Masuk Daftar
My Getplus

Akhir Tragis Pembelot Korea Utara (I)

Memiliki hubungan dekat dengan Kim Jong-il membuat Ri Il-nam dan keluarganya hidup nyaman di Korea Utara. Namun, ia merasa terpenjara dan mendambakan kebebasan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 18 Mei 2024
Ri Il-nam (kanan, berbaju hitam) terlihat dalam foto keluarga Kim Jong-il (kanan, berbaju hitam dan berkacamata) yang diambil di Pyongyang pada tahun 1981. (Song Hye-rang, Deungnamu Jip).

“APAKAH Tuan sudah tahu, tahanan baru yang menempati salah satu sel di blok Tuan berasal dari Korea Utara. Konon kabarnya ia memiliki hubungan dengan Kim Jong-il,” kata seorang penjaga Pusat Penahanan Seoul kepada Hwang Sok-yong, seorang aktivis dan veteran Perang Vietnam, yang pada 1993 dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena melakukan perjalanan pertukaran budaya tanpa izin ke Korea Utara.

Kabar itu diketahui Hwang Sok-yong sekitar Juni 1994, ketika media Korea Selatan gencar melaporkan pembicaraan prospektif mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dengan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Il-sung terkait pengembangan senjata nuklir Korea Utara.

Meski tak terlalu tertarik dengan informasi yang diberikan penjaga pusat penahanan, Hwang Sok-yong akhirnya bertanya pula tentang orang baru di blok tahanannya itu. “Saya bertanya apakah tahanan baru itu juga telah melanggar Undang-Undang Keamanan Nasional seperti dirinya, dan sang penjaga menjawab bahwa si wajah baru adalah seorang plate,” tulis Hwang Sok-yong dalam memoarnya, The Prisoner: A Memoir.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Cinta Diktator Korea Utara

Menurut Hwang Sok-yong, kala itu orang-orang di pusat penahanan menggunakan istilah-istilah kasar untuk menyebut berbagai jenis penjahat yang ditahan di sana, seperti “pistol air” untuk pemerkosa dan plate untuk pelaku penipuan. Penulis yang lahir di Changcun, Manchuria tahun 1943 itu berasumsi bahwa istilah plate berasal dari aksi para penghibur yang memutar piring di udara, sementara seorang penipu bergerak di tengah kerumunan untuk mencuri uang dari penonton yang lengah.

“Saya tidak tertarik, dan mengira bahwa tahanan baru itu hanyalah seorang pembelot yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan gaya hidup kapitalis Korea Selatan. Banyak pembelot Korea Utara yang mengaku sebagai orang penting di negaranya,” tulis pria yang dihukum sebagai tahanan politik tersebut.

Foto Ri Il-nam muda yang dipotret pada tahun 1981. (Song Hye-rang, Deungnamu Jip).

Namun, pada suatu hari, ketika sejumlah tahanan sedang berjalan melewati pintu sel Hwang Sok-yong untuk berolahraga, lubang makanan yang terpasang di pintu selnya terbuka dan wajah seorang pria muda yang cerah dan enerjik muncul di baliknya. “Halo! Senang bertemu dengan Anda. Saya dari Korea Utara,” katanya.

Hwang Sok-yong membalas sapaan itu dengan senyuman. Ia kemudian bertanya bagaimana pria itu dapat melarikan diri dari Korea Utara. Seakan hendak menghindari topik pertanyaan tersebut, pria itu hanya menjawab bahwa cerita pelariannya terlalu panjang untuk dijelaskan. Meski begitu, ia mengungkapkan ketertarikannya terhadap tulisan-tulisan Hwang Sok-yong saat melakukan perjalanan ke Korea Utara.

Baca juga: Kisah Dewa dari Korea Utara

Setelah momen perkenalan itu, mereka hanya saling bertukar sapa singkat saat bertemu hingga Hwang Sok-yong meminta izin kepada salah seorang penjaga untuk berbicara dengan tahanan baru tersebut. Mereka kemudian mengobrol di kamar kecil, sementara tahanan lain sedang berada di lapangan olahraga. Percakapan itu menuntun mereka pada perbincangan lain hingga Hwang Sok-yong akhirnya mengetahui identitas tahanan baru tersebut.

Ia bernama Ri Il-nam, putra sulung Song Hye-rang, saudara perempuan Song Hye-rim yang memiliki hubungan asmara dengan Kim Jong-il, yang kelak menjadi pemimpin Korea Utara menggantikan ayahnya, Kim Il-sung. Kakeknya, Song Yu-gyeong pernah belajar di Jepang selama masa pendudukan Jepang di Korea dan menjadi seorang sosialis. Tepat setelah kemerdekaan Korea, ia ditugaskan untuk bertanggungjawab atas urusan fiskal di Partai Buruh Korea Selatan, terlepas dari kenyataan bahwa keluarganya, Changnyeong Songs, telah menjadi bangsawan pemilik tanah di zaman kolonial.

Kim Jong-il berfoto dengan Kim Won-ju yang merupakan ibunda Song Hye-rim di tahun 1981. (Song Hye-rang, Deungnamu Jip).

Sementara itu, neneknya, Kim Won-ju, merupakan seorang “New Woman” (sebuah gagasan yang mendefinisikan wanita sebagai sosok yang mandiri yang mampu bekerja, belajar, dan bersosialisasi setara dengan pria) yang pernah menjadi reporter di majalah Gaebyeok. Pada 1948, Kim Won-ju berpartisipasi dalam Konferensi Utara-Selatan sebagai perwakilan Federasi Wanita Demokratik Korea Selatan.

Putra sulung Song Yu-gyeong dan Kim Won-ju, Song Il-ki mengikuti wajib militer pada usia 17 tahun dan bekerja sebagai partisan di cabang Partai Buruh Korea Selatan di Provinsi Gyeongsang Selatan. Ia kemudian menjadi tawanan perang setelah gencatan senjata dan ditinggalkan sendirian di Korea Selatan. Di sisi lain, Song Yu-gyeong melarikan diri ke Utara, tetapi nasibnya buruk seiring dengan kemunduran Partai Buruh, dan ia meninggal dalam kesedihan. Putri sulungnya, Song Hye-rang membesarkan dua anaknya, Ri Il-nam dan Ri Nam-ok, sendirian setelah suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil.

Baca juga: Tiga Generasi Dinasti Kim

Putri kedua Song Yu-gyeong dan Kim Won-ju, Song Hye-rim, lulus dari Universitas Seni Drama dan Sinematik Pyongyang. Ia kemudian menjadi aktris papan atas dan menarik perhatian Kim Jong-il yang usianya lebih muda. Suaminya dengan enggan menceraikan Song Hye-rim. Pada akhir tahun 1960-an, Kim Jong-il dan Song Hye-rim tinggal bersama di Kediaman No. 15. Hubungan pasangan ini dirahasiakan dari ayah Kim Jong-il, pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Il-sung. Song Hye-rim melahirkan seorang putra yang diberi nama Kim Jong-nam. Pada masa inilah Kim Won-ju tinggal bersama putrinya untuk membantu membesarkan cucunya.

Ketika Kim Jong-nam masuk sekolah dasar, Ri Il-nam bersama ibu dan adiknya pindah ke Kediaman No. 15. Berbeda dari saudarinya yang aktif di dunia perfilman, Song Hye-rang seorang mahasiswa jurusan fisika, tetapi terpengaruh oleh ibunya yang bekerja sebagai jurnalis. Song Hye-rang mengembangkan bakat menulis dan menerbitkan cerita pendek. Ia juga menulis memoar berjudul Deungnamu Jip (Wisteria House), di mana bagian pertama buku tersebut membahas kegiatan revolusioner orang tuanya yang berpandangan sosialis serta dampak Perang Korea yang dirasakan oleh keluarganya. Bagian kedua buku membahas kehidupan Song Hye-rang dan Song Hye-rim saat menempati Kediaman No. 15, serta hubungan dua bersaudara itu dengan Kim Jong-il, dengan latar belakang perubahan masyarakat Korea Utara.

Ri Il-nam (kiri, berbaju hitam) berfoto bersama saudarinya Ri Nam-ok (kanan, berbaju merah) dan Kim Jong-nam (putra Kim Jong-il bersama Song Hye-rim) di tahun 1979. (Song Hye-rang, Deungnamu Jip).

Ri Il-nam berkisah bahwa kehidupan keluarganya selama menempati Kediaman No.15 seperti terisolasi dari masyarakat Pyongyang dan mereka diperlakukan seperti “tamu” di kediaman tersebut. Mereka memanggil Kim Jong-il, yang datang ke rumah itu setiap beberapa hari sekali, dengan sebutan “Ketua”, dan karena Ri Il-nam, Ri Nam-ok, dan Kim Jong-nam tak diizinkan bermain di luar atau memiliki teman, mereka menghabiskan waktu dengan bermain bersama.

Baca juga: Ideologi Juche Korea Utara

Di sebuah paviliun di kediaman itu tinggal seorang sopir, juru masak, dan seorang asisten paruh baya. Memiliki hubungan dengan keluarga paling berpengaruh di Korea Utara membuat kehidupan Ri Il-nam dan keluarganya begitu makmur dan nyaman. “Jika Ketua yang tengah berkunjung menyebutkan sebuah hidangan saat makan malam, hidangan itu akan selalu muncul di meja beberapa hari kemudian, dan bahkan hidangan yang tidak tersedia di Korea Utara akan disajikan setidaknya seminggu setelah disebutkan,” kenang Ri Il-nam kepada Hwang Sok-yong.

Selain itu, kediaman tersebut juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah, salah satunya ruang pemutaran film, di mana keluarga itu kerap menonton film Eropa atau Hollywood setiap beberapa hari sekali.

Ri Il-nam dan saudara-saudaranya juga mendapat pendidikan yang terbaik. Setelah menempuh pendidikan di Sekolah Revolusi Mangyongdae, Ri Il-nam dikirim ke Moskow dan kemudian Jenewa bersama Kim Jong-nam untuk bersekolah di sana. Meski bergelimang harta dan kenyamanan, Ri Il-nam merasa hidupnya bagai terpenjara karena terkungkung dalam pengawasan ketat yang tak berkesudahan. Ia mulai memimpikan kehidupan yang bebas, di mana ia bisa melakukan apapun yang ia suka dan pergi kemanapun yang ia inginkan. Akhirnya, ia memutuskan untuk membelot ke Korea Selatan dan berakhir tragis. (Bersambung).

TAG

korea utara

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Mimpi Pilkada Langsung Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno