Masuk Daftar
My Getplus

Nasib Tawanan Perang Jepang di Gulag Siberia

Ratusan ribu tentara dan sipil Jepang yang tertawan Uni Soviet dikirim ke kamp-kamp kerja paksa. Para penyintasnya yang pulang dicurigai agen komunis.

Oleh: Randy Wirayudha | 26 Agt 2024
Ilustrasi tawanan perang Jepang di gulag Siberia dalam film "My Way" (CJ ENM)

NEGARA boneka Manchukuo di Manchuria ambruk seiring menyerahnya Tentara Kwantung kepada Tentara Merah Uni Soviet pada 19 Agustus 1945. Perang Soviet-Jepang (8 Agustus-2 September 1945) pun memasuki fase akhir. Nasib getir para tawanan perangnya lantas ditentukan Josef Stalin via sebuah dekrit pada 23 Agustus 1945.

Bentrokan militer Jepang dan Soviet sedianya sudah terjadi sejak insiden-insiden perbatasan Mongolia-Manchuria dalam Insiden Nomonhan/Pertempuran Khalkhin Gol (11 Mei-16 September 1939). Konflik dua kekuatan di timur itu baru mereda lewat perjanjian bilateral Pakta Netralitas Soviet-Jepang yang disepakati pada 13 April 1941. Namun perjanjian itu sama sekali tak menghasilkan nasib yang jelas pada ratusan prajurit Angkatan Darat (AD) ke-6 Tentara Kwantung yang ditawan Soviet.

Sekitar 500-600 serdadu Jepang dan Manchu ditawan. Tapi karena adanya doktrin militer (Jepang) yang melarang serdadunya menyerah, pihak Jepang mencatat mereka sebagai prajurit yang gugur demi menjaga kehormatan keluarga mereka.

Advertising
Advertising

“Doktrin pertempuran itu dikeluarkan (Menteri AD, Jenderal) Hideki Tōjō yang menyatakan, ‘seorang prajurit dilarang menerima nasib memalukan sebagai tawanan perang selama ia masih hidup’,” ungkap Bob Moore dan Barbara Hately-Broad dalam Prisoners of War, Prisoners of Peace: Captivity, Homecoming and Memory in World War II.

Banyak dari mereka yang akhirnya meregang nyawa di sejumlah gulag atau kamp kerja paksa Soviet. Sisanya bergabung dengan ratusan ribu lainnya yang jadi tawanan perang dan interniran pasca-Tentara Kwantung resmi menyerah pada 19 Agustus 1945. 

Nasib mereka berada di tangan para perwira NKVD, polisi khusus Soviet, yang diperbantukan di GUPVI, semacam lembaga urusan tawanan perang dan interniran Soviet yang berada di bawah naungan Komite Pertahanan Negara (GKO). Lewat komite yang diketuai langsung oleh Stalin itulah pada 23 Agustus 1945 dirilis Dekrit No. 9898cc yang menjadi landasan demiliterisasi, akomodasi, serta “pemberdayaan” tawanan perang Jepang sebagai pekerja.

Baca juga: Pelarian Berdarah Tawanan Jepang di Kamp Cowra

Sejumlah serdadu Jepang yang tertangkap di Insiden Nomonhan (gzt.ru/Wikimedia)

Kegetiran di Kamp-Kamp Kerja Paksa 

Suatu malam yang pekat pada musim dingin 1945, perwira muda Jepang Hideyuki Aizawa bertahan hidup sebisanya sebagai tawanan perang. Selama lima hari ia bersama puluhan ribu tawanan perang Jepang serta Jerman dan sekutu-sekutunya di Blok Poros dipaksa berjalan selama lima hari dari sebuah stasiun di Siberia ke sebuah gulag dekat kota Moskow.

“Kami diturunkan (dari keretaapi) di sebuah stasiun menjelang tengah malam. Kami long march di atas salju setebal dua meter ditambah cuaca hujan salju tanpa tahu ke mana tujuan kami,” kenang Aizawa dikutip Toshio Kurihara dan Iwanami Shinsho dalam Japanese POWs in Siberia: Unfinished Tragedy.

Aizawa satu dari sedikit penyintas yang dipulangkan pada 1949. Banyak kompatriotnya yang tinggal nama di gulag-gulag Soviet. Ia juga beruntung mendapat kesempatan kedua dalam hidupnya. Di hari tuanya, Aizawa aktif di politik hingga menjadi wakil menteri keuangan dan anggota parlemen. Maka, sebagai presiden Asosiasi Tawanan Perang di Soviet ia juga aktif menyuarakan kisah-kisah kompatriotnya.

“Jika ada yang tumbang dan tertidur dalam perjalanan, itu artinya dia sudah mati. Beberapa rekan prajurit terjatuh dan tak pernah bangun lagi. Biasanya anjing-anjing liar dan serigala-serigala akan mengerumuni jasad-jasad itu,” tambahnya.

Baca juga: Habis Gempa di Jepang Terbitlah Genosida

Yang dikenang Aizawa itu belum sepenuhnya “neraka” buat para tawanan perang Jepang yang biasanya digabungkan dengan jutaan tawanan perang Jerman yang dipencarkan di sejumlah gulag. Di dalam kamp dan proyek pekerjaan, lazimnya lebih getir dari itu.

Eiji Takemae dalam The Allied Occupation of Japan mencatat, dari sekitar 1,7 juta kombatan dan sipil Jepang yang ditawan Soviet di Manchuria, Korea, Sakhalin, dan Kuril, mayoritas dipulangkan sebagai penerapan kesepakatan Konferensi Potsdam (17 Juli-2 Agustus 1945). Namun sekira 500-700 ribu di antaranya justru dikirim Soviet ke gulag-gulag di Siberia. Aizawa salah satunya.

“Mereka dikirim ke kamp-kamp kerja paksa di Siberia dan Asia Tengah untuk mengatasi kekurangan pekerja dalam rangka rekonstruksi pasca-Perang. Kelak melalui perjanjian repatriasi pada Desember 1946, Moskow mengizinkan pemulangan 50 ribu tawanan per bulan hingga pertengahan 1947, di mana setelah itu Soviet menunda program repatriasinya,” tulis Takemae.

Dari sekira 500-700 ribu tawanan perang itu, GUPVI menyebarkan mereka ke 50 gulag di belantara Siberia: Primorski Krai, Khabarovsk Krai, Krasnoyarsk Krai; hingga Asia Tengah: Kazakhstan Selatan, Zhambyl, Buryat-Mongol, dan Uzbekistan. Lazimnya mereka dibagi 1.000 orang per unit tawanan. Mereka sendiri yang kemudian diperintahkan untuk menebang kayu dan membangun kabin-kabin serta bangsal-bangsal untuk mereka tinggali.

Baca juga: Lika-liku Kisah Pelarian Tawanan Sekutu dari Kamp Jerman

Mayoritas dari mereka “diberdayakan” di berbagai proyek pembangunan. Seperti sekitar 200 ribu tawanan Jepang dan tawanan perang lain (Jerman dan negara-negara Poros) dari delapan gulag dijadikan buruh paksa pembangunan jalur keretaapi Baikal-Amur di Siberia Timur. Lalu ada dua jalur keretaapi Komsomolsk-on-Amur di Khabarovsk Krai yang mempekerjakan para tawanan dari dua kamp, serta para tawanan di kamp-kamp lain membangun Stasiun KA Sovetskaya Gavan, Stasiun KA Raychikha, Stasiun KA Krasnaya Zarya, Stasiun KA Taishet, dan Stasiun KA Novo-Grishino.

Banyak proyek pembangunan itu memakan korban. Baik karena penyiksaan brutal penjaga kamp, wabah penyakit, maupun kecelakaan kerja berupa kebanjiran dan runtuhnya terowongan jalur kereta. 

Mereka yang tidak dipekerjakan di kamp tak kalah menderita. Banyak ransum mereka justru dikorup dan dijual ke pasar-pasar gelap. Barangsiapa yang nekat melarikan diri, siap-siap ditembak di tempat.

Baca juga: Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel

Demi mengatasi wabah kelaparan, para tawanan terpaksa mencari makanan di sejumlah tong sampah atau terpaksa makan rumput, serangga, hingga ular. Belum lagi di gulag-gulag itu. Terlepas dari Soviet yang tak memperlakukan mereka sesuai Konvensi Jenewa, derita para tawanan itu ditambah belum adanya perhatian pemerintah Jepang pascaperang.

“Walaupun banyak perlakuan Soviet yang begitu kejam terhadap tawanan Jepang, secara tidak langsung pemerintahan Jepang juga terlibat. Pemerintah Jepang membiarkan para tawanan perang itu dijadikan pekerja paksa di Soviet sebagai semacam bentuk pembayaran reparasi untuk kerusakan perang dan oleh karenanya mereka memilih tutup mata,” ungkap Joseph Ferguson dalam Japanese-Russian Relations, 1907-2007.

Dalam kurun 1946-1956, dari sekitar 700 ribu tawanan perang, lebih dari 450 ribu di antaranya dipulangkan. Sisanya tewas di gulag-gulag atau hampir 3.000 lainnya memilih menetap di Soviet.

“Banyak kematian yang tidak diketahui tapi dari dokumen-dokumen Soviet, ada 60 ribu yang tewas, baik karena penyakit, kelelahan kerja, atau karena kondisi-kondisi tak layawk lainnya,” sambung Takemae.

Baca juga: Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang

Beberapa di antara mereka tertunda pulang karena divonis penjara sebagai penjahat perang. Lazimnya mereka yang ditawan di kamp-kamp terpisah karena jadi tersangka bekas anggota Unit 731, sebuah unit rahasia di Manchuria yang mengembangkan senjata biologis dan melakukan eksperimen-eksperimen mengerikan selama perang.

Menurut Valentyna Polunina dalam artikel “Soviet War Crimes Policy in the Far East: The Bacteriological Warfare Trial at Khabarovsk, 1949” yang termaktub dalam buku Historical Origins of International Criminal Law: Volume 2, sejak 1946 GKO memisahkan 100 tawanan yang mulanya diduga terlibat dalam Unit 731. Namun para perwira yang jadi aktor utamanya sudah lebih dulu kabur sebelum Jepang menyerah.

Lalu, ditentukan ada 12 tawanan yang bekas (anggota) Unit 731, setelah mewawancarai 10 ribu tawanan lain. Ke-12 perwira dari pangkat jenderal hingga prajurit itu kemudian diperiksa dan diadili di Pengadilan Khabarovsk. 

“Tetapi yang mengejutkan adalah fakta bahwa vonisnya tidak sesuai dengan tuntutan jaksa. Padahal ada beberapa tersangka lain yang terlibat dalam program senjata bakteriologis justru hanya jadi saksi,” tulis Polunina.

Baca juga: Josef Mengele Dokter Keji Nazi

Dari ke-12 terpidana, lanjut Polunina, empat perwira –Jenderal Otozō Yamada, Letjen Ruiji Kajitsuka, Letjen Takaatsu Takahashi, dan Mayjen Kiyoshi Kawashima–   menerima vonis 25 tahun di kamp kerja paksa. Sedangkan Mayjen Shunji Satō dan Mayor Tomio Karasawa divonis 20 tahun, Letkol Toshihide Nishi 18 tahun, Sersan Kazuo Mitomo 15 tahun, Mayor Masao Onoue 12 tahun, Letnan Zensaku Hirazakura 10 tahun, Prajurit Yuji Kurushima 3 tahun, dan Kopral Norimitsu Kikuchi 2 tahun.

Terlepas dari para terpidana kejahatan perang, ada ribuan tawanan yang memilih menetap karena tak ingin menanggung malu pulang ke Jepang dengan cap “pengecut”. Mereka yang menetap di Soviet mencari pekerjaan baru dan bahkan tak sedikit yang memulai keluarga baru dengan memperistri para perempuan Rusia. 

“Mereka mengklaim diri mereka interniran, bukan tawanan perang yang punya konotasi negatif. Faktanya di antara mereka memilih menetap. Masyarakat Rusia juga tak punya perspektif negatif, sebagaimana perspektif masyarakat Rusia terhadap tawanan Jerman yang diasosiasikan dengan kekejian Nazi. Dan menjadi hal yang lumrah mendapati para interniran yang punya hubungan romantis dengan para perempuan Rusia. Sekitar 50 di antaranya tercatat menikah di Krasnoyarsk Krai,” ungkap sejarawan Universitas Irkutsk, Sergey Kuznetsov, dalam artikel “The Ideological Indoctrination of Japanese Prisoners of War in the Stalinist Camps of the Soviet Union (1945-1956)” yang termaktub dalam Journal of Slavic Military Studies, 10/4 tahun 1997.

Para tawanan perang Jepang yang dipulangkan dari Soviet pada 1946 menuju pusat screening di Maizuru (Japan Times/Wikimedia)

Mereka yang menetap lazimnya sudah tercuci otaknya dengan indoktrinasi tentang komunisme yang digaungkan para perwira propaganda di semua gulag. Di lain pihak, ini pula yang menghantui para tawanan perang Jepang yang pulang ke negerinya pasca-1956. Mereka yang tak mengikuti doktrin komunis tetap dicap sebagai komunis atau setidaknya dituduh beraliran kiri.

“Diperkirakan 20-25 persen para tawanan dipaksa ikut program-program indoktrinasi dan beberapa di antara mereka menjadi komunis. Oleh karenanya mereka yang pulang terlebih dulu dimasukkan ke pusat-pusat screening di Maizuru dan beberapa pelabuhan sekitar Laut Jepang oleh Korps Kontra-Intelijen untuk melacak terduga agen-agen Soviet,” kata Takemae.

Namun  mereka yang sudah lolos screening dan tak terbukti jadi agen komunis tetap saja dikucilkan di lingkungan mereka dengan stigma komunis dan tawanan perang pengecut. Tak sedikit dari mereka yang kesulitan mencari pekerjaan karena stigma itu.

Sekali lagi, Aizawa dengan kisahnya di atas jadi sedikit yang beruntung. Ia masih bisa berkarier dalam politik. 

Pun dengan penyanyi enka (musik tradisional) Bunji Kitazume yang punya nama panggung Haruo Minami. Sama dengan Aizawa direpatriasi pada 1949, Minami bahkan masih populer hingga jadi salah satu penyanyi theme song Olimpiade Tokyo 1964 bertajuk “Tokyo Gorin Ondo”. 

Baca juga: Setelah Kasel Amerika Menghabisi Ratusan Pelajar Jepang

TAG

jepang soviet uni-soviet uni soviet kamp kamp interniran

ARTIKEL TERKAIT

KNIL Turunan Genghis Khan Eks KNIL Tajir Ayah Pendiri Kopassus Tenggelam di Samudera Hindia Raja Bali yang Digosipkan Punya Harem B.M. Diah Ditangkap Jepang Sebelum Pernikahan Kakek Glenn Fredly Disiksa Jepang Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel Pelarian Berdarah di Kamp Cowra Rakyat Wehale Melawan Tentara Fasis Jepang Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang