Saat itu pukul enam pagi. Penduduk Desa Rukam bergerak ke tempat upacara, duduk berkeliling di halaman menghadap batu sima dan kulumpang. Pagi itu, acara peresmian desa sebagai penerima augerah sima digelar. Beragam penganan sudah siap. Ada skul paripurna timan dan beragam lauk pauk. Semua dipersilakan mencicipi.
Begitu Prasasti Rukam mengisahkan pesta rakyat yang terjadi ribuan tahun lalu (829 saka/907 M). Bukan cuma mencatat bagaimana jalannya upacara penetapan sima, prasasti itu juga menyebutkan beragam penganan yang disediakan ketika acara berlangsung. Yang paling menarik adalah penyebutan skul paripurna timan.
"Skul paripurna atau nasi paripurna kalau di prasasti itu seperti nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya," jelas Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika ditemui di kantornya.
Baca juga: Santapan aneh para raja
Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menulis, beras merupakan bahan makanan utama di antara sumber nabati lainnya. Bahan ini merupakan sumber makanan pokok masyarakat Jawa Kuno.
Padi muncul dalam sumber prasasti, kesusastraan, dan relief. Sawah dan padi disebutkan dalam teks Ramayana. Sistem pertanian sawah yang menghasilkan padi ada dalam relief cerita Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur dan relief Candi Minakjinggo di Trowulan.
Bulir-bulir padi juga ditemukan di situs permukiman yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M. Bukti adanya aktivitas pertanian ini didapatkan dari Situs Liyangan, yang ada di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah.
Begitu pun nasi. Selain dalam Prasasti Rukam, nasi yang disajikan bersama makanan lainnya dalam upacara sima muncul pula dalam Prasasti Panggumulan (824 Saka), Prasasti Sangguran (850 Saka), dan Prasasti Taji (823 Saka).
Sementara prasasti juga menyebutkan nasi dalam berbagai variasi ketika menjadi menu utama dalam upacara makan bersama penetapan daerah perdikan. Riboet Darmosoetopo, ahli epigrafi UGM, dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menyebutkan beberapa jenis masakan dari nasi yang pernah disebut dalam prasasti. Di antaranya skul liwêt atau nasi yang ditanak dengan pangliwêtan, skul dinyun atau nasi yang ditanak dengan periuk, dan skul matiman atau nasi yang ditim.
Produksi beras
Karena menjadi makanan pokok, usaha untuk meningkatkan produksi padi pun sudah dilakukan sejak masa lalu. Prasasti dari masa Jawa Kuno memberikan petunjuknya.
Paling tidak, kata Supratikno, upaya perluasan tanah sawah secara besar-besaran terjadi pada akahir abad ke-9 M. Ini sebagaimana yang terbaca dalam beberapa prasasti dari masa pemerintahan Kayuwangi (855-885 M). Dalam waktu yang relatif pendek padang rumput, kebun, tegalan, ladang ilalang, dan hutan beralih status menjadi sawah.
“Ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan tanah sawah atau sumber pangan pokok memang besar. Mungkinkah upaya semacam itu dilakukan karena jumlah penduduk semakin meningkat?” ujar dia.
Di luar itu, beras telah menjadi sumber ekonomi pertanian. Berdasarkan Prasasti Pihak Kamalagi atau Kuburan Candi dari 743 Saka (831 M), Prasasti Watukura I dari 824 Saka (903 M), disebutkan adanya lahan sawah, ladang, rawa, dan kebun yang menjadi sima. Artinya, menurut Titi, sebelum tanah-tanah itu diresmikan menjadi sima adalah tanah yang kena pajak.
Baca juga: Bertani zaman kuno
“Dengan adanya keterangan yang memberikan gambaran bahwa kebun juga dikenai pajak, maka dapat diartikan kebun telah memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi,” jelas Titi dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna: Abad VIII-XI Masehi.
Dalam Prasasti Panggumulan (824 Saka) dikatakan juga adanya orang-orang yang menjual beras dari Desa Tunggalangan ke pasar di Desa Sindingan. Lalu dari berita Tiongkok masa Dinasti Sung juga diketahui kalau pada masa itu beras, bersama sejumlah komoditas lainnya, telah diekspor dari pelabuhan Jawa.