MARKAS FBI (badan investigasi Amerika Serikat), suatu hari di akhir Juni 1972, Wakil Direktur FBI Mark Felt (diperankan Liam Neeson) bergegas mendatangi ruangan Plt. Direktur FBI Patrick Gray (Marton Csokas) yang baru saja disambangi John Dean, penasihat Presiden Richard Nixon. Felt ingin mencari tahu lantaran heran atas kedatangan Dean. Sayangnya keheranan Felt tak mendapat jawaban lantaran Gray seolah enggan memberi informasi soal kedatangan Dean.
Gray justru membahas laporan-laporan investigasi dari para agen FBI soal Skandal Watergate. Skandal itu merupakan pembobolan markas komite nasional Partai Demokrat, DNC, di Gedung Perkantoran Watergate, Washington DC, pada 17 Juni 1972 dini hari.
“Ini jumlah informasi yang luar biasa tentang pembobolan (Watergate),” terang Gray.
“Kami masih mengumpulkan laporan penyelidikan. Laporan (di tangan Gray) itu baru permulaannya saja,” timpal Felt.
Baca juga: Vice yang Menyibak Tabir Kebohongan Amerika
Felt bertanggungjawab atas penyelidikan FBI di luar penangkapan lima pelaku yang sebelumnya diciduk pihak kepolisian. Kelimanya merupakan eks-agen CIA (badan intelijen Amerika) yang membobol, mencuri sejumlah dokumen, dan menanamkan alat-alat penyadap.
Penyelidikan lanjutan FBI lantas menemukan dalangnya punya koneksi dengan Presiden Nixon sebagai petahana jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2 November 1972. Melalui penyelidikan sementara para agen lapangan FBI, setidaknya Felt menemukan fakta korang-orang di lingkaran CRP (komite pemenangan Nixon) yang notabene eks-FBI dan CIA sebagai dalang-dalangnya. Di antaranya Alfred Baldwin dan Howard Hunt yang mengorganisir lima pelaku pembobolannya.
“Oke. Pertama-tama, jangan ada lagi wawancara (penyelidikan) dengan pihak Gedung Putih atau CIA tanpa izin,” tegas Gray pada Felt.
“Tanpa izin siapa? FBI badan independen. Harusnya Anda paham bahwa itu artinya kita tidak perlu izin untuk melakukan apapun dari siapapun. Sekalinya Anda menyerahkan (independensi) itu, Anda takkan mendapatkannya kembali. Anda tidak bekerja untuk mereka. Anda direktur FBI,” sambung Felt.
Namun Gray seolah tak peduli. Ia juga menyatakan bahwa dalam 48 jam ke depan, FBI harus mempetieskan kasus itu.
Demikianlah salah satu adegan di biopik bertajuk Mark Felt: The Man Who Brought Down the White House (2017) garapan sineas Peter Landesman. Adegan krusial itu menunjukkan FBI seolah ikut jadi alat politik Presiden Nixon dalam upaya sang petahana memata-matai dan mengungkap “jeroan” partai pesaingnya.
Memang kemudian Presiden Nixon, yang mewakili Partai Republik, digdaya di Pilpres 1972. Ia unggul dengan perolehan suara sangat besar, baik dalam electoral vote yang mencapai 49 berbanding 17 atau dari pemungutan suara keseluruhan, 60,7 persen berbanding 37,5 persen dari calon presiden (capres) asal Partai Demokrat, George McGovern.
Namun karena kasus Watergate yang berlarut-larut itu pula Nixon kena getahnya. Usai kasusnya terkuak, ia dimakzulkan parlemen dan kemudian memilih mengundurkan diri pada 1974.
Baca juga: Merampok Duit Haram Presiden Nixon
Jawatan Intelijen untuk Kepentingan Politik Penguasa
Bernard Barker, Virgilio González, Eugenio Martínez, James McCord Jr., dan Frank Sturgis ditangkap polisi secara bersamaan di kantor DNC pada 17 Juni 1972 atas laporan Frank Wills, petugas keamanan Gedung Perkantoran Watergate. Selain sarung tangan, alat komunikasi walky-talky, dan kamera, polisi juga menyita uang senilai 6.500 dolar dari saku para pelaku pelaku dan kamar motel di seberang Watergate sebagai barang bukti.
Di sisi lain, penyelidikan FBI melacak benang merah kasus pembobolan itu yang mengaitkannya dengan komite pemenangan Nixon. Ada nama eks-agen FBI Alfred Carleton Baldwin III dan George Gordon Battle Liddy, serta eks-agen CIA Everette Howard Hunt Jr. yang merupakan orang-orang lingkaran dalam di komite timses CRP sebagai terduga dalangnya.
“Walaupun masih jadi misteri apa sebenarnya tujuan pembobolan itu. Per 17 Juni 1972, DNC belum punya strategi kampanye karena kandidatnya belum (resmi) dinominasikan. Calon kandidatnya baru Senator Negara Bagian South Dakota, George McGovern, yang dianggap lemah bagi Nixon. Kalaupun (tim) kampanye Nixon ingin mengintip strategi kampanye McGovern, logisnya kan yang harusnya dibobol adalah markas kampanye McGovern, bukan DNC,” tulis John O’Connor dalam The Mysteries of Watergate: What Really Happened.
Baca juga: Minggu Berdarah di Kota Selma
Menggali sumbernya, keterlibatan kelima pelaku itu berawal dari pertemuan antara ketua Komite CRP, Jeb Stuart Magruder; penasihat keuangan Komite CRP, G. Gordon Liddy; penasihat domestik Gedung Putih, John Ehrlichman; Jaksa Agung John Mitchell; dan penasihat kepresidenan, John Wesley Dean III pada 27 Januari 1972. Dalam pertemuan itu, Liddy dan Ehrlichman membuka wacana kampanye intelijen kepada Magruder, Mitchell, dan Dean.
“Itu jadi skema pembuka dari skandal politik terburuk di abad ke-20 dan permulaan dari jatuhnya kepresidenan Nixon,” aku Dean yang ia tuangkan dalam bukunya, The Nixon Defense: What He Knew and When He Knew It.
Rencana kampanye intelijen itu, lanjut Dean dalam buku yang ia luncurkan pada 2014, berupa pembobolan markas DNC, mendokumentasikan berkas-berkas penting Partai Demokrat, serta memasang alat-alat penyadap di pesawat telefon petinggi-petinggi DNC. Mitchell menyetujui rencananya, sementara Liddy mendanainya.
Dean sendiri bertindak sebagai pengorganisir, di mana ia mendelegasikannya kepada dua bawahannya, Howard Hunt dan James McCord. Kedua eks-agen CIA itu merupakan orang penting di seksi keamanan Timses CRP. Kemudia McCord dan Baldwin yang mengatur rencana operasi intelijen itu dengan memakai jasa lima pelaku di atas dengan imbalan cek senilai 25 ribu dolar (setara 175 ribu dolar dalam kurs 2022).
Baca juga: CIA Bikin Film Porno Mirip Sukarno
Sialnya operasi pada 17 Juni dini hari itu gagal dan Barker Cs. diciduk kepolisian Washington pagi itu juga. Presiden Nixon sendiri disebutkan tak tahu-menahu rencana para anteknya itu. Hal itu, ungkap Stanley Kutler dalam Abuse of Power, terkonfirmasi dari rekaman percakapan antara Nixon dan Kepala Staf Presiden (KSP) Harry Haldeman via sambungan telefon di Oval Office atau kantor presiden di Gedung Putih pada 23 Juni 1972
“Siapa bajingan yang melakukan itu? Apakah Liddy? Dia pasti sedikit gila,” cetus Presiden Nixon.
“Dia memang sedikit gila,” jawab Haldeman.
Memang awalnya Nixon terlibat secara langsung soal blunder yang dilakoni antek-anteknya. Namun saat pelacakan penyelidikan FBI sudah mulai menjurus padanya, di situlah Nixon mulai abuse of power atau menyalahgunakan kekuasaannya.
Pertama, dengan mencoba mengontrol media massa. Presiden Nixon menggembar-gemborkan pada media soal kunjungan kenegaraannya ke China pada Februari dan Rusia pada Mei sebelumnya sebagai gebrakan hubungan diplomatik di tengah-tengah Perang Dingin.
“Harapannya agar penangkapan (pelaku pembobolan) Watergate pada Juni 1972 tak menjadi berita besar setidaknya sampai Pilpres pada November,” tulis Lamar Waldron dalam Watergate: The Hidden Story.
Baca juga: Arsip Pembunuhan JFK Dirilis, Kasus Tetap Masih Samar
Kedua, dengan memanfaatkan CIA untuk menghalang-halangi FBI yang masih melacak sumber pendanaan operasi pembobolan itu. Melalui Haldeman, Ehrlichman, dan Dean, Presiden Nixon meminta direktur CIA, Richard Helms, untuk ‘cawe-cawe’ untuk menekan FBI menghentikan investigasinya, apalagi sampai mengungkapkannya ke publik via media massa.
“Well, kita sudah melindungi Helms dari banyak hal,” imbuh Nixon dalam lanjutan percakapannya dengan Haldeman.
Lagipula para pelaku pembobolan itu merupakan eks-CIA yang juga pernah terlibat dalam Invasi Teluk Babi tahun 1961 yang merupakan operasi CIA yang gagal dan memalukan. Saat itu Helms menjabat wakil direktur perencanaannya.
Tetapi Felt tak tinggal diam. Kurun Juni 1972-Januari 1973, ia membocorkan banyak laporan penyelidikan FBI yang akhirnya “di-peti es-kan” setelah mendapat tekanan dari Gedung Putih dan CIA.
Menggunakan nama samaran “Deep Throat” sebagaimana tajuk salah satu film porno populer pada 1972. Nama samaran yang baru terungkap 33 tahun kemudian.
Baca juga: Oliver Stone, Perang Vietnam, dan Pembunuhan JFK
Felt dibantu dua wartawan harian The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein untuk membongkarnya ke publik. Berangsur-angsur, sejumlah media lain pun turut meng-cover-nya, di antaranya The New York Times.
“Jika saya ingin bertemu, biasanya akan ada sinyal dengan memindahkan pot bunga dengan bendera merah yang terletak di balkon apartemennya. Tetapi jika ‘Deep Throat’ yang meminta untuk bertemu, dia akan membuat tanda khusus di halaman 20 dari copy-an tulisan Woodward di The New York Times. Pertemuan-pertemuan rahasia biasa dilakukan di garasi bawah tanah dekat Jembatan Francis Scott Key pada dini hari,” ungkap Woodward dalam bukunya, All the President’s Men.
Implikasinya publik tetap penasaran dengan kebenaran Skandal Watergate-nya, terlepas kemudian Presiden Nixon, sebagaimana yang disebutkan di atas, kembali memenangi Pilpres 1972. Sampai-sampai akhirnya Senat Amerika membentuk komite investigasi Skandal Watergate pada 7 Februari 1973 dan disusul pembahasan skandalnya di komite yudisial parlemen, di mana jaksa khusus Archibald Cox bersikeras ingin memanggil Presiden Nixon.
Presiden Nixon yang menolak, malah memperunyam keadaan. Pada 20 Oktober 1973, dia melakukan sejumlah blunder dalam memanfaatkan kekuasaannya.
Mengutip ulasan The New York Times, 2 Juli 1987, Presiden Nixon disebutkan meminta Jaksa Agung Elliot Richardson untuk memecat jaksa khusus Archibald Cox. Richardson menolak dan memilih mengundurkan diri. Setali tiga uang dengan Wakil Jaksa Agung William Ruckelshaus yang memilih resign ketimbang memecat Cox. Baru kemudian Presiden Nixon berhasil mendesak jaksa pengacara negara Robert Bork yang bersedia memecat Cox walau dengan berat hati.
Baca juga: Dagelan Hukum The Trial of the Chicago 7
Imbasnya, parlemen mengusulkan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Nixon pada 30 Oktober 1973 yang proses dan investigasinya mengantarkan Presiden Nixon dimejahijaukan di Mahkamah Agung (MA). Sejumlah bukti, termasuk rekaman percakapan Nixon dan Haldeman di atas diajukan ke persidangan dan menghasilkan tiga dakwaan: penghalangan keadilan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penghinaan terhadap parlemen karena menolak pemanggilan.
Nixon akhirnya “menyerah”. Ia memilih opsi pahit: pengunduran diri dari jabatan presiden pada 9 Agustus 1974. Jabatan yang kemudian diisi Gerald Ford yang sebelumnya menjabat wakil presiden.
“Saya memutuskan bahwa karena perkara Watergate saya mungkin tidak mendapat dukungan dari Kongres yang saya perlukan untuk mendukung keputusan-keputusan sulit untuk menjalankan tugas yang berkenaan dengan kepentingan-kepentingan negara. Saya menyesalkan hal-hal buruk yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa yang mengantarkan pada keputusan ini,” tukas Presiden Nixon dalam pidato terakhirnya.