Prahara Hijab di Tanah Persia
Hijab selalu jadi perkara pelik di Iran dari masa ke masa. Pernah dilarang, pernah pula diwajibkan dengan ancaman hukuman ekstrem.
APARAT kepolisian hingga Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) merespon aksi massa anti-pemerintah dengan tindakan represif. Gejolak aksi protes yang berlangsung sejak 16 September 2022 itu kian memanas dan berdarah hingga menewaskan 76 orang dan melukai hampir seribu lainnya.
Pemerintahan Presiden Ebrahim Raisi sejak 2017 memang “langganan” digoyang aksi protes dengan beragam tuntutan oleh sejumlah kelompok anti-pemerintah, pro-demokrasi hingga pro-monarki. Mulai dari tingginya harga-harga bahan pokok, otoritarianisme pemimpin tertinggi Ali Khamenei hingga persoalan-persoalan HAM, termasuk terkait hukum wajib mengenakan hijab bagi setiap perempuan.
Yang disebut terakhir bahkan menjadi pemicu gejolak belakangan ini. Gelombang protes terjadi di 31 provinsi. Pemicunya adalah kematian seorang gadis berusia 22 tahun, Mahsa Amini, akibat kekerasan ekstrem yang dialaminya di tahanan polisi.
Baca juga: Jam Malam Mencekam di Negeri Oranye
Penahanan Mahsa sendiri bermula saat dirinya ditegur oleh aparat Gašt-e eršād atau semacam polisi moral di gerbang Tol Shahid Haghani, Tehran, pada 13 September 2022. Mahsa dianggap melanggar hukum kewajiban berhijab yang sudah diterapkan pada 1979 pasca-Revolusi Islam Iran.
Kepada sang kakak, Kiaresh Amini, pihak aparat menyampaikan bahwa Mahsa akan digelandang ke pusat tahanan untuk “diedukasi”. Namun setelah dua jam menunggu di kantor polisi, Kiaresh mendapat laporan bahwa Mahsa mengalami serangan jantung dan gegar otak hingga harus dibawa ke Rumahsakit Kasra.
Lepas dua hari mengalami koma, Mahsa mengembuskan nafas terakhir pada 16 September. Dari pemeriksaan medis diketahui bahwa Mahsa mengalami penyiksaan, yang ditunjukkan dari bekas luka-lukanya di sekujur tubuh. Pengakuan sesama tahanan menunjukkan, sejak di mobil tahanan sampai di fasilitas “edukasi” itu Mahsa mengalami pelecehan verbal hingga penyiksaan fisik.
Sehari berselang, kabar pahit itu menjadi bara yang membakar sejumlah kelompok aktivis anti-pemerintah. Bentrokan demi bentrokan antara massa pemrotes dan aparat yang bertindak represif pun tak terhindarkan sejak 17 September.
Kian hari aksi massa makin meluas hingga ke 30 provinsi. Akibatnya, pemerintah bersusah payah melakukan pemblokiran jaringan internet kendati sejumlah video tetap bisa beredar ke luar Iran.
Baca juga: Kericuhan Massa Anti-Ekstradisi di Hong Kong
Selain 76 jiwa melayang dan hampir seribu terluka, sekira 1.200 pengunjuk rasa lain ditahan dan menjadi sasaran empuk penyiksaan aparat. Termasuk seorang akvitis bernama Maryam (51) yang seminggu lalu turut terciduk aparat.
“Yang terjadi lebih parah dari yang Anda lihat dalam video-video. Saya mendengar komandan mereka memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk bertindak brutal. Salah satunya menampar saya dan mengatakan saya pelacur dan mata-mata Israel. Kami ditahan di pos polisi kecil bersama 60 perempuan lain. Saat kami berteriak dan protes di ruang tahanan, mereka mengancam akan merudapaksa kami jika tidak tutup mulut,” aku Maryam, dikutip BBC, Rabu (28/9/2022).
Tekanan dan intimidasi serupa juga dialami Feresteh (bukan nama sebenarnya). Mengadu kepada aparat perempuan pun sama sekali tak membantu.
“Opsir yang mencatat di pusat tahanan menanyakan nama saya dan mencaci saya sebagai perempuan jalang. Saat saya komplain, dia mengancam akan menyerahkan saya kepada para saudaranya (opsir pria) untuk dibereskan jika saya terus-menerus protes,” kata Feresteh.
Baca juga: Minggu Berdarah di Kota Selma
Di masing-masing kantor polisi di Tehran, para pengunjuk rasa itu dijejalkan di ruangan sempit yang berisi antara 60-80 orang. Setelah diintimidasi dan mendapatkan penyiksaan fisik, umumnya mereka dibebaskan 1-2 hari kemudian tergantung keputusan hakim distrik.
“Risiko penyiksaan dan perlakuan kasar terhadap para pengunjuk rasa adalah hal serius dan penggunaan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa adalah kejahatan internasional. Dunia mesti membela tuntutan-tuntutan rakyat Iran atas hak-hak dasar mereka,” kata Direktur Iran Human Rights Mahmood Amiry-Moghaddam.
Eskalasi aksi kekerasan terhadap para aktivis hingga jurnalis itu belakangan mendapat perhatian dunia. Aksi-aksi solidaritas terjadi di Paris (Prancis), Stockholm (Swedia), Athena (Yunani), hingga Istanbul (Turki).
Paksaan Larangan dan Kewajiban Hijab
Persoalan penutup aurat, baik hijab hingga cadar, sudah jadi perkara di Iran sejak masa pemerintahan sekuler Reza Shah Pahlavi. Saking ingin mendorong modernisasi, salah satunya dengan busana yang kebarat-baratan, Reza Shah sampai merilis dekrit Kashf-e hijab yang melarang setiap perempuan mengenakan hijab apalagi cadar, serta sejumlah pakaian kuno pria pada 7 Januari 1936.
Reza menganggap pakaian kuno pria dan hijab atau cadar merupakan simbol keterbelakangan. Tak hanya mengeluarkan perintah, ia ikut memberi “teladan” dengan menerapkan dekrit itu kepada keluarganya. Ketiga istrinya maupun semua putra dan putrinya ketika semua diajak muncul ke publik pada upacara wisuda di Universitas Tehran, tampil nir-hijab.
“Baiklah, karena yang lain belum ada yang mau bertindak duluan, saya sendiri sebagai pemimpin, mempersiapkan diri untuk melangkah maju dan menjadi contoh bagi mereka,” kata Reza Shah, dikutip Stephanie Cronin dalam Anti-Veiling Campaigns in the Muslim World: Gender, Modernism, and the Politics of Dress.
Baca juga: Ketika Indonesia Takut Revolusi Iran
Dekrit itu menjadikan Iran sebagai negara muslim pertama yang melarang penggunaan penutup aurat. Apabila dilanggar, hijab si perempuan yang mengenakannya akan dilucuti paksa oleh aparat dan jika masih membandel, bui menantinya.
“Dengan ini, polisi dan aparat sipil lainnya menerapkan kashf-i hijab secara paksa di jalan-jalan, menyebabkan banyak permasalahan di antara kaum perempuan. Bagi yang belum memahami, para perempuan itu diperintahkan paksa membuka hijab dan cadar meski menimbulkan banyak reaksi negatif, mengingat itu sudah jadi kebiasaan ribuan tahun, terlebih berhijab diwajibkan dalam syariah,” ujar Ali-Ashgar Hekmat, menteri pendidikan rezim Reza Shah, dalam memoar berjudul Thirty Memoirs From the Auspicious Pahlavi Era.
Larangan itu kemudian mengakibatkan banyak perempuan menahan diri untuk tidak keluar rumah. Mereka menghindari malu akibat hijab mereka dilucuti paksa di ruang-ruang publik. Situasi tersebut baru mereda sedikit pasca-Reza Shah turun takhta pada 1941.
Mohammad Reza Pahlavi, putra tertua Reza Shah yang menjadi penerus kekuasaan, punya sedikit perbedaan pandangan menyoal hijab yang menimbulkan pro dan kontra selama enam tahun ke belakang. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan dekrit ayahnya. Larangan berhijab dicabut meski penggunaan hijab atau cadar masih dianggap sebagai indikator masyarakat yang terbelakang.
Baca juga: Anak Tiran Masuk Istana
Reza Pahlavi terinspirasi dari sekularisme di Turki sejak era Mustapa Kemal Atatürk, yang menetapkan kebijakan perempuan tanpa hijab walau tanpa paksaan. Oleh karenanya, kebijakan “Raf’i Hijab” yang menggantikan dekrit terdahulu tergolong lebih moderat. Ia hanya menganjurkan agar para perempuan bisa lebih bebas berekspresi.
“Ayah saya mengeluarkan aturan membuka hijab. Menurut aturannya, perempuan dewasa dan gadis dilarang mengenakan cadar atau niqab di publik. Larangan ini menjadi perhatian segenap negeri. Akan lebih masuk akal untuk melihat tolok ukur reformasi dalam berdemokrasi. Setelah ayah saya meninggalkan negeri ini dengan kondisi yang kacau, kaum perempuan beberapa di antaranya kembali pada kebiasaan mereka (berhijab), melanggar aturan itu. Akan tetapi saya dan pemerintah akan mengabaikan pelanggaran semacam itu tanpa harus ditindak keras,” ungkapnya dalam otobiografi Mission for My Country.
Kaum perempuan kemudian mendapat kebebasan dalam berekspresi dan berbusana kendati larangan terdahulu yang dikeluarkan Reza Shah tak serta-merta lenyap dari alam bawah sadar di berbagai tingkatan masyarakat. Para perempuan yang memilih berhijab dan bercadar kemudian justru mendapat beberapa pengalaman diskriminatif.
“Cadar hitam kemudian biasanya dikenakan untuk berduka dan mulai sering dipakai sehari-hari sejak pertengahan 1970-an. Akan tetapi dalam periode sebelum Revolusi (Islam) Iran, cadar hitam, terutama di kota Qom diasosiasikan dengan politik Islam dan menjadi stigma tersendiri di beberapa area masyarakat Iran. Diskriminasi terhadap perempuan berhijab atau bercadar masih mencuat lantaran institusi-institusi pemerintah mendorong perempuan tanpa hijab, dan beberapa restoran menolak melayani perempuan yang mengenakannya,” tulis Reza Ramezani dalam Hijab in Iran, the Second Pahlavi Era.
Kondisi tersebut berbalik seiring jatuhnya rezim Reza Pahlavi oleh Revolusi Islam Iran (1978-1979). Pemimpin tertinggi Ayatollah Khomeini mengumumkan bahwa setiap perempuan dianjurkan mengenakan hijab atau cadar dan pakaian Muslimah longgar atau tidak mengumbar lekuk tubuh sebagaimana yang diwajibkan dalam syariat Islam.
Baca juga: Jilbab Terlarang di Era Orde Baru
Banyak perempuan yang sebelumnya mengenakan hijab sebagai simbol protes, tidak menduga hijab menjadi kewajiban. Menurut Valentine M. Moghadam dalam Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East, saat datang seruan pertama Ayatollah Khomeini pada Februari 1979 yang mengatakan bahwa ia memilih melihat perempuan dalam busana yang Islami, banyak perempuan terkejut. Sejumlah kelompok aktivis perempuan sempat memprotes tapi seiring kekalahan kaum politik kiri dan liberal pada 1980 hingga kemudian menghilang, kelompok Islam baru mewajibkan hijab dengan aturan yang ketat.
Aturan tersebut tertulis dalam Kitab Hukum Islam Iran Ke-5. Dalam pasal 638 ditetapkan, perempuan yang tak mengenakan hijab terancam hukuman penjara minimal dua hari dan maksimal dua bulan, dan atau membayar denda minimal 50 ribu rial dan maksimal 500 ribu rial.
Pada 1983, aturan tersebut diperluas lewat keputusan Majelis Permusyawaratan Islam. Kewajiban berhijab tak hanya berlaku untuk muslimah tapi juga perempuan non-Islam. Ganjaran pelanggarannya pun ditambah dengan hukuman 74 kali cambukan dan atau hukuman penjara 60 hari. Sejak itu, kaum perempuan di Iran suka-tidak suka harus mengenakan hijab. Benih api dalam sekam pun tersemai.
Benih api dalam sekam itu mulai membakar pada Mei 2017, ketika Masih Alinejad, aktivis cum jurnalis Amerika kelahiran Iran, memberanikan diri untuk mengadvokasi dan membuka wadah perlawanan terhadap aturan itu via Facebook. Alinejad membuat grup bernama “My Stealthy Freedom” yang tak hanya mengajak perempuan tapi juga laki-laki dalam kampanyenya. Bak bunga api yang terus membakar akibat ditiup angin, gagasan itu berbuah menjadi gerakan nyata “White Wednesday”, sebuah kampanye berupa kaum perempuan secara bersamaan mengungkapkan ekspresi dengan busana putih, baik busana biasa maupun busana hijab.
“Kampenye ini ditujukan kepada perempuan yang tanpa paksaan mengenakan hijab dan yang tetap menentang pemaksaan mengenakannya. Banyak perempuan di Iran melihat paksaan dalam kewajiban itu sebagai penghinaan. Dengan mengambil video diri mereka mengenakan (busana) putih, para perempuan ini bisa menunjukkan protes mereka terhadap kewajiban itu,” kata Alinejad di laman grup Facebook itu.
Baca juga: Membuka Bab Sejarah Jilbab
Meski kemudian sejumlah perempuan yang mem-posting video membuka hijab di grup Facebook itu diciduk polisi, gerakan itu masih bertahan walau sembunyi-sembunyi. Banyak akvitis perempuan itu yang kemudian memberanikan diri protes di jalan-jalan berbarengan dengan aksi massa anti-pemerintah lain.
Gerakan itu mengguncang pemerintah Iran usai kematian Mahsa Amini. Dunia internasional, salah satunya Turki, turut memberi perhatian dan berharap pemerintah Iran menghindari cara-cara kekerasan dalam penanganannya.
“Saya turut berduka atas kematian (Mahsa Amini) yang telah terjadi. Saya berharap dan percaya pihak (pemerintah) Iran akan mengambil tindakan terukur dengan akal sehat. Pilihan (kebebasan) individu adalah hal yang penting. Bagi kami menjadi penting mengatasi semuanya dengan memprioritaskan kedamaian sosial,” tukas juru bicara Kepresidenan Turki, İbrahim Kalın, kepada NTV 23 September 2022.
Baca juga: Tangan Zionis Berlumuran Darah Jurnalis
Tambahkan komentar
Belum ada komentar