Masuk Daftar
My Getplus

Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa

Impor beras untuk menanggulangi kelaparan justru berubah jadi petaka. Wabah pes melanda Jawa.

Oleh: Nur Janti | 30 Jun 2019
Pemberian vaksin oleh mantri dan dokter. Sumber: Dukun dan Mantri Pes.

PACEKLIK melanda Jawa. Persediaan beras berkurang drastis hingga kekurangan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda lantas mengimpor beras dari Burma, India, dan Tiongkok. Per Agustus 1910, peningkatan jumlah impor terjadi hingga bulan berikutnya.

Beras impor itu dikirim lewat kapal-kapal dan berlabuh di Surabaya. Dari Surabaya, beras diangkut kereta api ke daerah di selatan Surabaya yang mengalami paceklik.

Bersamaan dengan kebijakan impor beras itu, Burma sedang dilanda wabah pes. Namun, para petugas tidak mencurigai banyaknya tikus mati dan kutu-kutu saat muatan sampai di Sidoarjo.

Advertising
Advertising

“Bisa diperkirakan, perjalanan yang berbulan-bulan itu, tikus ikut di dalam kapal, dia (tikus, red.) mencemari sambil makan berasnya kemudian buang kotoran di situ,” ujar Agus Setiawan, pengampu sejarah kesehatan di UI, kepada Historia.

Baca juga: Ketika Demam Roket Mewabah

Lewat beras impor itulah penyakit pes terbawa dari Burma ke Jawa. Perjalanan yang rencananya dilanjutkan ke Malang lalu ke Wlingi batal akibat terputusnya jalur Malang-Wlingi oleh banjir pada akhir 1910. Alhasil, beras impor berikut tikus berkutu pembawa pes itu menginap di gudang-gudang sekitar Stasiun Malang.

“Jadi ketika sudah sampai kota tujuan, banyak beras itu sudah tercemar sekaligus tikusnya ikut datang,” sambung Agus.

Udara Malang yang lembab membuat perkembangbiakan kutu-kutu tikus pembawa nestapa di gudang beras berjalan cepat. Namun, tak ada kecurigaan saat ditemukan banyak tikus mati. Kecurigaan adanya penyakit pes baru muncul ketika 17 orang di Desa Turen, Malang meninggal setelah demam beberapa hari.

Baca juga: Upaya Memberantas Cacar

Pes menular lewat gigitan kutu tikus pembawa bakteri Yersinia Pestis. Orang yang terkena pes mengalami gejala mirip flu: demam selama dua sampai enam hari, kejang, pendarahan (bila menyerang aliran darah), batuk darah (bila menyerang paru), dan benjolan pada ketiak atau leher (bila menyerang limfa).

Wabah pes pun melanda Malang. Dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, Martina Safitri menyebut wabah dengan cepat menjalar ke Karanglo. Pada Maret 1911, hampir semua distrik di Malang dilaporkan terjangkit pes. Penyakit ini kemudian menjalar ke barat, yakni Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun. Surabaya sebagai tempat transit pertama karung-karung pembawa pes pun tak lepas dari penyakit ini.

Pada April 1911, pemerintah mengeluarkan penetapan status epidemi pes. Bersamaan dengan itu, pengiriman beras dari luar Hindia-Belanda turun drastis. Pada akhir 1911, dilaporkan dua ribu orang meninggal akibat pes.

Melalui pelabuhan Tanjung Mas, pes masuk Semarang pada 1916. Dalam skripsi berjudul “Wabah Pes Di Kota Semarang”, Andhika Satria menulis tikus-tikus berkutu itu turun di pelabuhan dari kapal dagang asal Surabaya yang singgah. Penyakit pes menyerang perkampungan penduduk yang kotor dan lembab tak lama kemudian. Antara Oktober 1916 sampai Desember 1917, belasan desa terserang pes. Ratusan orang tewas di Semarang.

Baca juga: Awas Cacar Monyet

Untuk menanggulanginya, Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD, Dinas Kesehatan Publik) mendatangkan dokter dari Eropa, merekrut mantri, dan memberikan vaksin. Dua jenis vaksin dipakai untuk memberantas pes, yakni 54.017 vaksin Jerman dan 11.703 vaksin Haffkine dari Inggris. Dalam tujuh bulan, sebanyak 65.720 orang diberi vaksin dengan mengerahkan dokter (di kota) dan mantri yang blusukan ke kampung-kampung.

BGD lalu mengeluarkan aturan: bila salah satu anggota keluarga terbukti kena pes, seluruh keluarga harus dievakuasi dan tinggal di barak isolasi selama 15 hari. Pasien dan keluarganya kemudian diobservasi untuk penyembuhan dan pencegahan pes agar tak makin meluas. Tapi dalam praktiknya, jika ada seorang warga terkena pes, bukan hanya sekeluarga yang dievakuasi tapi seluruh desa. Mereka baru boleh meninggalkan barak isolasi setelah 30 hari. Akibatnya, banyak warga menolak dievakuasi lantaran takut barang-barang di rumah mereka hilang atau lebih parah, rumah mereka dibakar karena dianggap sarang tikus.

Di Malang, tempat pertama pes mewabah, penduduknya dipaksa membakar rumah yang terindikasi sarang tikus. Mereka juga harus membongkar rumah bambu mereka lantas membangun ulang dengan kayu atau bata tanpa kompensasi yang sesuai dari pemerintah kolonial.

Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi

“Padahal logikanya penduduk yang rumahnya berbahan dasar bambu mayoritas adalah penduduk pribumi yang tidak memiliki banyak uang,” tulis Martina. Pemerintah memang memberikan perkakas secara gratis, namun beberapa material rumah harus dibeli dengan kocek sendiri. Parahnya, penjualan kayu dan bahan material lain dimonopoli hingga harganya selangit.

TAG

medis

ARTIKEL TERKAIT

Hukuman Bagi Pelanggar Karantina di Hindia Belanda Penerjunan Tenaga Medis pada Wabah di Hindia Belanda Korona dan Beragam Virus yang Berasal dari Kelelawar Menelusuri Riset Virus Korona dan Kelelawar Bercermin dari Bantuan Pokok Pemerintah Kolonial di Tengah Wabah Bidan Ujung Tombak Penyehatan Generasi Baru Mencegah Bayi Mati Karena Tetanus Dokter Pribumi Menolak Diskriminasi Gaji Bahder Djohan dan Akses Bacaan untuk Dokter Pribumi Melahirkan di Masa Perang