SEJAK menyapa dunia enam dekade silam, hidup Diego Maradona senantiasa berkalang perjuangan. Di hari-hari terakhirnya, bintang legendaris Argentina yang dipuja jutaan penggila sepakbola sejagat itu mesti berjuang melawan penyakitnya, termasuk menjalani operasi otak pada 12 November 2020.
Maka ketika maestro sepak bola eksentrik nan sarat kontroversi itu mengembuskan nafas terakhir di kediamannya di Buenos Aires, Argentina, pada Rabu (25/11/2020) waktu setempat akibat serangan jantung, banyak pihak berduka. Presiden Argentina Alberto Fernández mengumumkan tiga hari berkabung nasional sebagai bentuk penghormatan.
Megabintang Lionel Messi yang acap disebut-sebut sebagai reinkarnasi Maradona, jadi satu di antara jutaan pelaku sepakbola yang terpukul. “Hari yang menyedihkan bagi semua orang Argentina dan bagi sepakbola. Dia meninggalkan kita namun takkan pernah dilupakan karena Diego adalah keabadian. Saya selalu teringat momen-momen indah bersamanya,” ungkap Messi di akun Instagram-nya @leomessi, Kamis (26/11/2020).
Sebagaimana Pelé di Brasil, Maradona dikultuskan orang Argentina dan bahkan dunia sebagai dewa sepakbola. Di hampir semua klub yang pernah dibelanya, Maradona tak pernah absen berjasa memberi beraneka gelar. Boca Juniors diberinya titel Primera Division pada 1981, Barcelona dihadiahinya Copa del Rey dan Supercopa de España 1983, dan Napoli dibawanya dua kali juara Serie A (1986-1987 dan 1989-1990). Persembahan tertingginya diberikan pada negerinya, Argentina, yakni trofi Piala Dunia 1986.
Koleksi gelar individunya berlimpah. Sebagai pemain, Maradona adalah sosok yang punya skill lengkap dan di atas rata-rata kendati posturnya hanya 165 cm. Visi bermainnya, kepemimpinan, kontrol bola, dribbling yang selalu jadi keunggulannya, gocekan, hingga tendangan bola matinya semua nyaris setara.
Baca juga: Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi
Bola Pelipur Lara
Kebintangan Maradona bukan diraih dalam sekedipan mata. Ia dirintis melalui jalan terjal nan panjang. Seperti kebanyakan bintang sepakbola asal Amerika Selatan, Diego Armando Maradona datang dari keluarga melarat. Lahir pada 30 Oktober 1960 di perkampungan kumuh Villa Fiorito di selatan ibukota Buenos Aires, kehadiran Maradona jadi harapan baru buat keluarganya, terutama sang ayah, Diego ‘Chitoro’ Maradona. Maradona kecil adalah anak kelima tetapi jadi anak lelaki pertama kebanggaan ayahnya.
Perkenalan Maradona pada sepakbola terjadi saat dia dihadiahi bola di ulangtahun ketiganya. Kado itu senantiasa jadi obat penghibur di tengah himpitan ekonomi keluarganya. Bola tersebut jadi wahana bermain dia dengan sepupunya Beto dan temannya, El Negro, di sebuah lahan terbengkalai dekat rumahnya setiap siang selepas pulang sekolah –di Remedios de Escalada de San Martín– hingga malam menjelang.
“Jam tujuh malam kami baru beristirahat dan minta minum ke rumah warga terdekat lalu lanjut main lagi. Jika orangtua kami mencari, mereka pasti tahu harus ke mana. Setiap hari, termasuk Sabtu dan Minggu. Kalau ibu sudah marah dan mengambil bolanya, saya akan mengambil apapun untuk dijadikan bola. Kadang buah jeruk, kadang juga kertas bekas atau pakaian yang dibentuk jadi bola,” kenang Maradona dalam otobiografinya, Yo Soy el Diego (I Am the Diego).
Baca juga: Pele, si Pemilik Tendangan dari Bauru
Itu jadi hal paling menyenangkan di masa kecilnya karena jika menggambarkan perkampungan kumuh Fiorito dengan satu kata, lanjut Maradona, tak lain adalah “perjuangan hidup.” Keluarga Maradona hanya bisa makan ketika punya uang. Jika tidak, mereka harus tidur dengan perut kosong.
“Kami sangat kedinginan di musim dingin dan kebalikannya di musim panas. Rumah kami punya tiga kamar: dua ruang tidur dan satu ruang makan yang menjadi pusat semua kegiatan, mulai dari mengerjakan PR, memasak dan makan. Saat hujan kami harus selalu menghindari kebocoran: Anda akan merasa lebih basah ketimbang di luar rumah,” tambahnya.
Kekurangan membuat keluarga mereka, termasuk Maradona, mesti bekerja keras. Antara lain dalam hal menyediakan air.
“Kami bahkan tak punya keran air. Tapi karena itulah saya mulai latihan fisik angkat beban. Kami biasa memikul dua kaleng oli bekas untuk jadi tampungan air yang kami ambil di satu-satunya pancuran air di jalanan agar kami bisa minum, mandi, dan memasak,” sambung Maradona.
Baca juga: Dari Perkampungan Kumuh Lahirlah Ronaldinho
Di usia delapan tahun, Maradona kian menekuni sepakbola dengan bergabung pada tim amatir junior Estrella Roja. Kebetulan tim itu dilatih ayahnya. Penampilan Maradona di tim tersebut acap mengundang decak kagum, termasuk dari tim-tim lawan. Ia bahkan sampai bisa bersahabat dengan Gregorio ‘Goyo’ Carrizo, kapten tim musuh bebuyutan Estrella Roja, Tres Banderas.
“Diegito (panggilan kecil Maradona) luar biasa. Tapi Chitoro, saya tak percaya dia belum bermain untuk tim yang lebih baik dari Estrella Roja,” ujar ayah Goyo mengungkapkan kekagumannya kepada ayah Maradona, Chitoro, dikutip Matt dan Tom Oldfield dalam Classic Football Heroes: Maradona.
Goyo dan Chitoro itulah yang kemudian membujuk dan meyakinkan Francisco Cornejo, pencari bakat klub Argentinos Juniors, untuk melihat sendiri talenta Maradona. Cornejo yang mulanya memandang remeh Maradona, akhirnya kagum bukan kepalang ketika Maradona menjalani trial dan latih tanding dengan anak-anak yang lebih tua.
“Saat Diego datang ke Argentinos Juniors untuk uji coba, saya terkesima dengan talentanya dan tak percaya dia baru berusia delapan tahun. Sejak saat itu kami memutuskan mendedikasikan diri membangun masa depannya,” kata Cornejo.
Itu jadi titik balik Maradona. Ia mulai merintis kariernya di tim muda Argentinos Juniors untuk kategori U-9. Pada 1976, Maradona sudah tampil di tim senior klub berjuluk El Bicho itu. Setahun kemudian, namanya sudah dipanggil ke timnas U-20 dan timnas senior Argentina.
Dua Pembalasan Dendam
Namun, keinginan Maradona untuk melakoni debutnya di Piala Dunia 1978 di negeri sendiri terhalang keputusan pelatih Timnas Argentina César Luis Menotti. Bertolak dari tiga faktor: masalah hamstring Maradona dalam sesi latihan, indisipliner, dan kesiapan mental yang belum matang di usia 17 tahun, Menotti akhirnya mencoret nama Maradona dari skuad Piala Dunia.
Meski tak pernah banyak bicara soal pencoretan itu, Maradona mengaku terpukul oleh pencoretan itu. Dia tak bisa memaafkan “El Flaco” Menotti.
“Saya pikir, saya siap bermain di Piala Dunia 1978. Saat saya tahu tidak terpilih, saya menangis hebat. Saya tak pernah dan tak akan mau memaafkan Menotti gara-gara itu. Tetapi saya tak pernah membencinya. Tidak memaafkan bukan berarti membenci. Namun terlepas hal itu saya juga takkan pernah melupakan bimbingan-bimbingannya yang bijak kepada saya selama ini,” sambung Maradona.
Baca juga: Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira
Kekecewaan itu melecut Maradona untuk membuktikan bahwa dirinya tak pantas dibuang hanya karena usia. “Dendamnya” itu bisa dia balaskan di Piala Dunia Junior 1979 di Jepang. Di turnamen itu pula Maradona dan Menotti memulai rekonsiliasinya.
“Menotti telah meninggalkan saya di Piala Dunia 1978 dan setahun kemudian saya mulai memperlihatkan kepadanya betapa ia melakukan sebuah kesalahan yang besar,” cetus Maradona lagi.
Baca juga: Maradona-nya Indonesia Telah Tiada
Rekonsiliasi itu ikut mendongkrak kepercayaan diri Maradona. Sedari babak penyisihan, Maradona memimpin tim junior Argentina hingga partai puncak. Total enam gol ia lesakkan. Dua gol pertamanya disarangkan ke gawang Timnas Indonesia di babak Grup B dan gol terakhirnya dibuatnya guna menyegel kemenangan 3-1 atas Uni Soviet di final.
Kesumat kedua yang dengan puas dibalaskan Maradona adalah kala berhasil mencetak dua gol fenomenal ke gawang Inggris di perempatfinal Piala Dunia 1986. Gol pertama adalah gol “Tangan Tuhan”. Gol kedua tercatat sebagai gol terbaik abad ke-20, di mana Maradona men-dribble bola sendirian dari tengah lapangan mengecoh enam pemain lawan, termasuk kiper Peter Shilton, sebelum menyontek bola masuk.
Namun, gol “Tangan Tuhan” senantiasa jadi kontroversi dan polemik hingga bertahun-tahun kemudian. Meski diakuinya gol dari umpan lambung itu dibelokkan ke gawang Shilton dengan tangannya, Maradona takkan pernah menyesalinya. Baginya, gol culas itu jadi pembalasan Maradona terhadap Perang Malvinas (Perang Falkland dalam versi Inggris) empat tahun sebelumnya. Perang rebutan wilayah antara Argentina dan Inggris itu berakhir getir buat Argentina karena kalah dan kehilangan nyaris seribu serdadunya.
“Saya tak pernah bicara tentang permintaan maaf. Seandainya sejarah bisa diubah, akan saya lakukan tapi saya takkan minta maaf karena itulah pertandingan bola yang disaksikan 100 ribu orang di Stadion Azteca di mana ada 22 pemain, dua hakim garis, dan satu wasit. Shilton pun baru tahu (gol ‘Tangan Tuhan’, red) setelah diberitahu para beknya,” tutur Maradona kepada suratkabar Clarín, 2 Februari 2008.
“Jadi sejarah sudah tertulis dan tak bisa diubah. Saya tak perlu minta maaf pada Inggris. Buat apa dan untuk menyenangkan siapa? Saya memang tahu golnya tercipta dari tangan saya. Saya tak merencanakannya tetapi terjadi begitu saja. Saat wasit menyatakan gol, itu jadi perasaan yang membahagiakan, seperti sebuah dendam simbolis terhadap Inggris,” tambahnya.
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Tetapi kemudian Maradona mulai menapaki jurang seiring kariernya di Barcelona dan kemudian Napoli. Di Barcelona ia mulai jadi pecandu kokain. Kecanduannya kian parah ketika di Napoli karena dekatnya hubungan Maradona dengan mafia Camorra. Puncaknya, Maradona dinyatakan positif doping saat baru membawa Argentina memulai Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat.
Setelah gantung sepatu pada 1997, karier Maradona dilanjutkan sebagai pelatih namun tak semoncer kiprahnya sebagai pemain. Ketika menukangi Timnas Argentina pada 2008-2010, Maradona malah sempat jadi sasaran cemoohan media Argentina dan fans tim Tango.
Baca juga: Gol Terakhir Ricky Yacobi
Kendati begitu, nama harum Maradona tak meluntur. Banyak bintang sepakbola kini, termasuk Cristiano Ronaldo, yang menjadikannya sebagai bintang pujaan terbaik. Bukti masih harumnya nama Maradona ditunjukkan oleh banyaknya pelayat yang memberikan penghormatan terakhir kepadanya baik saat upacara pemakaman kenegaraan di Casa Rosada (kediaman resmi Presiden Argentina) maupun saat penguburan di Pemakaman Bella Vista. Maradona adalah olahragawan kedua yang diberi upacara pemakaman kenegaraan setelah legenda balap Juan Manuel Fangio pada 17 Juli 1995.
“Maradona adalah orang paling bertanggung jawab atas inspirasinya bagi banyak bintang sepakbola, termasuk diriku,” kata Ronaldo, bintang Brasil yang juga pernah membintangi Barcelona, dalam ucapan selamatnya kepada Maradona kala memasuki usia 60 tahun.