SEBELUM tentara Jepang datang, Peter Dominggus Latuihamallo adalah siswa dari Hoogere Theologische School (HTS) di Batavia. Jenjang pendidikan itu dimasuki Peter setelah selesai belajar di MULO Makassar.
Menurut Karel Stenbrink dalam A History of Christianity in Indonesia, HTS berdiri di Bogor pada 1934 dan pindah ke Batavia pada 1936. Belakangan, sekolah ini menjadi Sekolah Tinggi Teologi (STT).
Ketika Peter belajar di HTS, banyak pengajarnya orang Belanda. Karena itulah begitu Jepang menduduki Jawa pada Maret 1942, sekolah ini tak bisa berjalan lagi. Banyak pengajarnya ditawan oleh tentara Jepang.
Ketika Jepang datang, Peter belum lulus. Sekolahnya di HTS pun terganggu. Ekonominya pun jadi sulit. Putra dan cucu pendeta kelahiran Mamasa, 11 Agustus 1918 itu pun rela jadi centeng gedung sekolah demi menyambung hidup. Kendati begitu, Peter juga tak berhenti belajar. Bahkan, dia mengisi waktu dengan belajar musik.
Baca juga: Orang Katolik di Masa Jepang
Suatu kali, Peter bertemu seorang indo-Belanda yang baru saja kabur dari kamp tawanan perang Jepang. Orang itu bersembunyi di kawasan Menteng, Jakarta. Bahkan, orang Indo itu memberi Peter uang sebesar 25 gulden. Meski tak banyak, Peter memenej betul uang pemberian itu.
“Duit ini dipakainya modal jual sayur dan buah-buahan. Sore hari ia mengayuh sepeda mencari dagangan di Pasar Minggu, dan baru menjualnya setiap pagi,” kata buku Apa Dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.
Berdagang sayur tapi bukan satu-satu kegiatan Peter. Setiap malam dirinya ikut menyadap berita luar negeri, entah itu dari BBC, ABC atau All India Radio. Di zaman pendudukan Jepang, kegiatan itu adalah hal terlarang. Militer Jepang hanya merestui siaran radio terbatas dari Haso Kyoku.
Tapi Peter tak ciut nyali. Berita-berita perang ilegal itu kemudian diteruskannya ke beberapa kawannya yang anti-Jepang. Terutama berita-berita kekalahan Jepang di front-front Pasifik. Berita radio itu dicatatnya di kertas bungkus sayur dan memberikan sayur berbungkus berita itu ke kawannya.
Baca juga: Empat Tokoh Kristen Terkemuka dalam Sejarah Indonesia
Suatu hari, Peter nahas. Kegiatannya membagi berita radio asing ketahuan aparat militer Jepang. Peter pun ditangkap dan disiksa oleh militer Jepang selama empat hari. Namun dia beruntung, Mr. Johannes Latuharhary turun tangan dengan memberi jaminan agar Peter bebas dari tahanan.
Peter kemudian sekolah lagi. Kali ini ke Sekolah Tinggi Islam yang dikelola Muhammad Natsir. Di antara kawan sekelasnya ada Mukti Ali, kelak jadi menteri agama. Saat bersekolah di sinilah Peter mengalami Indonesia merdeka usai Jepang bertekuk lutut pada Sekutu.
Peter bertahan di Jakarta ketika tentara Belanda menduduki kota tersebut. Setelah HTS dibuka lagi pada 1946, Peter kembali bersekolah di sana demi bertahan pada tujuan awalnya sejak 1939.
Baca juga: Penginjil Kristen dan Wabah di Tanah Batak
Dua dua tahun berselang, Peter merampungkan pendidikannya di sana. Koran De Locomotief tanggal 14 Mei 1948 memberitakan Peter bersama Hardin lulus ujian akhir dan dikukuhkan sebagai pendeta pada hari kedua Pantekosta di Willemkerk (kini Gereja Immanuel), Jakarta. Gereja memberinya gelar Dominus (Ds), jadilah dia Ds. Peter Dominggus Latuihamallo.
Peter lalu menjadi pendeta di Dobo, Kepulauan Aru. Namun kondisi sosial-politik di sana ternyata berbeda sekali dari di Jakarta. Ketika akan memberikan khutbah pertamanya di hadapan jemaah Gereja Protestan Maluku, yang merupakan daerah pendudukan tentara Belanda, Peter mendapat peringatan.
“Bapak jangan pakai itu bahasa Sukarno,” kata salah satu jamaat.
Peter lalu diskusi dengan tetua masyarakat setempat. Banyak orang mengira Peter adalah kaki tangan Sukarno. Di sana, bahasa Melayu Pasar alias bahasa Indonesia dianggap bahasa Sukarno. Waktu itu koneksi daerah Indonesia Timur, termasuk Maluku Tenggara, sangat jauh dari Jakarta. Republik Indonesia ala Sukarno tidak menjadi impian semua orang di sana. Maka, Peter pun berpidato dengan bahasa setempat.
Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia
Pada 1949, Peter dikirim ke New York untuk memperdalam ilmu agama. Meski begitu, Peter tak lupa kampung halaman leluhurnya. Koran Deventer Dagblad tanggal 3 November 1949 memberitakan, Peter bersama Nyonya Wattimena bekerja dalam Komite Rekonstruksi Gereja yang membantu pembangunan gereja sekitar Ambon yang rusak akibat Perang Dunia II. Setelah pulang usai lulus pada pendidikan pada 1950, Peter kembali sekolah di New York pada 1957-1958. Dia kemudian menyandang gelar doktor.
Peter mulai jadi orang berpengaruh di kalangan Maluku Kristen pada 1960-an. Ketika RMS di Belanda berulah pada 1971, Peter dan TB Simatupang, mantan Kepala Staf Angkatan Perang RI, berangjkat ke Belanda untuk menyelesaikan masalah. Keseharian Peter, terutama di masa tuanya, memang dihabiskan untuk umat.
Peter hidup dalam usia yang panjang melebihi rata-rata orang Indonesia. Peter tutup usia pada 9 Mei 2014.
“Rest in Love kakekku Prof. Dr. Peter Dominggus Latuihamallo,” cuit penyanyi Glenn Fredley Latuihamallo di akun X (dulu Twitter)-nya. Glenn yang merupakan penyanyi kondang dan aktivis berpengaruh di kalangan orang Ambon merupakan cucu Peter.*