Masuk Daftar
My Getplus

Kecelakaan Helikopter di Puncak

Mantan KSAL yang baru sebulan jadi duta besar untuk Pakistan dan Atase AL Pakistan untuk Indonesia tewas dalam kecelakaan Helikopter di Puncak.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 20 Mei 2024
KSAL Laksamana Madya TNI R.E. Martadinata (tengah) dan KSAU Marsekal TNI Suryadi Suryadarma (kanan). (Eddy Laksmana/Wikimedia Commons).

LAKSAMANA Madya R.E. Martadinata menjabat Menteri/Panglima TNI AL (kini KSAL) dua periode selama tujuh tahun (Juli 1959–Februari 1966). Dia kemudian diperbantukan pada penggantinya, Laksamana Madya R. Moeljadi, selama beberapa bulan. 

Setelah itu, R.E. Martadinata ditunjuk menjadi Duta Besar Republik Indonesia Berkuasa Penuh untuk Republik Pakistan pada 1 September 1966. Dia berangkat ke Pakistan tanpa disertai keluarga karena baru akan menyerahkan surat kepercayaan sebagai duta besar kepada presiden Pakistan.  

R.E. Martadinata sudah dikenal oleh pemerintah Pakistan, khususnya Angkatan Laut Pakistan, karena sewaktu menjabat Menteri/Panglima TNI AL pada 1965 dia mengirimkan satuan TNI AL untuk latihan bersama AL Pakistan. 

Advertising
Advertising

Baca juga: Petualangan Hiu Kencana di Pakistan

Belum lama menjabat duta besar di Pakistan, R.E. Martadinata mendapat undangan dari Laksamana Madya R. Moeljadi agar datang ke Jakarta untuk menghadiri Hari Ulang Tahun Angkatan Perang Republik Indonesia sekaligus menerima kenaikan pangkat menjadi Laksamana penuh. 

R.E. Martadinata tiba di Jakarta pada 26 September 1966. Setelah berkumpul dengan keluarga, dia memberikan laporan kepada pemerintah tentang pelaksanaan tugasnya di Pakistan, memenuhi undangan dari rekan-rekannya, serta menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan pemerintah dan TNI AL. Seperti pertemuan dengan pejabat teras TNI AL pada 4 Oktober 1966. 

Upacara penghormatan terakhir kepada Laksamana R.E. Martadinata dan Kapten Laut Penerbang Willy Kairupan di Markas Besar TNI AL di Gunung Sahari, Jakarta Pusat, 7 Oktober 1966. (ANRI).

Peringatan HUT Angkatan Perang Republik Indonesia diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 5 Oktober 1966. R.E. Martadinata hadir bersama koleganya, perwira tinggi Angkatan Laut Pakistan Komodor Rauf dan istri serta Atase Angkatan Laut (ATAL) Pakistan untuk Indonesia Kolonel Mazhar dan istri. 

Zamzulis Ismail dan Burhanuddin Sanna dalam Siapa Laksamana R.E. Martadinata terbitan Dinas Sejarah TNI AL, menyebut bahwa dalam pertemuan tersebut ATAL Kolonel Mazhar mengundang R.E. Martadinata ke Riung Gunung untuk minum teh sambil menikmati keindahan alam Puncak. R.E. Martadinata dengan senang hati memenuhi undangan dan menyediakan waktunya tanggal 6 Oktober 1966 sore. 

Baca juga: Cerita di Balik Helikopter NBO-105

Peringatan HUT Angkatan Perang Republik Indonesia dilanjutkan malam hari dengan resepsi garden party di halaman Istana Merdeka, Jakarta. Beberapa saat sebelum acara dimulai, diadakan upacara kenaikan pangkat beberapa perwira tinggi ABRI. R.E. Martadinata menerima kenaikan pangkat menjadi Laksamana penuh. 

Pada esok harinya, 6 Oktober 1966, R.E. Martadinata mengikuti upacara khusus penyematan “Hiu Kencana” kehormatan oleh Laksamana Madya R. Moeljadi kepada Presiden/Panglima Tertinggi ABRI Sukarno di Tanjung Priok, Jakarta. Pada sore harinya, dia menepati janjinya kepada Kolonel Mazhar untuk pergi ke Riung Gunung dengan menggunakan Helikopter TNI AL jenis Alouette IV-422. 

Panglima Kodam Siliwangi Mayor Jenderal TNI H.R. Dharsono memberi sambutan dan meletakan batu pertama pembangunan tugu peringatan Laksamana R.E. Martadinata di Naringgul, Puncak, Bogor, 24 November 1966. (ANRI).

Menurut Zamzulis dan Burhanuddin, selain R.E. Martadinata dan Kolonel Mazhar, ikut pula Nyonya Mazhar dan Nyonya Rauf, istri Komodor Rauf. Istri R.E. Martadinata, Nyonya Soetijarsih tidak ikut karena sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa ke Pakistan. 

Perjalanan dari Jakarta ke Riung Gunung, Helikopter yang dikemudian oleh pilot Letnan Laut Penerbang William Charles Kairupan atau Willy Kairupan selamat sampai tujuan. Namun, ketika kembali ke Jakarta, pesawat dikemudikan oleh R.E. Martadinata. Pada waktu pesawat hendak melewati Puncak Pass, cuaca memburuk dan udara berawan tebal sehingga mengganggu penglihatan. Akibatnya, pesawat membentur tebing lereng gunung di daerah kebun teh di Naringgul, Puncak. Kecelakaan yang terjadi pada pukul 16:49 WIB itu menewaskan R.E. Martadinata dan semua penumpang. 

Baca juga: Saat Heli Trengginas Diganti Heli Bekas

Jenazah para korban pada malam itu juga dibawa ke RSAL dr. Mintohardjo di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Keesokan harinya, 7 Oktober 1966, jenazah R.E. Martadinata dan Kapten Laut Penerbang Willy Kairupan disemayamkan di aula Markas Besar TNI AL di Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Setelah itu, jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. 

Jenderal TNI Soeharto yang memimpin upacara pemakaman membacakan Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI tentang pengangkatan Laksamana R.E. Martadinata sebagai Pahlawan Nasional. 

Pada 24 November 1966, untuk menghormati jasa Laksamana R.E. Martadinata dibangun tugu peringatan di Naringgul, Puncak, Bogor. Panglima Kodam Siliwangi Mayor Jenderal TNI H.R. Dharsono memberikan sambutan dan meletakan batu pertama pembangunan tugu peringatan tersebut.* 

TAG

tni al kecelakaan

ARTIKEL TERKAIT

Kecelakaan Pesawat Garuda di Mumbai India Tragedi Bintaro Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Pelatih Galak dari Lembah Tidar Pangeran Pakuningprang Dibuang Karena Narkoba Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia Jenderal Mata Satu “Berdarah” Bugis