Lima Walikota Jadi Gubernur dan Presiden
Bukan hanya Jokowi, lima tokoh dunia ini juga pernah jadi walikota dan gubernur sebelum menjabat presiden. Siapa saja mereka?
DALAM Rakernas Korpri di Jakarta pada Selasa (3/10/2023), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal rekam jejak dirinya sebagai satu-satunya presiden yang berangkat dari walikota. Hal itu ia utarakan ketika membahas soal prioritas penggunaan anggaran.
“Saya mengalami karena pernah jadi walikota (Solo) dua kali, pernah jadi gubernur (DKI Jakarta), pernah jadi presiden dua kali. Enggak ada di Indonesia seperti itu. Dari bawah, walikota, dua kali; gubernur; presiden, dua kali. Jadi saya mengalami betul, mengerti betul situasi di lapangan seperti apa,” kata Presiden Jokowi.
Sejak Republik Indonesia berdiri, memang tidak ada presiden yang punya latar belakang menduduki jabatan eksekutif dari bawah selengkap Presiden Jokowi. Tapi di dunia internasional, rekam jejak demikian bukan hanya milik Jokowi. Berikut lima di antaranya:
Andrew Johnson (Amerika Serikat)
Pria keturunan Skotlandia-Irlandia yang lahir di Raleigh, North Carolina pada 29 Desember 1808 ini besar di lingkungan keluarga menengah-bawah. Sebagai anak pebisnis konveksi rumahan, Johnson mengenal politik dari buku-buku tentang para orator politik yang ia baca di waktu senggang.
“Ia seorang kutu buku. Buku-bukunya tentang para orator kondang karena ia punya minat soal dialog politik dan ia kadang mempraktikkannya dengan para pelanggannya yang punya beda pandangan politik. Ia juga sering ikut acara-acara debat di Greeneville College (kini Tusculum University),” ungkap Hans L. Trefousse dalam Andrew Johnson: A Biography.
Kendati sebelumnya telah merintis kariernya dalam politik praktis, kesuksesannya baru diraih saat mendapat kursi di Dewan Kota Greeneville pada 1829. Namanya kemudian dikenal lebih luas sebagai pendukung reformasi pajak permukiman dan infrastruktur di Tennessee, serta pendukung pencabutan kebebasan kaum kulit berwarna pasca-Pemberontakan Budak Nat Turner (Agustus 1831).
Ketenarannya itulah yang kemudian jadi faktor penting yang membuatnya menang saat ikut kontestasi pemilihan walikota Greeneville pada 1834, dan mendapat kursi di Kongres Amerika mewakili Tennessee pada 1843. Pada 1853, ia menang dalam pemilihan gubernur negara bagian Tennessee setelah diusung Partai Demokrat. Ia juga mendapat status tambahan sebagai gubernur militer Tennessee berpangkat brigadier jenderal saat pecah Perang Saudara Amerika (1861-1865).
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Pasca-Perang Saudara, Johnson mendapat suara terbanyak dalam konvensi National Union Party untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi petahana Presiden Abraham Lincoln di Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika 1864. Duet Lincoln-Johnson menang telak atas pasangan George McClellan-George Pendleton dalam electoral vote (212-21).
Namun Johnson hanya sebentar menjabat wapres. Pasalnya pada 14 April 1865, Presiden Lincoln ditembak mati di Ford’s Theatre, Washington DC oleh simpatisan Konfederasi, John Wilkes Booth. Keesokan paginya, Johnson diambil sumpahnya sebagai presiden Amerika ke-17 oleh Hakim Agung Salmon P. Chase. Di pundaknya teremban tugas melanjutkan program Lincoln soal rekonstruksi pasca-Perang Saudara.
Nahas baginya, Johnson juga jadi presiden pertama yang dimakzulkan Kongres Amerika dengan dasar Undang-Undang (UU) Masa Jabatan dan UU tentang Rekonstruksi Pasca-Perang Saudara. Salah satu tindakannya yang jadi dasar impeachment-nya adalah Presiden Johnson sewenang-wenang mengganti Menteri Perang Edwin Stanton.
Grover Cleveland (Amerika Serikat)
Cleveland yang lahir di Caldwell, New Jersey pada 18 Maret 1837, mulai terlibat dalam politik praktis dengan bergabung bersama Partai Demokrat untuk maju dalam pertarungan pemilihan jaksa Distrik New York pada 1865. Namun ia gagal menang dari rivalnya asal Partai Republik.
Lima tahun berselang, Cleveland baru sukses menapaki kariernya di ranah eksekutif dengan terpilih menjadi sheriff kota Erie County dan kemudian terpilih jadi walikota Buffalo pada 1881. Kesuksesannya memberantas korupsi di Buffalo membuat Partai Demokrat kembali mengusungnya di pemilihan gubernur negara bagian New York pada 1882.
“Pada Pemilu 1882, Cleveland keluar sebagai pemenangnya dengan keunggulan jumlah suara 535.318 atas calon gubernur (cagub) dari Partai Republik, Charles J. Folgers dengan 342.464 suara. Itu jadi selisih terbesar yang pernah ada dalam Pemilu New York di masa itu,” ungkap Allan Nevins dalam Grover Cleveland: A Study in Courage.
Baca juga: Joe Biden dan Pemimpin Gagap
Tetapi belum genap dua tahun menjadi gubernur, nama Cleveland kembali diusung Partai Demokrat dalam konvensinya jelang Pilpres 1884. Isu korupsi kembali diangkat Cleveland dalam kampanyenya melawan capres Partai Republik, James G. Blaine. Hasilnya, ia unggul tipis dari Blaine dalam electoral vote, 219-182, dan memastikannya jadi presiden Amerika ke-22.
Isu tentang aneksasi Hawaii dan Krisis Venezuela jadi dua dari sejumlah isu yang membuatnya kalah dalam Pilpres 1888 dari capres Republik, Benjamin Harrison. Namun Cleveland yang belum ingin pensiun meski sudah terjangkit kanker, kembali maju ke Pilpres 1896. Ia balik mengalahkan Harrison yang jadi petahana lalu menjadi presiden Amerika ke-24.
Calvin Coolidge (Amerika Serikat)
Coolidge merupakan jaksa kelahiran Plymouth, Vermont pada 4 Juli 1872. Politisi Partai Republik ini punya jalan yang terbilang mulus dalam politik Amerika. Setelah jadi anggota Kongres Negara Bagian Massachusetts pada 1907, Coolidge melangkah ke ranah eksekutif usia memenangi pemilihan walikota Northampton pada 1910.
“Sebagai mantan anggota kongres negara bagian yang disukai publik, ia menang dengan perolehan suara 1.597-1.409 dari lawannya. Dalam setahun menjabat walikota, ia menaikkan gaji guru dan menyelesaikan utang-utang pemerintah kota,” tulis Claude Moore Fuess dalam Calvin Coolidge: The Man from Vermont.
Rekam jejaknya yang cemerlang pun membuat Partai Republik mengusungnya sebagai calon letnan gubernur dalam Pilgub Massachusetts berpasangan dengan cagub Samuel W. McCall pada 1915. Pasangan Coolidge-McCall menang dengan perolehan suara lebih dari 50 ribu. Ketika McCall pensiun pada 1917, giliran Coolidge maju jadi calon gubernur dan menang di Pilgub Massachusetts 1918 berpasangan dengan sesama praktisi hukum, Channing Cox.
Baca juga: Kakek Donald Trump Korban Pandemi
Dalam Konvensi Partai Republik jelang Pilpres 1920, nama Coolidge diajukan jadi cawapres mendampingi capres Warren G. Harding. Duet Harding-Coolidge “menulis sejarah baru” dengan menjadi pemenang secara nasional sekaligus menang di Tennessee untuk kali pertama sejak era Rekonstruksi Pasca-Perang Saudara.
“Silent Cal”, begitu ia dijuluki publik dan media massa sebagai wapres yang cenderung pasif di masa jabatannya. Namun di balik awan duka wafatnya Presiden Harding karena serangan jantung pada 2 Agustus 1923, Coolidge tampil menggantikannya setelah diambil sumpahnya sebagai presiden Amerika ke-30 sehari pasca-wafatnya Harding.
Manuel Quezon (Filipina)
Lahir dari keluarga militer di Baler, Filipina, pada 19 Agustus 1878, Quezon turut meninggalkan bangku kuliah hukumnya untuk angkat senjata dalam Perang Filipina-Amerika (1899-1902). Ia tercatat pernah bertempur di sektor Bataan. Setelah mendapat pangkat mayor, ia menjadi ajudan Presiden Filipina pertama Emilio Aguinaldo.
Meski perjuangan kala itu masih gagal dan Republik Filipina Pertama dibubarkan Amerika, Quezon tak patah arang. Perjuangannya lalu ditempuh lewat jalur politik. Ia sukses menduduki kursi Dewan Kota Lucena pada 1906 dan terpilih jadi gubernur Provinsi Tayabas (kini Provinsi Quezon) di tahun yang sama.
Kariernya makin cemerlang setelah dirinya mendapat kursi di parlemen mewakili Provinsi Tabayas di pemerintahan Persemakmuran Filipina pada 1907. Quezon akhirnya diusung Partai Nacionalista maju ke Pilpres 1935 dan menang dari seniornya, Emilio Aguinaldo dan Gregorio Aglipay, dengan meraup 68 persen suara.
Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad
Mengutip Antonio M. Molina dalam The Philippines Through the Centuries, Presiden Quezon segera melakukan reorganisasi pemerintahan. Mulai dari pemindahan badan Kepolisian Filipina dari Kementerian Dalam Negeri ke Kementerian Keuangan, hingga reorganisasi internal Kementerian Pertahanan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Komunikasi, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat. Di era kepemimpinan Quezon pula, Filipina mulai membuka diri bagi hak perempuan dalam politik dan mengenalkan bahasa Tagalog sebagai bahasa nasional.
“Ia terinspirasi doktrin-doktrin sosial Paus Leo XIII dan Paus Pius XI dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas pekerja. Quezon memulai program keadilan sosial, beberapa di antaranya dengan menetapkan UU Upah Minimum, pembatasan delapan jam kerja, serta UU sewa pertanahan bagi kaum petani,” ungkap Molina.
Uniknya, saat menjabat presiden, Quezon sekaligus mengemban tugas sebagai pelaksana tugas walikota pertama bagi Kota Quezon yang baru resmi berdiri pada Oktober 1939. Tapi itu hanya sebulan, karena kemudian Quezon menunjuk pejabat lain. Pada 1951, kota Quezon mengakhiri tradisi walikotanya ditunjuk langsung oleh presiden dengan menggelar pemilihan walikota.
Pemerintahan Quezon akhirnya terpaksa “mengungsi” ke Australia dan kemudian Amerika karena direcoki invasi Jepang saat Perang Pasifik. Di negeri Paman Sam itulah Quezon mengakhiri tugasnya sejurus ia mengembuskan nafas terakhirnya pada 1 Agustus 1944 di New York karena TBC.
Mahmoud Ahmadinejad (Iran)
Sosok sederhana tapi disegani kawan dan lawan, utamanya Amerika, ini sudah mengenal dunia politik sejak kuliah di jurusan teknik sipil lewat organisasi-organisasi mahasiswa pada 1970-an seiring Revolusi Islam. Saat gegernya Revolusi Islam (1978-1979) yang menumbangkan monarki Dinasti Pahlavi, pria yang lahir di Aradan pada 28 Oktober 1956 itu aktif di Daftar-e Tahkim e-Vahdat (Kantor Penguatan dan Konsolidasi Persatuan). Organisasi pelajar itu merupakan onderbouw organisasi militan Mojahed e-Khalq.
Namun sebelum masuk ke dunia politik praktis, pada 1986 Ahmadinejad masuk militer sebagai prajurit di unit Zeni Tempur ke-6 Garda Revolusioner dalam Perang Iran-Irak (1980-1988). Sejak itu, namanya pun melejit. Dia bahkan sempat ditunjuk jadi gubernur di dua provinsi, Maku dan Khoy, lalu jadi gubernur jenderal di Provinsi Kurdistan.
Baca juga: Prahara Hijab di Tanah Persia
Selama melanjutkan studi doktoral di Tehran, ia kembali ditunjuk jadi gubernur jenderal Provinsi Ardabil yang baru dibentuk (1993-1997). Setelah Presiden Mohammad Khatami menarik penugasannya, Ahmadinejad kemudian melanjutkan studinya dan lulus, kemudian memilih mengajar.
“Tetapi namanya kembali populer di kalangan konservatif hingga kemudian ia ditunjuk menjadi Walikota Tehran pada Mei 2003, imbas dari ketidakpuasan dewan kota dan petinggi konservatif terhadap kebijakan-kebijakan para tokoh reformis pengikut Khatami,” tulis Said Amir Arjomand dalam After Khomeini: Iran Under His Successors.
Baru dua tahun menjabat walikota, namanya kembali diusung sejumlah organisasi, dan bahkan Ayatollah (Pemimpin Tertinggi Syiah) Ali Khamenei, untuk maju ke Pilpres 2005. “Segalanya mungkin dan kita bisa”, begitu slogan kampanye Ahmadinejad yang bersaing melawan Akbar Hashemi Rafsanjani.
Hasilnya berbuah manis. Ahmadinejad memenangi 62 persen suara dan resmi menjabat sebagai presiden Republik Islam Iran ke-6 (2005-2013). Sesuai janjinya, ia membela diri terkait hak program nuklir negerinya yang diprotes Amerika. Ia juga terus menyuarakan penentangannya terhadap hak veto lima negara tetap di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Baca juga: Sukarno dan Jah Rastafari
Tambahkan komentar
Belum ada komentar