Buka-Tutup Sistem Pemilu Indonesia
Pemilu perdana 1955 menggunakan sistem proposional tertutup. Memasuki era reformasi, sistem proporsional terbuka digunakan demi menjunjung demokrasi dan keterbukaan.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pengajuan sistem pemilu proporsional tertutup. Itu artinya, pada Pemilu 2024 mendatang sistem proporsional terbuka masih diterapkan. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka memungkinkan masyarakat memilih sendiri calon legislatif dari daerah pemilihannya. Sementara itu, pada sistem proporsional tertutup, kontrol partai sangat dominan untuk menentukan calon legislatif.
Menilik sejarahnya, sistem proporsional tertutup lebih dulu diterapkan dalam Pemilu perdana tahun 1955. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk, dengan formula setiap 300.000 penduduk diwakili oleh satu anggota DPR. Untuk wilayah seluas Indonesia, sistem ini dirasa mampu mencakup perwakilan dari setiap daerah secara berimbang.
Dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Herbet Feith menyebut keragaman perwakilan proporsional yang digunakan dalam pemilu 1955 sangat mendukung daerah-daerah padat penduduk, khususnya di Jawa. “Oleh karena itu, Jawa dengan 66,2 persen penduduk memperoleh 69,65 persen dari jumlah kursi parlemen,” kata Feith, “Daerah pemilihan Kalimantan Timur yang berpenduduk sedikit tidak memilih anggota sama sekali.”
Baca juga: Manuver Politik Jelang Pemilu 1955
Sistem proporsional tertutup tetap menjadi acuan pemilu pada masa Orde Baru. Satu kabupaten diberi jatah satu kursi DPR. Setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk. Tidak ada dinamika yang berarti, karena Golkar selalu memenangi kontestasi mulai dari pemilu 1971, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1997.
Pemilu 1999 yang telah memasuki era reformasi juga masih menerapkan sistem proporsional tertutup. Dalam mekanismenya, pemilih hanya mencoblos lambang partai saja. Partailah yang menyiapkan calon legislatifnya berdasarkan nomor urut. Karena krusialnya peran partai, menurut Burhanuddin Muhtadi, kandidat caleg bersaing untuk mengamankan nomor urutnya dalam daftar partai. Jika partai mendapat kursi di satu daerah pemilihan, maka kursi itu diambil oleh kandidat dengan nomor teratas.
Muhtadi menyebut istilah populer “nomor topi” dan “nomor sepatu” untuk mengilustrasikan pentingnya nomor urut kandidat. Nomor topi adalah mereka yang menempati peringkat tinggi dalam nomor urut yang ditetapkan partai. Sebaliknya, nomor sepatu merujuk kandidat caleg yang menempati urutan bawah. Maka kecillah peluangnya untuk lolos masuk ke Senayan.
Baca juga: Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu
“Karena pentingnya nomor urut dalam menentukan tingkat dipilihnya kandidat, banyak dari mereka yang kaya raya yang dikabarkan membeli slot yang memungkinkan mereka menang, bahkan dengan menyuap elite partai yang berkuasa menentukan nomor urut,” terang Muhtadi dalam disertasinya yang diterbitkan Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru.
Pada pemilu 2004, untuk kali pertama diterapkan sistem proposional terbuka. Pemilih dapat memilih partai ataupun calon legislatifnya sendiri pada kertas suara yang disediakan. Namun, proporsinya belum sepenuhnya terbuka, melainkan terbuka terbatas (semi-terbuka).
Seorang calon legislatif dinyatakan terpilih jika memenuhi Bilangan Pembangi Pemilih (BPP). JIka tidak ada calon yang memenuhi BPP, perolehan suara parpol diberikan calon berdasarkan nomor urut teratas dalam surat suara. Sementara itu, untuk pemilihan anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik. Masing-masing daerah meloloskan empat anggota DPD.
Baca juga: Wejangan Penguasa Buat Partai Kalah
Barulah pada pemilu 2009, model proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak dihelat. Nomor urut tak lagi menentukan. Begitu pula dalam pemilu 2014, menerapkan model yang sama dengan pemilu 2009. Hanya saja ambang batas parlemen naik menjadi 3,5 persen sehingga hanya meloloskan 10 parpol. Jumlah anggota DPR dan DPD tidak berubah dari tahun 2009, yakni 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD dari 33 provinsi yang diwakilinya.
“Model terbuka berlaku sejak pemilu 2004 hingga 2019. Namun khusus 2004 penentuan calon terpilih berdasarkan pada nomor urut, sedangkan 2009--2019 penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak,” demikian ulas Muhammad Nizar Kherid dalam Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955--2019.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar