Bila mengingat peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada awal Juli, umumnya orang mengingat usaha kelompok yang berafiliasi dengan Persatuan Perjuangan (PP) Tan Malaka untuk memaksa Sukarno agar menyetujui perubahan struktur pemerintahan yang mereka ajukan.
Sebenarnya, pada permulaan Juli 1946 ada kejadian lain yang juga patut diperhatikan, walaupun jauh dari ibu kota Republik Indonesia dan sangat jarang disebut orang. Kali ini tidak hanya berkenaan dengan konflik internal di tubuh kaum Republiken, melainkan dalam konteks perang Indonesia-Belanda, dengan India yang terlibat secara tidak langsung. Peristiwa itu adalah pengeboman Belanda atas pelabuhan Banyuwangi, Jawa Timur. Tidak tanggung-tanggung, Belanda membombardir pelabuhan itu dari laut dan udara selama tiga hari berturut-turut.
Penyebabnya karena pelabuhan itu menjadi tempat penyimpanan dan pengapalan beras ke India yang menderita kelaparan. Pada April 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, sebagai salah satu gestur diplomatik untuk meraih dukungan internasional, menawarkan bantuan beras kepada India sebanyak 500.000 ton. Bantuan itu disambut baik India yang menjanjikan bahan pakaian –yang sangat dibutuhkan Indonesia– sebagai balasan. “Diplomasi beras” Sjahrir ini penting bagi Republik Indonesia yang usianya belum genap setahun dan lautnya tengah diblokade oleh Belanda.
Baca juga: Nasi Sudah Sejak Zaman Kuno
Beras sangat penting di dunia pascaperang, tak hanya bagi negara-negara jajahan yang penduduknya mayoritas mengonsumsi nasi seperti India dan Indonesia, tapi juga bagi Belanda khususnya untuk daerah-daerah yang mereka duduki pada paruh pertama tahun 1946.
Tentang pentingnya beras, Robert Cribb dalam tulisannya, “The External Rice Trade of the Indonesian Republic, 1946-1947”, menekankan bahwa tak ada komoditas yang lebih penting yang membuat Indonesia bersengketa dengan Belanda selain dari beras. Maka, Belanda mengambil tindakan untuk mencegah beras keluar dari Indonesia, termasuk dengan mengebom pelabuhan yang menampung beras untuk dikirim ke India.
Menurut laporan majalah The Voice of Free Indonesia, edisi 23–24 (29 Juni–6 Juli 1946), pada 23 Juni 1946, bupati Banyuwangi diangkat sebagai ketua komite yang mengurus pengumpulan beras berikut pengapalannya ke India. Komite serupa juga dibentuk di wilayah lain, misalnya di Purworejo yang diketuai oleh Mr. Soenarjo, yang bertugas mengumpulkan beras dari pedalaman Jawa untuk dibawa ke pelabuhan-pelabuhan seperti Probolinggo dan Cirebon.
Belanda tidak tinggal diam. Beragam usaha dilakukan untuk menghalangi pengiriman beras ke India. Melalui propaganda, Belanda membantah klaim surplus beras yang dikampanyekan pihak Republik. Tak hanya dengan suara, Belanda juga menjalankan penolakannya dengan senjata.
Baca juga: Sehidup Semati Bersama Nasi
Salah satu laporan paling awal menyebut bahwa pada 21 Juni 1946 kapal motor Belanda berusaha mendaratkan pasukan di pantai utara Banyuwangi. Namun, gerakan mereka digagalkan oleh tembakan dari bibir pantai. Mendapat perlawanan, Belanda mengerahkan kekuatan lebih besar. Lima jam kemudian, giliran kapal perang Belanda membombardir pesisir pantai Banyuwangi.
Tidak ada kerusakan dan tidak diketahui motif serangan Belanda itu. Yang jelas, serangan itu berdekatan dengan rencana pemerintah Indonesia menjadikan Banyuwangi sebagai pelabuhan untuk pengangkutan beras. Belanda berusaha menguasai pelabuhan Banyuwangi untuk mengendalikan arus barang, khususnya beras, ke dan dari Jawa bagian timur. Dua hari kemudian, pada 23 Juni, pesawat terbang Belanda menembaki pesisir Banyuwangi, tepatnya di Watudodol. Tidak ada berita korban jiwa.
Pada 25 Juni 1946, Perdana Menteri Sjahrir memulai lawatannya ke Solo, dengan tujuan akhir sejumlah tempat di Jawa Timur untuk menyaksikan pengumpulan beras. Bersamanya ada utusan India, K.L. Punjabi, dan beberapa awak media. Ketika sedang berada di Solo, dia dan beberapa menteri diculik, yang berujung pada Peristiwa 3 Juli.
Pihak Republik sangat terbuka dengan rencana bantuan beras itu. Pada 2 Juli 1946, koran Kedaulatan Rakjat yang terbit di Yogyakarta memberitakan bahwa di Banyuwangi sudah tersedia sekitar 20.000 ton beras untuk India. Beras ini hasil pengumpulan di bawah komando Banyuwangi dan Besuki. Transportasi beras dari sawah-sawah di pedalaman Jawa menuju pelabuhan Banyuwangi menjadi suatu parade. Tak hanya prahoto (mobil truk bak terbuka) yang membawa beras itu, tapi juga cikar dan kereta api. Ratusan orang berpartisipasi membawa beras-beras ini. Pergerakan manusia dan barang dalam skala cukup besar ini tentu saja menarik perhatian Belanda.
Baca juga: Gubernur Jawa Barat Menolak Beras Belanda
Pada 3 Juli 1946, Banyuwangi (beserta Ketapang dan Blimbingsari) dihujani bom oleh kapal-kapal perang Belanda. Serangan dimulai sekitar jam 10.00 pagi. Sebuah kapal motor Belanda mendekati pantai Banyuwangi bagian selatan. Dari kapal itu diluncurkan tembakan mitraliur dan mortir, yang dibalas oleh pejuang Indonesia. Tembakan dari kapal motor itu mengakibatkan dua orang luka parah dan seorang anak berusia sepuluh tahun meninggal.
Sehari kemudian, Belanda mengintensifkan serangan. Menjelang tengah hari, kapal motor kecil disokong satu kapal motor besar selama 20 menit menghujani area sekitar pelabuhan Banyuwangi dengan mortir dan peluru dum-dum. Sorenya, Belanda menggunakan meriam lebih besar. Sekitar 15 kali letusan meriam terdengar dari kapal Belanda. Pada saat yang sama, pesawat terbang Belanda menghujani Ketapang dengan mitraliur.
Puncak serangan Belanda terjadi pada 5 Juli 1946. Pada pagi hari, pesawat Belanda mengintai pesisir Banyuwangi. Menjelang siang, pelabuhan Banyuwangi mulai dibombardir. Dua kapal motor Belanda menembakkan mitraliur dan meriam ke arah pelabuhan. Pihak Indonesia memberikan tembakan balasan, salah satunya mengenai kapal Belanda yang membuatnya miring. Kapal itu pun ditarik mundur.
Tak hanya tembakan dari laut, pesawat Belanda menembakkan mitraliur dengan bertubi-tubi. Antara menyebut serangan hari ketiga ini yang paling hebat hingga letusan peluru berkumandang di seluruh Banyuwangi. Sementara itu, Kedaulatan Rakjat, 9 Juli 1946, menjadikan bombardemen ini sebagai berita utama dengan tajuk “BELANDA AKAN MENGGAGALKAN PENGIRIMAN BERAS KE INDIA: Banjoewangi teroes-meneroes diserang dengan Meriam”.
Baca juga: Sukarno dan Bantuan Beras Indonesia untuk India
Dengan dimuatnya berita itu di surat kabar ibu kota, maka serangan Belanda di Banyuwangi menjadi isu nasional.
Merespons serangan Belanda, majalah berbahasa Inggris pro-Republik yang terbit di Jakarta, The Voice of Free Indonesia, berkomentar mengenai indikasi alasan di balik bombardemen Belanda itu: “It must be noted that Banjoewangi has been indicated as one important port for the rice-shipment to India” (Haruslah dicatat bahwa Banyuwangi telah ditetapkan sebagai pelabuhan penting untuk pengiriman beras ke India).
Belanda tahu bahwa beras untuk India disimpan di pelabuhan Banyuwangi dan kapal pengangkut akan tiba sekitar pertengahan Juli 1946. Jadi, mereka menyerang sebelum kapal pengangkut itu datang.
Selain menyerang via laut dan udara, Belanda juga mengirim pasukan dari Bali tapi berulang kali dipukul mundur oleh pasukan Indonesia. Kegigihan Belanda menaklukkan Banyuwangi karena beras untuk India akan dikirimkan dari pelabuhan itu. Belanda tidak suka Indonesia dan India bekerja sama dan saling menukar komoditas yang mereka butuhkan, yang di dalamnya terkandung pengakuan pada eksistensi dan kedaulatan Indonesia.
Baca juga: Nehru: Republik Indonesia Harus Diakui
Bahkan, The Voice of Free Indonesia edisi 26 (20 Juli 1946) menuduh Belanda tidak memikirkan dampak buruk dari serangannya, yakni kemungkinan semakin lamanya masyarakat India menderita kekurangan pangan. Narasi semacam ini kian menguatkan rasa tidak suka pada Belanda, karena pengebomannya tak hanya merugikan Indonesia, terlebih lagi rakyat India yang sangat membutuhkan makanan.
Serangan Belanda atas pelabuhan Banyuwangi membawa dampak yang sangat serius. Majalah Pantja Raja terbitan Balai Poestaka, Jakarta, edisi 15 Juli 1946, menulis berita pendek bahwa kerugian akibat serangan Belanda berskala internasional: “Beras India diserang”. Artinya, menurut Pantja Raja, beras yang dibombardir itu adalah berasnya India, atau beras yang menjadi hak rakyat India. Kesan yang timbul dari narasi ini bahwa Belanda sedang membuka front baru dengan melawan rakyat India.
Yang juga disesalkan oleh redaksi majalah itu terhentinya pengiriman beras ke India yang sebelumnya sudah berjalan dengan signifikan. Setelah kerusakan dikalkukasi, sekitar 15.000 karung padi basah oleh air hujan karena gudangnya hancur. Pengangkutan gabah disetop total untuk melindungi para pegawai yang mengurus bahan makanan itu.
Baca juga: Sukarno, Antara India dan Pakistan
Serangan pada 5 Juli 1946 tengah hari bahkan menelan seorang korban tewas. Demikian diwartakan Kedaulatan Rakjat, 8 Juli 1946. Dengan berbagai kerusakan yang terjadi dan jatuhnya korban jiwa, penghentian pengangkutan beras adalah pilihan yang masuk akal.
Indonesia mempertanyakan sikap Sekutu terhadap pengeboman Belanda atas pelabuhan Banyuwangi. Sekutu kemudian memberikan jaminan bahwa tindakan NICA itu tidak akan terjadi lagi.
Dalam wawancara dengan wartawan beberapa hari selepas pengeboman pelabuhan Banyuwangi, Sjahrir menekankan bahwa persiapan mengirim beras ke India cukup memuaskan. Namun, pengeboman pelabuhan Banyuwangi (juga pelabuhan beras lainnya di Probolinggo) bisa jadi memengaruhi persiapan itu, walaupun Sjahrir sampai saat itu belum menerima laporan lengkap dan valid tentang peristiwa tersebut.
Baca juga: Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa
Efek yang lebih luas membutuhkan waktu untuk diketahui. Sekitar pertengahan Juli 1946, Menteri Penerangan Mohammad Natsir mengunjungi Banyuwangi untuk meninjau kerusakan akibat bombardemen Belanda, khususnya serangan pada 3 dan 4 Juli 1946. Menurut perhitungan, setidaknya 62 bom dilontarkan dari kapal-kapal perang Belanda. Sedangkan dari udara, pesawat-pesawat Belanda menembakkan senapan mesin. Akibatnya, gudang-gudang penyimpanan beras di pelabuhan Banyuwangi rusak total, sehingga pengiriman beras ke India tertunda.
Wartawan asing meninjau pelabuhan Banyuwangi pada 28 Juli 1946. Saat menyaksikan tempat penyimpanan beras telah hancur, seorang jurnalis berkomentar, “This is wanton destruction” (Ini adalah penghancuran yang sewenang-wenang). Demikian laporan The Voice of Free Indonesia edisi 28 (3 Agustus 1946).
Foto-foto kerusakan gudang beras di pelabuhan Banyuwangi memberikan gambaran tragis tentang kehancuran yang diakibatkan pemboman oleh Belanda. The Voice of Free Indonesia edisi 31 (23 Agustus 1946) memuat tiga foto yang dengan jelas menunjukkan kerusakan akibat serangan Belanda: dinding-dinding gudang bolong, karung-karung berserakan, serta berasnya rusak dan basah oleh air hujan.
Sejumlah fasilitas di pelabuhan Banyuwangi luluh lantak. Sulit membayangkan akan ada kapal berukuran cukup besar yang bisa berlabuh di pelabuhan yang telah rusak itu.
Baca juga: Alkisah Beras Sintetis dari Zaman Orde Baru
Gambaran kehancuran itu menimbulkan bayangan yang menyedihkan dari usaha panjang membawa beras dari sawah melalui petani hingga sampai di pelabuhan. Jangankan mencapai India, menyimpan beras di pelabuhan guna menunggu pengangkutan pun tidak bisa lagi. Di tengah pertempuran khususnya di Jawa dan Sumatra, bayangan itu kian membangkitkan semangat perlawanan pejuang Republik terhadap Belanda.
Walaupun terjadi kerusakan pada gudang-gudang beras di pelabuhan Banyuwangi, usaha mengirim beras ke India terus dilakukan. Pada 31 Juli 1946, Kementerian Luar Negeri mengumumkan penandatanganan perjanjian pengiriman beras ke India. Bahkan, tak lama sebelum perjanjian itu, Empress Favour, kapal pertama dari India yang akan mengangkut beras telah sampai di pelabuhan Probolinggo. Selepas itu, beberapa kali pengiriman beras berhasil dilakukan.
Belakangan, pihak Republik menuding blokade dan perampasan beras oleh Belanda membuat realisasi bantuan beras untuk India tidak maksimal. Menurut sejarawan Pierre van der Eng dalam tulisannya, “Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940–1950”, hanya sekitar 45.000 ton beras yang berhasil dikirimkan ke India hingga Mei 1947.
Kendati begitu, dampak politik dari bantuan beras itu telah memberikan gambaran kepada dunia bahwa Republik Indonesia, sebuah negara yang walaupun masih muda, punya solidaritas dan kedermawanan yang tinggi pada sesama bangsa terjajah yang dihantam krisis pangan.
Penulis adalah staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.