REICHSKANZLEI (kantor kanselir), Berlin, Jerman, 17 Februari 1940 lepas jam sarapan. Panglima Korps Angkatan Darat (AD) ke-38 General der Infanterie Erich von Manstein menghadap sang kanselir, Adolf Hitler. Audiensi itu jadi titik tolak penting tak hanya bagi Manstein yang belum lama didepak dari jabatan kepala staf Heeresgruppe A (Grup AD A) tapi juga bagi manuver Jerman jelang menginvasi Eropa Barat via Belgia dan Prancis.
Dalam konferensi itu turut hadir kepala staf pribadi Hitler, Kolonel Rudolf Schmundt, Kepala Staf Operasi Oberkommando der Wehrmacht (OKW/Komando Tinggi Angkatan Bersenjata) Generaloberst Alfred Jodl dan Panglima Divisi Panzer ke-7 Jenderal Erwin Rommel. Kendati begitu, semua perhatian tertuju pada Manstein yang akan mempresentasikan usulan revisi Aufmarschanweisung No. 4 Fall Gelb, atau Instruksi Kampanye No. 4 Operasi Koper Kuning –di kemudian hari, Perdana Menteri (PM) Inggris Winston Churchill menyebut rancangan strategi Manstein itu “Operation Sichelschnitt” atau Operasi Sabit; pasca-perang, para sejarawan menjulukinya sebagai Manstein Plan.
Invasi ke Eropa Barat sedianya sudah mulai dipikirkan para perwira Oberkommando der Heeres (OKH/Komando Tinggi AD) sejak memulai invasi ke Polandia pada Oktober 1939. Hasilnya adalah Operasi Koper Kuning, modifikasi dari Schlieffen-Plan yang dicetuskan Marsekal Alfred von Schlieffen pada Perang Dunia I. Namun hingga Manstein dimutasi dari jabatan kepala staf Grup AD A pada Januari 1940 gegara berfriksi dengan kepala staf OKH Generaloberst Franz Halder, operasi itu tak kunjung terlaksana, malahan sudah tiga kali rancangan operasinya direvisi gegara Hitler kurang berkenan.
Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun
Manstein sendiri sudah mengulik banyak opsi dan memformulasikan usulan revisinya sejak masih jadi bawahan Panglima AD A Jenderal Gerd von Rundstedt, medio November 1939. Rancangan Manstein membutuhkan manuver serangan kilat dengan konsentrasi pasukan baja yang kelak kondang disebut “Blitzkrieg”. Oleh karenanya ia kerap mendiskusikan draf rancangannya dengan Panglima Korps Panzer ke-19 Generalleutnant Heinz Guderian. Rancangannya memang tetap menembus Ardennes tapi konsentrasi kekuatan, terutama Grup AD A, harus dipusatkan ke Sedan hingga ke arah Selat Inggris.
“Manstein sempat khawatir jika membuka front lebih lebar ke selatan akan berbahaya tetapi Guderian akhirnya bisa meyakinkannya bahwa bahaya serangan balik Prancis di selatan akan bisa dicegah jika ada manuver ofensif kedua secara simultan yang menargetkan Reims,” tulis Karl-Heinz Frieser dalam The Blitzkrieg Legend.
Dalam audiensi pada 17 Februari pagi itu, Manstein mendapat kesempatan memaparkan detail revisinya dalam pertemuan berdurasi satu jam. Menjadi keanehan tersendiri karena saat Manstein menjelaskan, Hitler duduk dengan tenang. Tak seperti kebiasaan Hitler yang acap menginterupsi dan melancarkan monolog-monolognya ketika bertemu jenderal-jenderalnya.
“Meski mulanya Hitler antipati terhadap Manstein yang dianggap arogan, ia mendengarkan dengan tenang dan terkesan dengan pemikiran Manstein. Lepas rapat tersebut Hitler mengungkapkan, ‘yang pasti dia (Manstein) sosok yang luar biasa pandai dengan bakat operasi militer yang hebat. Tetapi saya tidak percaya padanya,’” imbuh Freiser.
Baca juga: Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi
Hitler tidak percaya bukan terhadap kejeniusan rancangan dan pemaparan Manstein, melainkan kepada belum akan dipercayanya Manstein memegang tanggungjawab langsung operasi itu. Pasalnya, ungkap Karsten Friedrich dalam The Cruel Slaughter of Adolf Hitler, sehari setelah pertemuan tersebut, Hitler langsung memerintahkan OKH mengubah rancangan mereka untuk disesuaikan dengan usulan Manstein.
“Bagi Hitler rencana (Manstein) itu menawarkan harapan yang nyata akan kemenangan. Hitler sebelumnya menilai serangan ke Sedan penting hanya karena alasan taktis tapi Manstein melihatnya sebagai akhir bagi Sekutu. Ia membayangkan sebuah operasi yang mencapai Selat Inggris dan mengepung pasukan Sekutu di Belgia, di mana jika dilakoni dengan benar, akan membuahkan hasil yang sangat strategis,” tulis Friedrich.
Halder yang mulanya sudah cukup tenang usai “menyingkirkan” Manstein, justru diperintah Hitler untuk merevisi serangan berikutnya menjadi Aufmarschanweisung No. 4 berdasarkan rencana Manstein. Rencana Instruksi Kampanye No. 4 itu pun resmi dikeluarkan OKH pada 24 Februari.
Westfeldzug dengan manuver blitzkrieg itu pun bergulir di musim panas pada 10 Mei. Tak sampai tiga bulan, pada 25 Juni, Prancis pun jatuh. Namun Manstein sang aktor intelektual di balik serangan jenius itu sekadar jadi pelengkap. Korps AD ke-38 yang dipimpinnya dijadikan pasukan cadangan di bawah naungan AD ke-4 yang dikomando Jenderal Günther von Kluge.
Darah Prusia
Satu ciri khas perwira berdarah Prusia yang paling identik adalah kesetiaan menjaga nama baik dalam tugas dan Manstein bukan pengecualian. Lahir di Berlin pada 23 November 1887 dengan nama Fritz Erich Georg von Lewinski, ia mengubah identitas dan menyandang nama “von Manstein” ketika diadopsi pamannya, Letjen Georg von Manstein.
Mengutip Mungo Melvin dalam Manstein: Hitler’s Greatest General, Manstein lahir sebagai anak ke-10 dari aristokrat Prusia dan seorang jenderal artileri, Eduard von Lewinski dan ibunya bernama Helene von Sperling. Ayahnya masih punya darah keluarga (klan, red) Brochwicz III.
Sementara, kakek dari ayah tirinya, Albrecht Gustav von Manstein, memimpin sebuah korps di Perang Prancis-Prusia (1870-1871) dan kakek dari ibunya, Oskar von Sperling, merupakan kepala staf AD ke-1. Paul von Hindenburg yang kelak menjadi Presiden Jerman (1925-1934) masih terhitung paman dari garis ibunya, di mana Gertrud, istri Hindenburg, merupakan saudari kandung Helene.
Baca juga: Albert Speer Arsitek Kebanggaan Nazi
Lantaran lahir di tengah kalangan arisokrat, Manstein mendapat pendidikan terbaik sejak dini. Lepas masuk sekolah katolik Imperial Lyzeum di Strasbourg, Manstein melanjutkan pendidikan militernya ke Preußische Kriegsakademie pada 1913. Namun ia belum sempat menamatkan pendidikan dan pelatihan perwira staf umum karena keburu Perang Dunia I pecah dan dengan diberi pangkat letnan, Manstein ikut menginvasi Belgia di Resimen Kawal Infantri Cadangan ke-2.
Lepas perang, Manstein ambil bagian sebagai salah satu staf perwira muda ketika militer kekaisaran mestrukturisasi Reichswehr sesuai Traktat Versailles –di mana keseluruhan 500 ribu personel Reichswehr mesti dikurangi menjadi hanya 100 ribu– untuk dimasukkan ke dalam struktur militer Republik Weimar. Manstein setelah berpangkat mayor dimutasi menjadi perwira staf di Wehrkreiskommando II dan IV untuk menjadi instruktur taktik dan sejarah militer.
Ketika rezim Nazi di tangan Hitler mulai berkuasa pada 1933, Manstein sudah memegang komando sebuah batalyon infantri ringan di Resimen Infantri ke-4 dengan pangkat letnan kolonel. Ia sempat protes karena banyak prajurit maupun perwira Yahudi mesti disingkirkan dari semua kesatuan di Wehrmacht. Namun di kemudian hari, Manstein juga meyakini adanya keterkaitan konspirasi anti-Jerman pihak Yahudi-komunis dan oleh karenanya penyebaran konspirasi anti-Jermannya mesti dihentikan.
Dalam Erich von Manstein: Hitler’s Master Strategist, Benoît Lemay mengisahkan, ketika berkarier di Generalstab des Heeres (atau kepala cabang operasi OKH), Manstein mulai banyak “musuh” lantaran kerap mengusulkan sejumlah perubahan drastis soal rencana operasi hingga kebutuhan akan kendaraan tempur yang lebih mobile. Antara lain terkait rencana operasi Fall Rot (Koper Merah) berupa rancangan pertahanan seandainya Jerman diserang Prancis, dan soal peran panzer sebagai kekuatan utama manuver ofensif.
“Ketika itu Manstein sudah sering berdiskusi dengan Heinz Guderian dan Oswald Luz untuk mengubah cara perang secara drastis dan itu tidak disukai atasannya, kepala staf umum OKH Jenderal Ludwig Beck,” tulis Lemay.
Baca juga: Jenderal Choltitz Penyelamat Paris
Alhasil, Manstein yang saat itu menjabat deputi kepala staf I OKH dimutasi untuk memegang komando Divisi Infantri ke-18 di Silesia. Pangkatnya dipromosikan dari Generalmajor menjadi Generalleutnant. Adapun posisi yang ditinggalkan Manstein ditempati Halder.
“Perpindahan itu membuat Manstein tak bisa menggantikan posisi Beck yang pensiun pada Agustus 1938. Posisi itu diberikan kepada Halder yang sebelumnya mengambil jabatan Manstein di deputi kepala staf I. Insiden itulah yang menciptakan kebencian di antara keduanya,” lanjut Lemay.
Maestro Strategi yang Dihormati
Terlepas dari friksi antara sejumlah jenderal di OKH, pada permulaan perang pra maupun pasca-merancang invasi ke Polandia dan kemudian Prancis, nama Manstein yang dianggap jago strategi begitu harum bagi Hitler. Hitler menarik Manstein dari “pengasingannya” yang hanya memegang pasukan cadangan menjadi panglima Korps Panzer ke-56, Grup AD Utara jelang invasi ke Uni Soviet (Operasi Barbarossa).
Kecakapan Manstein kemudian juga dibutuhkan Grup AD Selatan. Menggantikan komandan sebelumnya, Generaloberst Eugen Ritter von Schobert, yang tewas usai pesawatnya salah mendarat di ladang ranjau, Manstein mengomando pasukan AD ke-11 Jerman dan AD ke-3 Rumania dalam Pengepungan Sevastopol (30 Oktober 1941-4 Juli 1942) dan Pertempuran Semenanjung Kerch (26 Desember 1941-19 Mei 1942).
“Dalam memoarnya, Manstein mencatat ia menawan 170 ribu tawanan perang (Soviet), 1.133 meriam, dan 285 tank ketika Kerch direbut pada 16 Mei. Sementara pihak Jerman hanya kehilangan 8.000 prajuritnya,” sambung Melvin.
Baca juga: Lyudmila Pavlichenko dan Kiprah Sniper Ulung di Sevastopol
Usai Sevastopol dan Krimea direbut Jerman pada awal Juli 1942, Manstein dihadiahi Hitler promosi dengan pangkat Generalfeldmarschall (marsekal). Dari Sevastopol, Hitler langsung memerintahkan Manstein dan AD ke-11 pindah ke utara untuk Pengepungan Leningrad (8 September 1941-27 Januari 1944). Manstein merancang Operasi Nordlicht yang bertujuan memutus garis suplai Soviet di Danau Ladoga.
Lantas dari Leningrad, Marsekal Manstein kembali dipercaya Hitler untuk mengkomando satu grup baru, Heeresgruppe Don (Grup AD Don). Grup itu dibentuk khusus Hitler pada November 1942 untuk menembus kubu pertahanan Soviet yang paling alot: Stalingrad (kini Volgograd).
Hitler berharap Manstein bisa memulihkan situasi lantaran sekira 300 ribu personel Grup AD A di dalam kota Stalingrad nyaris dikepung Tentara Merah. Manstein pun merancang Operasi Badai Musim Dingin dan pada 12 Desember. Tiga divisi pansernya nyaris menembus garis kepungan Soviet namun badai salju mematahkan rencananya saat pasukan tinggal 48 km lagi dari batas kota.
“Pada 18 Desember, Manstein minta pada Hitler agar AD ke-6 yang masih tersisa diizinkan mundur dari kota. Hitler menolaknya. Kondisi pasukannya pun makin buruk karena kekurangan makanan dan amunisi. Reichsmarschall Hermann Göring yang sempat menjanjikan bantuan udara gagal menunaikan janjinya karena cuaca buruk,” tulis Richard J. Evans dalam The Third Reich at War.
Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman
Di tengah situasi pelik, pada 31 Januari Manstein terpaksa menerima permintaan Marsekal Friedrich Paulus agar sisa 91 ribu pasukan AD ke-6 menyerahkan diri tanpa izin Hitler. Stalingrad jadi neraka tersendiri buat pasukan Jerman yang tersisa, termasuk pasukan Manstein. Sejak Februari 1943-Maret 1944, pasukan Grup AD Selatan yang dipegang Manstein terus terdesak ke Kharkov, Kursk, hingga Dnieper.
Sepanjang waktu itu, sudah tak terhitung jumlah telegram Manstein yang meminta bantuan pasukan tambahan, atau setidaknya mundur ke posisi-posisi tertentu yang ditolak Hitler. Manstein akhirnya dipanggil Hitler ke vila peristirahatan sang diktator di Berghof pada 2 April 1944.
Hitler menitahkan Manstein menyerahkan tongkat komando Grup AD Selatan yang berubah nama menjadi Heeresgruppe Nordukraine (Grup AD Ukraina Utara) kepada Marsekal Walter Model. Hitler menginstruksikan pada Manstein, “saya tak bisa menggunakan Anda di selatan. Marsekal Model akan mengambil-alih.”
Manstein mencoba membela diri tapi Hitler bergeming. Praktis sejak April 1944, Manstein tanpa jabatan dan tugas apapun lagi. Meski dibuang Hitler, bukan berarti Manstein sudi diajak berkhianat ketika didekati sejumlah tokoh kunci kelompok “Plot 20 Juli”: Generalmajor Henning von Tresckow, Generalmajor Rudolf-Christoph von Gersdorff, dan Oberst (kolonel) Claus von Stauffenberg.
“Marsekal Prusia tidak memberontak,” tegas Manstein. Ia menolak ikut terlibat konspirasi untuk membunuh Hitler. Pun begitu, tetap saja kediaman pribadinya di Liegnitz (kini Legnica, Polandia) diawasi Gestapo.
Baca juga: Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler
Seiring terus terdesaknya Jerman dalam perang, Manstein pun terpaksa mengungsi dari Pomerania Timur ke Berlin hingga berakhirnya perang. Saat sedang menjalani perawatan katarak mata kanannya di Rumahsakit Heiligenhafen pada 26 Agustus 1945, pasukan Inggris menahannya dan membawanya ke Lüneburg. Manstein lalu mendekam di Nürnberg pada Oktober 1945 jelang sidang kejahatan perang.
Manstein dihadapkan pada 17 dakwaan, termasuk perlakuan buruk terhadap tawanan perang dan aktivitas pembersihan Yahudi di Krimea oleh kesatuan SS (Schutzstaffel/Paramiliter Nazi) Einsatzgruppe D. Kesatuan SS ini turut beroperasi di wilayah yang dikuasai AD ke-11 yang pernah dipimpin Manstein di Polandia Timur dan Krimea.
“Manstein terbukti bersalah terhadap sembilan dakwaan dan divonis 18 tahun penjara. Tetapi banyak tokoh yang bersimpati pada Manstein di Inggris dan Jerman memprotesnya. Peneliti militer Kapten Liddell Hart bahkan menyebut vonis Manstein sangat politis. Pada 12 Februari 1950, vonisnya dikurangi menjadi 12 tahun penjara,” sambung Lemay.
Setelah mendapat beberapa pemotongan masa tahanan, Manstein dibebaskan pada 7 Mei 1953. Selain karena masalah kesehatan, pembebasan Manstein tak lepas dari campur tangan PM Churchill dan Kanselir Jerman Barat Konrad Adenauer. Churchill berharap Jerman Barat bisa ambil bagian dalam pertahanan Eropa Barat dan Adenauer membutuhkan pemikiran Manstein untuk mengkonsep reorganisasi Bundeswehr.
“Pada Juni 1953, ia dipanggil Kementerian Pertahanan Jerman untuk kemudian bicara di Bundestag (parlemen), memberi analisisnya terkait pertimbangan kekuatan strategis dan pertahanan negara. Terhadap opsi tentara profesional atau wajib militer, ia beropini, jikapun wajib militer setidaknya selama 18 bulan atau paling lama 24 bulan. Gagasannya soal pembentukan pasukan cadangan pun belakangan diwujudkan Kementerian Pertahanan,” tulis Guido Knopp dalam Hitler’s Warriors.
Baca juga: Karl Doenitz, Panglima "Singa" Suksesor Hitler
Maka ketika Manstein wafat karena serangan stroke pada 9 Juni 1973 di usia 85 tahun di Irschenhausen, pemerintah Jerman Barat memberinya pemakaman dengan upacara militer di pemakaman Dorfmark. Upacaranya dipimpin inspektur jenderal Bundeswehr, Laksamana Armin Zimmermann. Sedangkan euloginya dibacakan koleganya sesama veteran Perang Dunia II, Jenderal Theodor Busse.
“Seorang prajurit dan komandan militer yang luar biasa ini memegang keteguhan dan kemuliaan dan pantas mendapat respek dari kita semua. Pribadinya berani, cekatan, gigih, dan ringan tangan, serta punya sifat sederhana bahkan di masa-masa jayanya, pantang gentar di hadapan musuh, hingga selalu punya perhatian kepada semua orang yang diberi kepercayaan olehnya. Begitulah makna akan sosoknya terhadap kita semua dan oleh karenanya ia akan terus hidup bagi kita semua,” tukas Busse dikutip Melvin.