HASIL quick count jadi yang paling dinanti publik selepas Pemilihan Umum (Pemilu) pada Rabu (14/2/2024) lalu. Kendati penentuan pemenang resminya masih harus menunggu real count atau penghitungan manual dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), quick count tetap yang paling diandalkan. Selain lebih cepat, hasilnya juga takkan jauh berbeda dari penghitungan manual.
Margin of error hitung cepat terbilang kecil jika dibandingkan dengan hitung manual resmi KPU. Pada Pemilu 2004, hitung cepat yang dilakoni Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) dan National Democratic Institute (NDI) menyuguhkan angka pasangan pemenang Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) sebanyak 62,2 persen, sementara hasil real count KPU berada di angka 60,62 persen.
Pun pada Pemilu 2009 hingga 2019, di mana lebih banyak lembaga survei yang latah menggelar metode quick count, pun margin of error-nya juga tipis dari real count KPU. Adapun untuk Pemilu 2024 ini, untuk membandingkan lagi keakuratannya, masih menunggu hitung manual KPU pada medio Maret 2024 mendatang. Kendati begitu, berbagai lembaga survei rata-rata sudah menyajikan angka quick count untuk pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sudah di atas 55 persen, yang berarti menang telak satu putaran.
Lantas, apa itu quick count?
“Quick count adalah proses menghimpun informasi yang dikumpulkan oleh ratusan atau bahkan ribuan relawan. Semua informasi atau data berasal dari pengamatan langsung dalam proses pemilu. Para pengamat mengamati otoritas pemilu seiring mereka bertugas dalam proses pemungutan suara dan menghitung surat suara. Mereka merekam informasi, termasuk hasil riil pemungutan suara dengan berkas-berkas yang distandarisasi dan menyampaikan temuan-temuan mereka kepada pengumpulan (informasi) pusat,” tulis peneliti NDI Melissa Estok, Neil Nevitte, dan Glenn Cowan dalam The Quick Count and Election Observation: An NDI Guide for Civic Organizations and Political Parties.
Baca juga: Electoral College dan Pilpres Amerika
Quick count termasuk metode statistik dengan pengambilan data sampel, seperti halnya survei atau exit poll atau riset opini politik sebagian pemilik hak suara. Ia berbeda dari real count KPU, yang termasuk metode statistik dengan mengambil data sensus atau populasi total.
Kendati begitu, quick count sama sekali berbeda dari survei atau exit poll karena metode quick count tidak mendasarkan pengumpulan datanya dengan bertanya kepada pemilik hak suara sebagaimana dua metode tadi. Oleh karenanya data yang terkumpul dan kemudian diolah dalam quick count bisa lebih cepat memberikan hasil, meski tidak imun terhadap manipulasi data statistik.
“Statistik tidak pernah berbohong tapi yang bohong (adalah) orang yang pegang kendali pada data statistiknya,” kata Muhammad Fakhruddin, praktisi statistik cum dosen Universitas Negeri Jakarta, kepada Historia dalam salah satu kuliahnya.
Baca juga: Buka-Tutup Sistem Pemilu Indonesia
Dari Filipina ke Indonesia
Adalah National Citizens’ Movement for Free Elections (NAMFREL), organisasi masyarakat pemantau pemilu Filipina, yang merintis penggunaan quick count di Pemilu 1986. NAMFREL yang didirikan Jose S. Concepcion Jr. pada 1983 merupakan suksesor yang meneruskan tongkat estafet organisasi serupa pada 1960-an, New Voters Registration Committee.
Tujuan berdirinya NAMFREL sederhana, yakni memastikan hasil pemilu yang jujur dan adil, mengingat seringnya kecurangan pemilu di Filipina sejak 1960-an. Menjelang Peemilihan Presiden (Pilpres) 1986, Commission on Elections (Comelec) Filipina turut memberi akreditasi untuk NAMFREL guna membantu “Operation Quick Count” dengan memobilisasi 500 ribu relawan non-partisan.
Pilpres 1986 itu menghadirkan masing-masing dua calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres). Mereka adalah petahana Ferdinand Marcos yang diusung Partai Pergerakan Masyarakat Baru (KBL) dan Corazon Aquino dari Partai UNIDO (Organisasi Nasionalis Demokratik Bersatu). Sedangkan di kontestasi cawapres, yang bertarung adalah Salvador Laurel dari Partai UNIDO dan Arturo Tolentino dari Partai KBL.
Baca juga: Dinasti Marcos Kembali Masuk Istana
Hari-H pemilu dibuka pada pukul 7 pagi 7 Februari 1986. Hasil yang dirilis Comelec menyatakan Marcos sang diktator sebagai pemenangnya dengan meraup 10.807.197 suara (53,62 persen), sedangkan Aquino di angka 9.291.761 suara (46,10 persen).
Namun, hasil itu berbeda dari hasil yang dikeluarkan NAMFREL dengan metode quick count-nya. Kebalikan dari Comelec, NAMFREL justru menyuguhkan hasilnya memenangkan Aquino dengan 7.158.679 suara, sementara Marcos hanya 6.532.362 suara.
Hasil itu mengindikasikan adanya dugaan manipulasi dan penggelembungan suara untuk petahana yang sudah 26 tahun mempertahankan rezimnya. Indikasi itu makin kuat lantaran dua hari pasca-pemilu, sejumlah teknisi komputer Comelec mengundurkan diri.
“Dalam aksi mogok yang dramatis terhadap (dugaan) manipulasi dalam Pilpres Filipina, 30 operator computer-terminal dan data processor mengundurkan diri seiring hasil yang memenangkan Presiden Ferdinand E. Marcos. Mereka juga sampai mengungsi ke gereja Katolik terdekat, di mana sekitar 300 pendukung calon oposisi Corazon Aquino menjaga mereka,” tulis suratkabar LA Times edisi Februari 1986.
Baca juga: Lima Walikota Jadi Gubernur dan Presiden
Sejumlah perwakilan International Observer Delegation yang turut jadi pengamat juga menyatakan Pilpres 7 Februari 1986 itu tidak dilaksanakan secara jujur dan bebas karena tekanan dari Presiden Marcos. Mereka menyatakan deklarasi kemenangan Marcos tidak sah.
Skandal itu lantas bereskalasi menjadi gejolak politik. Revolusi Kekuatan Rakyat yang berlangsung pada 22-25 Februari 1986 akhirnya melengserkan Marcos. Corazon Aquino yang ayahnya, senator Benigno Aquino Jr., dibunuh tiga tahun sebelumnya pasca-dipenjara rezim Marcos, akhirnya resmi dilantik menjadi Presiden Filipina ke-11 pada 25 Februari 1986.
“Quick count juga berperan dalam plebisit Chile 1988 yang menolak perpanjangan masa jabatan Presiden (Jenderal Augusto) Pinochet dan mencegah manipulasi data Pemilu Panama 1989 oleh Presiden Manuel Noriega,” sambung Estok dkk.
Baca juga: Cerita di Balik Pasangan SBY-JK di Pilpres 2004
Seiring waktu, metode quick count juga hadir di Indonesia. LP3ES yang merintis percobaannya pada Pemilu 1997, di Provinsi DKI Jakarta semata. Lantas pada Pemilu 1999, LP3ES mengujicobakannya lagi khusus di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hal yang sama juga dilakukan Forum Rektor Indonesia (FRI) di seluruh wilayah dengan ratusan relawan mahasiswa.
“Pada pemilu bebas pertama dalam sejarah Indonesia itu, quick count yang dilakukan FRI terbukti krusial. Pasalnya luasnya geografi dan terbatasnya infrastruktur di wilayah urban nyaris membuat kolaps mekanisme penghitungan suara,” tandasnya.
Baca juga: Serba-serbi Politik Gentong Babi