HOMEBASE untuk klub-klub besar Indonesia sudah sewajarnya punya penampakan megah dan berstandar internasional sebagai wajah sepakbola yang dibanggakan. Persija punya Stadion Utama Gelora Bung Karno atau Stadion Patriot di Bekasi. Persib punya Gelora Bandung Lautan Api atau Stadion Si Jalak Harupat. Sriwijaya FC punya Jakabaring. Persebaya punya Gelora Bung Tomo.
Kendati statusnya masih sewa alias bukan milik klub, stadion-stadion megah itu rencananya akan dijadikan bagian dari 10 venue untuk Piala Dunia U-20 tahun 2021.
Sayang tak semua klub besar memiliki stadion megah. PSM Makassar contohnya. Stadion Andi Mattalatta yang menjadi homebase-nya sejak lama, kondisinya bikin gerah hati.
Selain rumput di lingkar luar lapangannya gersang, stadion yang dibangun 1957 itu kondisi bangunannya kusam, tribunnya pun memprihatinkan. Seat di tribun VIP-nya diselimuti debu. Persoalan yang jauh lebih penting, kini stadion yang dulu bernama Mattoanging itu sedang jadi rebutan.
Baca juga: Cerita dari Stadion Andi Mattalatta
Sebagaimana diuraikan di artikel sebelumnya, Stadion Mattoanging dibangun Letkol Andi Mattalatta, panglima Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan. Pada 1950-an, lokasinya masih dikuasai banyak gerombolan, mulai dari eks-KNIL (Tentara Hindia Belanda) Andi Azis, gerombolan eks-laskar DI/TII Kahar Muzakkar, hingga Permesta.
“Dulu di sini sudah ada lapangan. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Sulsel (di sisi timur stadion). Rintisan pertamanya yang mengelola itu Yayasan Stadion Makassar. Tapi kemudian dia kesulitan dana. Lalu banyak juga lahannya diserobot bekas pejuang. Lalu datanglah Andi Mattalatta yang kemudian mengondusifkan situasi di Makassar pada 1957,” tutur Ketua Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) Andi Karim Beso Manggabarani kepada Historia.
Mattalatta membangunnya dengan kocek pribadi sebagai realisasi sistem uitholling, sistem untuk menarik kembali para pemuda yang sebelumnya tergoda ikut gerombolan pengacau. Ia ingin para pemuda itu menyalurkan energinya di bidang olahraga ketimbang jadi pengacau. Puncaknya, Mattalatta mendatangkan Pekan Olahraga Nasional (PON) IV ke sana, 27 September-6 Oktober 1957.
Namun, Andi Mattalatta tak menasbihkan diri sebagai pemiliknya. Ketika pada 1959 dia melanjutkan pendidikan ke Seskoad, pengelolaan stadion pun diserahkan pada pihak lain. Dalam catatan Andi Mattalatta bertajuk “Asal-Usul Tanah Complex Sarana Olahraga Mattoanging dan Terbentuknya YOSS” tertanggal 10 Juli 2004, tanggungjawab stadion sebelum Andi Mattalatta masuk Seskoad diserahkan ke Ketua Harian Komite Olahraga Indonesia (KOI) Sulawesi Andi Pangerang Pettarani.
“Lalu pada 1960-an diserahkan ke provinsi. Ternyata pak Achmad Lamo (Gubernur Sulsel 1966-1978) enggak ada jiwa olahraganya. Dia kasih urus DORI (Dewan Olahraga RI, kini KONI) Sulsel. Stadion terbengkala karena DORI tak punya dana. Jadi istilahnya Pak Andi Mattalatta hanya titip. Setelah pulang sekolah (Seskoad) saya ambil alih,” lanjut Andi Karim.
Baca juga: Kisah Stadion Gelora 10 November Surabaya
Maka setelah pulang ke Makassar pada 1971, Mattalatta terkejut. Selain stadion dan beberapa venue yang ia bangun untuk PON 1957 tak terurus KONI, dia juga mendapati venue kolam renang dialihfungsikan menjadi bioskop.
“Sintel-baan (trek lari/atletik) stadion telah dibongkar, diganti dengan sintebaan batu-bata. Saluran air lapangan pecah-pecah akibat sering dibuat apel persenjataan dan panser-panser berat. Ruangan penampungan atlet dijadikan tempat tinggal pegawai KONI dan keluarganya,” tulis Mattalatta.
Pengelolaan stadion pun diambil kembali oleh Mattalatta dari gubernur. Setelah Mattalatta jadi ketua KONI Sulsel, ia mencanangkan pendirian yayasan pengelola kompleks olahraga Mattoanging. Meski sudah direncanakan pada 1979, baru pada 1982 YOSS berdiri lewat Akta Notaris Nomor 146, tertanggal Ujung Padang, 22 Januari 1982. Serah-terimanya dari KONI Sulsel ke YOSS lewat Keputusan Rapat Paripurna KONI Sulsel XIV Nomor 02 tahun 1984.
“Karena sebelumnya KONI juga anggarannya terbatas. Kalau dibentuk yayasan, bisa bergerak mencari kerjasama. Sejak itu kita juga mendanai semua pemeliharaan, tidak memakai dana APBD. Kalau dibilang ini (stadion) jelek, kenapa pemda tidak mau kasih dana?” sambung Andi Karim.
Pengesahannya diperkuat Berita Acara Serahterima Nomor 055 tahun 1985 yang juga ditandatangani Gubernur Sulsel Achmad Amiruddin. Sejak itu, YOSS pengelola Stadion Mattoanging yang sah. “Pak Andi Mattalatta juga sudah terbitkan ini gedung olahraga dan stadion, surat ukur tanah tahun 1986,” imbuhnya.
Awal-mula jadi Rebutan
Lokasi stadion yang terletak di kawasan ramai itu menarik banyak pihak untuk menguasainya. Pada 1992, seorang konglomerat via PT. Asindo Griyatama berupaya memilikinya guna dijadikan kawasan bisnis. Mengutip Pedoman Rakyat, 30 Juli 1993, perusahaan itu ingin membeli lahan stadion senilai Rp17 miliar dan untuk gantinya, mereka akan menyediakan stadion anyar di Sudiang.
Hal itu terjadi lantaran pada 1992 terjadi ketegangan antara YOSS dan Pemprov Sulsel. Pemprov mengklaim kawasan stadion adalah asetnya dan hendak menjualnya ke pihak swasta tersebut. Landasan hukumnya, konon pemprov membuatkan sertifkat palsu. Rencana tukar-guling itu bahkan disebutkan sudah lewat persetujuan DPRD Sulsel. Namun pada akhirnya rencana itu batal.
“Andi Mattalatta melapor lewat surat pribadinya ke Presiden RI (Soeharto), Ketua BPK M. Jusuf, dan Mendagri Rudini. Surat beliau itulah barangkali yang membuat upaya transaksi itu tak berkelanjutan,” terang anggota Dewan Pembina YOSS M. Arief Wangsa dalam catatannya bertanggal 24 November 2004 bertajuk “YOSS Pasca Andi Mattalatta, Gelora Perjuangan dan Gelora Andi Mattalatta.
Baca juga: Riwayat Stadion Jakabaring
Masalahnya, banyak pihak merasa kondisi stadion tak dipelihara YOSS sebagaimana mestinya. Kondisi stadion yang memprihatinkan jadi buktinya. Puncaknya, PSM Makassar tak lolos verifikasi untuk mendapatkan lisensi guna berlaga di AFC Cup 2017 akibat stadion tak memenuhi standar AFF dan AFC.
“AFC Licensing itu memberi gambaran yang sangat jelas seperti apa tatanan pengelolaan sepakbola. Padahal saat itu kami mendapat tiket AFC karena finis nomor tiga (klasemen liga),” ujar CEO PSM Munafri Arifuddin kepada Historia.
Pengusaha yang akrab disapa Appi itu menyatakan klub sudah berulangkali melakukan pendekatan pada YOSS, sejak klub masih dipegang Nurdin Halid.
“Dari berapa tahun lalu sudah dibicarakan. Tapi ini tidak bisa karena secara internal antara YOSS dengan Pemprov belum selesai persoalannya. Selama ini kami mendandani sendiri (stadion). Itulah yang terjadi. Kalau kita tak berbuat, jangankan berpikir standar internasional, standar Liga 1 saja mungkin tidak bisa kita laksanakan di sini,” lanjutnya.
Sekjen Macz Man (basis suporter terbesar PSM) Mustafa Amri menyatakan, dia bersama manajemen klub mencoba menawarkan klub mengambil alih pengelolaan agar stadion bisa direnovasi menjadi stadion yang bisa dibanggakan.
“Saya ke anaknya Pak (Sadikin) Aksa, dia (Erwin Aksa) bilang sama saya: ‘Sampaikan ke YOSS, berapa dalam setahun yang bersumber dari stadion. Kalau misal dalam setahun Rp1 miliar, saya bisa berikan dia Rp2 miliar untuk saya kelola.’ Saya temui (pembina YOSS) Ilham Mattalatta. Saya sampaikan begitu, dia tidak mau,” kata Mustafa menimpali.
Alhasil, Mustafa dan kawan-kawan harus menanggung malu. “Teman-teman suporter lain sampai heran, kenapa tim sekaliber PSM punya stadion kayak gini. Anak-anak Aremania kalau bertandang ke sini bilang, ‘Ini sawah apa stadion?’ Kawan-kawan lain juga bilang ini stadion atau kandang kambing. Mau bagaimana lagi? YOSS sebagai pengelola tidak pernah ada kontribusinya sampai sekarang,” ujarnya.
Sengketa Memanas
September 2019, sengketa YOSS dengan Pemprov memanas lagi. Pemprov berniat mengusir paksa YOSS dari stadion itu. Sejak Oktober, di depan stadion terpasang papan pengumuman bertuliskan: Tanah Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 40 Tanggal 1 Oktober 1987.
YOSS lantas melayangkan gugatan yang prosesnya sudah sampai Kejati Sulsel. YOSS mensinyalir ada permainan Pemprov dengan mengalihkan Stadion Andi Mattalatta menjadi asetnya. Dengan begitu, pemprov bisa menutupi kasus mangkraknya Stadion Barombong yang sudah menghabiskan dana besar dengan dalih dananya untuk revitalisasi Stadion Andi Mattalatta.
“Sebenarnya waktu Dirjen Kemendagri tahun 2017 menjabat Plt. gubernur, ditemukan aset pemda kurang lebih 300 mobil dinas tak jelas. Makanya dia minta KPK buka cabang supervisi di Sulsel dan sertifikat aspal dimasukkan sebagai aset (Stadion Andi Mattalatta). Terus ada pihak ketiga yang memanfaatkan situasi ini untuk mengontrak kompleks stadion selama 25 tahun. Ini sebenarnya pengalihan isu pemda yang gagal membangun stadion (Barombong) dua periode sudah habis Rp300 miliar dan belum dipakai sudah roboh,” ujar Andi Karim lagi.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Stadion Patriot Candrabhaga
Soal klaim Pemprov dengan sertifikat hak pakai tahun 1987 di atas, Andi Karim heran lantaran stadion sudah dibangun Andi Mattalatta sejak jauh sebelum itu dan YOSS sebagai pengelola pun sudah berdiri pada 1982, legalitas lahan pun sudah ada lewat surat ukur tanah tahun 1986.
“Kan lucu. Ini barang (stadion) sudah dibangun 1957. Sekarang bicara PSM ingin punya stadion bagus, kenapa dia tidak pakai itu Barombong supaya bisa dilihat buktinya. Nah dia mainkan pers, membalikkan fakta. Apalagi yang kurang di sana? Hampir setahun belum dibentuk pengelolanya. Rumput sudah dibiayai Rp200 juta hancur karena tidak ada pengelola. Jadi dia mau cari yang praktis di tengah kota dan dia tak mau keluar uang, makanya dia manfaatkan pemda.”
Baca juga: Jejak Perjuangan Bangsa di Stadion VIJ
Klaim pemda yang disebutkan Andi Karim itu perkaranya bermula dari surat Sekda Sulsel yang berbunyi kawasan stadion dialihfungsikan YOSS yang tidak ada hubungannya dengan olahraga. Andi Karim pun membantah.
“Saya tanya, kalau ini aset pemerintah, perlihatkan saya satu lembar bukti saja, ada uang pemda bangun ini aset? Satu rupiah saja. Soal alih fungsi, apa ada buktinya? Justru KONI (Sulsel) dulu tahun 1970 dipihakketigakan jadi bioskop. Lalu sekarang (klaim) gubernur apa hubungannya sama kita? Kan mestinya ada surat dulu dari KONI panggil kita mau ambil ini barang. Baru ke Pemda, lalu ke YOSS. Ini dari prosedurnya saja sudah salah,” cetus salah satu menantu almarhum Andi Mattalatta itu.
Soal status sertifikat “hak pakai” yang diklaim Pemprov, Andi Karim kembali membantah. “Ternyata bukan sertifikat hak milik. Hak pakai 25 tahun. Logikanya kalau pemda yang punya ini lahan, kenapa dia terbitkan hak pakai? Ini berarti niatnya sudah lain. Ini pengalihan karena gagal pemerintah yang lalu bangun Barombong,” tandas Andi Karim.
Baca juga: Stadion Metropolitano dan Warisan Masa Lalu