KENDATI usianya sudah lebih dari 80 tahun, lelaki berambut putih itu masih kuat ingatannya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya masih jelas, kalimat-kalimatnya lugas. Mengenakan kaos putih dengan tulisan “Air Force” di dada kiri, perawakannya masih tegap.
Kolonel Penerbang (Purn.) Pramono Adam, lelaki itu, masih ingat betul suatu hari saat dia bertugas sebagai komandan Squardron 8 Wings Ops 004. Pimpinan TNI AU memerintahkannya berangkat ke Udorn, Thailand untuk mengambil helikopter Sikorsky UH-34 D Sea Horse buatan Amerika Serikat (AS).
“Belum pernah terbangin pesawat itu, belum tau pesawatnya seperti apa, belum pernah latihan, saya disuruh ambil 14 di situ, diangkut ke sini sendiri. Aku mikir, bingung,” ujarnya kepada Historia.
Empat belas UH-34 D yang harus diambil Pram, sapaan akrab Pramono, merupakan helikopter yang dihibahkan pemerintah AS kepada pemerintah Indonesia. Hibah itu terjadi menyusul keluarnya permintaan AS kepada Indonesia agar mempensiunkan persenjataan buatan Uni Soviet, rival utama AS di Perang Dingin, pasca-Peristiwa 1965. Sebagai gantinya, AS menghibahkan persenjataan buatannya.
Helikopter-helikopter trengginas Mi-4 dan Mi-6 yang jadi pegangan Pram sejak Dwikora (1963-1965) termasuk ke dalam daftar persenjataan yang mesti dipensiunkan itu. Kedua jenis heli digantikan UH-34 D.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
Mau-tak mau, Pram mesti mempelajarinya terlebih dulu sebelum memegang “capung besi” baru itu. Celakanya, saat itu di Indonesia tak tersedia UH-34. Pram pun mencari cara. Maka, kata Pram, “(Heli bekas, red.) punyanya Bung Karno, S-51, itu sangat VIP sekali, ditarik ke situ. Modelnya sama dengan Sikorsky ini cuma lebih sophisticated lagi.”
Saat dibawa ke Lanud Atang, kondisi S-51 sudah parah lantaran lama teronggok. Seorang teknisi asal AS yang ditugaskan di Lanud Atang pun mengajak Pram membetulkannya. Namun, S-51 baru bisa kembali hidup setelah ditangani seorang teknisi AS yang dikirim dari Thailand.
Melalui heli itulah Pram belajar tentang heli buatan AS. “Jadi saya tiap hari belajar dari seorang tech rep. Dia bukan pilot. Kalau pagi saya latihan sama dia, kalau sore ngajar grupnya dia,” sambung Pram.
Pada hari-H, Pram pun berangkat ke Lanud Halim Perdanakusuma. “Paspor dibagi-bagi, (saya) nunggu di Halim,” sambungnya.
Dalam perjalanannya, perintah tugas Pram berubah-ubah. Dia tak jadi ditugaskan ke Udorn, melainkan diperintahkan menunggu di Tanjung Pandan, dan akhirnya menunggu di Halim. “Jadi rasanya plong nggak jadi ngambil sendiri di sana (Udorn).”
Namun, Pram sempat berangkat ke Tanjung Pandan. Di sana, kejadian tak mengenakkan sempat dialaminya. “Di Tanjung Pandan (sewaktu) mau take off ke sana (Udorn), (ketika) di-start, (helikopter itu, red.) ngebul. Kaya mau kebakaran gitu. Aku udah ketar-ketir. Nyebrang laut kalau begini gimana,” kata Pram.
Baca juga: Naik Heli Cukup Bayar Pakai Kambing
Di Halim, Pram akhirnya menerima kedatangan heli-heli AS yang dipiloti langsung oleh pilot-pilot AS. Tugas Pram hanyalah membawa heli-heli itu ke Lanud Atang.
Namun karena heli-heli dari AS yang akan menggantikan heli-heli trengginas buatan Soviet itu semuanya barang bekas, Pram pun mengecek dengan teliti heli-heli itu. “Dibuka tutup mesinnya, mesinnya itu diikat-ikat sama kawat jemuran. Sudah goyang semua. Diikat-iket sama kawat begitu supaya nggak goyang-goyang. Bayangin kalau saya membawa dari Udorn ke sini sekian belas pesawat, gimana itu rasanya? Jadi sudah keadaan bobrok,” sambungnya sambil tertawa.
“Wong bekas dipakai di Vietnam. Masih ada bekas luka-luka bolong kena tembak.”