengan menargetkan Spanyol terlebih dahulu. Kapal-kapal mereka yang melintas di perairan Sangir Talaud dihancurkan tentara Belanda. Spanyol terdesak. Jalur logistik dari dan menuju Filipina terputus. Kondisi itu membuat kekuatan di Siau perlahan mulai melemah. Belanda segera memanfaatkannya dengan menerjunkan kekuatan tempur menuju Siau.

Di Siau sendiri pasukan Spanyol mulai berbuat onar. Dengan alasan bertahan hidup, mereka menjarah dan menghancurkan desa-desa sekitar benteng, yang menurut Bambang Suwondo dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, jumlahnya ada puluhan desa. Rakyat Siau yang geram, melakukan perlawanan terhadap tentara-tentara Spanyol tersebut. Meski persenjataan Spanyol lebih lengkap, jumlah pasukan Siau lebih besar. Para tentara dipaksa mundur ke benteng-benteng mereka. Setelah berhari-hari bertahan, tentara Spanyol akhirnya menyerah. Siau akhirnya terbebas dari pengaruh Spanyol. Ditambah kasuk Belanda sebelumnya, menjadikan negeri itu satu-satunya wilayah merdeka di Sangir Talaud.

Baca juga: Pasang Surut Kristen di Sulawesi Tenggara

“Mulai waktu itu keamanan dan ketentraman masyarakat Siau berhasil dipulihkan. Dalam pada itu mereka terus menyusun kemampuan militer sebagai usaha menghadapi Belanda dan Ternate yang dianggap merupakan ancaman laten bagi Siau,” kata Tooy.

Pada 1677 negeri-negeri di sekitar Siau yang telah ditaklukan dipaksa menandatangani kontrak politik dengan Belanda. Hanya Siau satu-satunya yang menolak usulan tersebut. Ketika itu kekuatan baru di kubu Belanda juga telah berhasil dihimpun. Kekuatan itu berasal dari tentara mereka sendiri ditambah tentara Kesultanan Ternate dan kerajaan-kerajaan di Gorontalo. Gabungan pasukan itu terdiri dari 1180 prajurit bersenjata lengkap, puluhan kapal perang, dan perahu kora-kora milik Ternate. Tujuan mereka hanya satu: menaklukan Siau.

Di sisi lain, Siau telah benar-benar siap melakukan pertempuran besar. Hal itu membuat kekuatan gabungan Belanda morat-marit dan segera meninggalkan Siau. Meresa terdesak, Belanda melakukan siasat baru. Mereka meminta adik ipar Raja Siau yakni Raja Tagulandang, untuk membujuk kakaknya berunding. Ia setuju dan dilakukanlah perundingan. Namun hal itu hanyalah pengalihan saja untuk melemahkan pertahanan sang raja.

Pasukan Belanda segera dikerahkan menuju Siau. Mengetahui rajanya tidak memimpin pertempuran, serta terpecahnya pasukan Siau, rakyat kepanikan. Serangan habis-habisan pun mulai dilakukan Belanda dan sekutunya. Daratan Siau akhirnya berhasil ditaklukan. Raja menyerah dengan taktik picik pasukan Belanda tersebut. Pada akhir 1677, raja menandatangani kontrak politik. Siau secara penuh dikuasai Belanda.

TAG

sulawesi utara kerajaan siau

ARTIKEL TERKAIT

Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Serdadu Ambon Gelisah di Bandung M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Saat Brigjen Djasmin Dikata Pengkhianat Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman