top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Sukarno dan Jah Rastafari

Sukarno menjalin persahabatan dengan Haile Selassie. Tokoh kharismatik gerakan Rastafari.

9 Okt 2021

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sukarno dan Haile Selassie pertama kali bertemu di Beograd pada 1961. (LIFE, 15 September 1961).

KEDEKATAN Presiden Sukarno dengan para pemimpin dunia tak diragukan lagi. Bukan hanya dengan para pemimpin negara-negara Asia, Bung Besar juga menjalin persahabatan dengan para pemimpin benua hitam. Dari Presiden Aljazair Ben Bella hingga bapak bangsa Ghana, Kwame Nkrumah. Tak ketinggalan, salah satu pemimpin Afrika kharismatik, Haile Selassie.


Haile Selassie merupakan kaisar Ethiopia periode 1930 hingga 1974. Tak hanya sebagai pemimpin Ethiopia, Haile Selassie bahkan dianggap sebagai “Yesus”-nya gerakan Rastafari atau biasa disebut “Jah”. Istilah Rastafari sendiri diambil dari nama Haile sebelum berkuasa, yakni Ras Tafari Makonnen. “Ras” merupakan gelar pangeran.


Gerakan Rastafari memiliki banyak pengikut sejak pertama kali berkembang pada 1930-an. Gerakan yang lekat dengan musisi Bob Marley ini bahkan berkembang pesat di Jamaika dan wilayah Karibia lainnya. Nama besar Haile ini tentu tak luput dari perhatian Sukarno.


Sukarno dan Haile Selassie pertama kali bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non Blok di Beograd, Yugoslavia pada 1961. Bambang S. Widjanarko, ajudan yang mendampingi Sukarno, mengisahkan betapa kedua tokoh ini saling menghormati.


Kala itu, Bambang baru selesai berbicara dengan Presiden Joseph Broz Tito. Haile Selassie kemudian menanyakan sesuatu kepada Bambang. Bambang menjawab, “Yes Excellency.” Mendengar itu Sukarno langsung menegur Bambang, “No Bambang! You have to say ‘Your Majesty’.”


“Segera saya sadar telah membuat kesalahan, maka saya mohon maaf dan memperbaiki dalam pembicaraan selanjutnya,” tulis Bambang dalam Sewindu Dekat Bung Karno.


Jauh sebelum itu, hubungan Haile Selassie dengan Indonesia sesungguhnya telah terjalin. Pada 1955, Haile Selassie mengutus dua wakilnya untuk mengikuti Konferensi Asia Afrika (KAA). Sementara pada 1958, Sukarno menganugerahi Haile Selassie dengan “Star of the Republic of Indonesia, 1st Class”.


Hubungan diplomatik itu kemudian berlanjut dengan didirikannya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Ethiopia. Menurut Sigit Aris Prasetyo dalam Dunia dalam Genggaman Bung Karno, Haile Selassie bahkan menyempatkan hadir dalam peresmian gedung Kedubes RI pada 1968.


Foto yang sebelumnya dipakai sebagai cover merupakan karya seniman Agan Harahap serial kolase digital "Membidik Sejarah" yang disertakan dalam Jakarta Biennale 2013. (Dok. Agan Harahap).
Foto yang sebelumnya dipakai sebagai cover merupakan karya seniman Agan Harahap serial kolase digital "Membidik Sejarah" yang disertakan dalam Jakarta Biennale 2013. (Dok. Agan Harahap).

Pada Januari 1965, ketika Indonesia memutuskan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Haile Selassie mengirim telegram kepada Sukarno. Ia menyatakan kesedihannya atas keputusan Sukarno. Seperti dikutip dari Daily Report, Foreign Radio Broadcasts Edisi 9-10, Haile Selassie menerima delegasi Ali Sastroamidjojo pada 13 Januari 1965. Ali menjelaskan mengapa Indonesia keluar dari PBB. Haile Selassie tetap menyesalkan keputusan itu. Namun, dengan senang hati menerima undangan ke Indonesia.


Pada pertengahan 1965, Sukarno mengutus Soebandrio menjalankan misi Safari Berdikari. Misi ini bertujuan untuk menggalang dukungan dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika dalam rangka penyelenggaraan Conference of The New Emerging Force (Conefo). Rombongan Safari Berdikari mengunjungi 14 negara di Timur Tengah dan Afrika sejak 14 Juni hingga 26 Juli 1965.


“Kami mengunjungi Iran, Irak, Libanon, Siria, Republik Persatuan Arab, Ethiopia, Somalia, Sudan, Kongo (Brazzaville), Ghana, Mali, Guinea, Maroko, dan Aljazair,” tulis Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno.


Gagasan Conefo disambut hangat oleh semua negara kecuali Sudan. Perdana Menteri Muhammad Ahmad Mahgoub kurang setuju terhadap Conefo. Menurutnya, sudah terlalu banyak konferensi internasional yang diselenggarakan namun hasilnya tidak konkret. Sementara itu, Haile Selassie adalah salah satu pemimpin Afrika yang mendukung ide Conefo.


“Kami selalu mengagumi dan bersimpati kepada politik yang dijalankan atau dianut oleh Presiden Sukarno, dan mudah-mudahan beliau terus merupakan pelopor dari perjuangan antiimperialisme untuk kepentingan kita semua,” kata Haile Selassie seperti dikisahkan Ganis Harsono.


Haile Selassie baru mengunjungi Indonesia pada 1968. Sayangnya, ia tak berjumpa dengan Sukarno karena Bung Besar telah lengser dari kekuasaan. Haile Selassie disambut oleh Presiden Soeharto di Bandara Kemayoran pada 7 Mei 1968. Ia membawa hadiah dua ekor kuda sebagai tanda persahabatan antara Ethiopia dan Indonesia.*


Artikel ini diperbaharui pada 12 Oktober 2021. Foto cover yang dipakai sebelumnya, repro dari buku Dunia dalam Genggaman Bung Karno (Sigit Aris Prasetyo, 2017), merupakan karya seniman Agan Harahap serial kolase digital "Membidik Sejarah" yang disertakan dalam Jakarta Biennale 2013.

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page