CUKUP dengan satu poin, SSC Napoli akhirnya menuntaskan dahaga gelar Serie A selama 33 tahun pada Kamis, 4 Mei 2023 kemarin. Hasil imbang 1-1 saat bertandang ke markas Udinese pada giornata ke-33 yang diraihnya otomatis menyegel gelar scudetto bagi tim besutan Luciano Spalletti tersebut.
Serie A musim 2022-2023 sendiri masih menyisakan lima partai lagi. Tapi koleksi 80 poin Il Partenopei (julukan Napoli) di puncak klasemen takkan lagi bisa dikejar SS Lazio yang berada di urutan kedua dengan selisih 16 poin.
Titel ini jadi scudetto ketiga Napoli sepanjang sejarah klub. Sebelumnya, Napoli meraih dua gelar serupa pada musim 1986-1987 dan 1989-1990. Keduanya ketika masih diperkuat bintang legendaris Diego Maradona.
Fans tim tamu menggila di Dacia Arena, kandang Udinese. Begitupun pelatih Spalletti dan para pemain Napoli di ruang ganti tamu.
“Melihat Partenopei tersenyum dan bergembira adalah emosi terhebat buat saya. Mereka semua laik kebahagiaan ini. Saya merasa bisa sedikit rileks karena bisa mengantarkan kebahagiaan itu. Para fans melihat banyak pelatih datang dan pergi. Mereka melihat Diego Maradona bermain dan mungkin semangatnya masih terasa dalam kesuksesan ini,” kata Spalletti kepada DAZN, dikutip Football-Italia, Jumat (5/5/2023).
Baca juga: Serigala Roma Menggebrak Eropa
Kenangan 33 tahun lampau bersama Maradona memang sudah berlalu. Namun, nama Maradona masih terpatri dalam hati dan ingatan segenap Neapolitan (julukan warga kota Napoli). Salah satu bukti terbesarnya, Presiden klub, Aurelio De Laurentiis, mengganti nama Stadion San Paolo menjadi Stadio Diego Armando Maradona sembilan hari pasca-wafatnya Maradona, 4 Desember 2020.
Di Stadio Diego Armando Maradona itu pula 50 ribu fans Napoli yang tak ikut bertamu ke Dacia Arena, berkumpul menyaksikan laga Udinese kontra Napoli lewat layar besar di stadion. Begitu peluit terakhir berbunyi, De Laurentiis yang menyelamatkan Napoli dari jurang kebangkrutan pada 2004 itu berbicara di hadapan fans setia Napoli.
“Kalian selalu bilang bahwa kita ingin menang. Dan kita telah menang! Kita memenangkannya bersama. Dan pada Minggu (7/5/2023) saat menjamu Fiorentina, kita semua akan mengadakan pesta besar,” tutur De Laurentiis, disitat Football-Italia, Jumat (5/5/2023).
Baca juga: Diego Maradona dalam Kenangan
Magis Maradona Menghiasi Sejarah Partenopei
Kendati sama-sama dibidani orang Inggris atau terinspirasi dari Inggris, sepakbola modern di Italia yang mulai hadir pada akhir abad ke-19 lebih dulu berkembang di bagian utara. Pendirian Torino Football and Cricket Club oleh Edoardo Bosio, saudagar Italia yang sering berdagang tekstil di Inggris, di kota Torino pada 1887 menjadi penandanya.
“Di selatan Italia dan Roma, sepakbola modern terlambat berkembang jika dibandingkan dengan di utara Italia. Di kota Napoli, William Poths dari perusahaan pelayaran Cunard Lines yang bersama tokoh lokal, Ernesto Bruschini, mendirikan Naples Foot-Ball & Cricket Club (FCC) pada 1905,” ungkap Stuart dan Philip Laycock dalam buku How Britain Brought Football to the World.
Kendati telat, sepakbola begitu cepat digandrungi masyarakat di Napoli seperti halnya di beberapa kota lain. Beberapa klub lain pun bermunculan di kota itu. Setelah Football Club Partenopeo yang juga lahir medio 1905, ada Unione Sportiva (US) Internazionale Napoli yang berdiri enam tahun berselang.
Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina
US Internazionale Napoli merupakan pecahan dari klub perintis, Naples FCC. Perpecahannya disebabkan sengketa di internal klub. Namun, kedua tim itu “rujuk” 11 tahun kemudian atas nama kesehatan finansial.
“Kedua tim itu, Naples FCC dan US Internazionale Napoli menjadi rival hingga 1922, di mana keduanya akhirnya merger karena alasan keuangan. Banyak nama yang lantas datang dan pergi. Prestasi tim pun naik-turun dari Serie A ke Serie B sampai performa mereka menemukan stabilitasnya pada 1964 ketika sudah menyandang nama Società Sportiva Calcio (SSC) Napoli,” tulis Luke Dempsey dalam Club Soccer 101: The Essential Guide to the Stars, Stats, and Stories of 101 of the Greatest Teams in the World.
Kendati begitu, Napoli terus jadi sekadar klub medioker. Klub itu hanya pernah jadi juara Serie B musim 1945-1946 dan 1949-1950. Prestasi terbesarnya hanya trofi Coppa Italia semata, yang diraih pada musim 1961-1962 dan 1975-1976.
Itu semua berubah pada 1984, ketika Maradona menginjakkan kakinya di Napoli. Terlepas dari isu campur tangan mafia Camorra, Maradona didatangkan presiden klub Corraido Ferlaino dari FC Barcelona dengan mahar 6,9 juta poundsterling pada bursa transfer musim panas medio Juni 1984.
Baca juga: Titel Juara Barcelona yang Tak Diakui
Maradona memang butuh lingkungan baru. Sejak 1982-1984, ia gagal bersinar di Barcelona gegara diterpa cedera, penyakit hepatitis, dan godaan kehidupan malam. Manajemen Barcelona ikhlas melepasnya ke Napoli usai memicu perkelahian di hadapan Raja Juan Carlos pada final Copa del Rey 1984.
“Ketika saya melihat semua kejadiannya dari mulai Maradona berkelahi hingga kekacauan yang mengikuti, saya menyadari kami tak bisa lagi bersamanya,” tutur seorang petinggi Barcelona yang tak disebutkan namanya, dikutip jurnalis investigasi Inggris, Jimmy Burns, dalam Maradona: The Hand of God.
Meski begitu, proses perpindahan Maradona dilakukan kedua petinggi klub secara rahasia. Pertemuan dilakukan beberapa kali antara Mei-Juni 1984 oleh direktur umum Antonio Juliano yang mewakili Ferlaino; Jorge Cyterszpiler, agen Maradona; dan Presiden Barcelona Joan Gaspart.
“Negosiasi terkait transfer Maradona terjadi dalam beberapa kali pertemuan rahasia yang melibatkan Juliano dan Cyterszpiler di Barcelona dan di Pulau Ischia dekat Napoli pada Mei dan Juni 1984. Menjelang penutupan jendela transfer Ferlaino buru-buru terbang sendiri ke Barcelona karena tahu Juventus juga mengincarnya. Sesampainya di Hotel Reina Sofía, meski dibuat menunggu lama, kesepakatan pun tercapai antara Ferlaino dan Gaspart,” lanjut Burns.
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Maradona pun resmi jadi milik Napoli dan pada 5 Juli 1984 dan langsung diperkenalkan ke hadapan publik di Stadio San Paolo. Raut wajah Maradona begitu cerah saat menyapa sekira 85 ribu fans yang menyesaki stadion dan terus menggemakan chant “Diego, Diego, Diego!” Ia berterimakasih Napoli bersedia memungutnya dari Barcelona. Ia pun siap untuk memberi mukjizat kepada warga kota termiskin di Italia itu.
Janji Maradona bukan “janji surga”. Kendati ia tak bisa lepas dari jeratan dan pergaulan kelompok mafia Camorra, magis Maradona mengantarkan tinta emas sejarah klub dengan mempersembahkan scudetto pertama buat Napoli pada musim keduanya, 1986-1987. Dua tahun kemudian, musim 1989-1990, titel kedua dipersembahkannya sekaligus mendobrak dominasi klub-klub utara Italia macam AC Milan, Inter Milan, dan Juventus.
“Perayaannya begitu dahsyat. Pesta digelar di jalan-jalan kota. Karnaval digelar selama seminggu penuh. Para Neapolitan juga membuat teatrikal pemakaman untuk mengejek Juventus dan Milan. Mei 1987, di mana klub Italia lainnya keok, sebuah kekaisaran baru telah lahir,” tulis David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football.
Total Maradona mengisi lemari prestasi klub dengan lima gelar. Selain dua gelar juara Serie A, Maradona juga berjasa besar bagi Napoli kala merebut Coppa Italia 1986-1987, UEFA Cup (kini Europa League) 1988-1989, dan Supercoppa Italiana 1990.
Keberhasilan Maradona mengangkat derajat klub ikut menaikkan prestis kota yang didiskriminasi oleh kota-kota utara itu. Maradona pun dianggap dewa. Hal itu membuat fans klub terpecah ketika menghadapi laga semifinal Piala Dunia 1990 yang mempertemukan Argentina dan Italia di stadion yang jadi kandang Maradona, San Paolo.
“Orang-orang Neapolitan benar-benar terpecah antara mendukung Azzurri dan ikon mereka, dengan banyak spanduk untuk Maradona dan untuk sekali dalam kompetisi itu keheningan penuh hormat selama lagu kebangsaan Argentina,” tulis jurnalis Susy Campanale dalam artikelnya di football-italia.net, “Italy vs Argentina 1990: When Maradona Exposed Italy’s Cultural Divide”.
Apa yang diberikan Maradona menjadi warisan yang bertahan selama 33 tahun. Capaian itu baru bisa diulangi lagi oleh Napoli tahun ini.
“Hari ini ekspektasi selama 33 tahun berbuah manis. Saat saya datang (2004), saya bilang akan butuh 10 tahun untuk tampil di Eropa, kita mampu mencapainya lebih awal. Saya juga bilang butuh 10 tahun lagi untuk menang Scudetto, dan kita meraihnya lagi beberapa tahun lebih awal. Ke depan kita harus memenanginya lagi dan lagi dan lagi. Proyek bersama Spalletti ini takkan berhenti dan ini menjadi titik awal bagi saya yang akan dilanjutkan bersma Spalletti,” tukas De Laurentiis.
Baca juga: Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona