Makhluk-makhluk yang telah membangkai itu berpuluhan ribu jumlahnya. Manusia yang tewas maupun kuda perang yang mati akibat pertempuran terserak bergelimpangan. Jasadnya terapung-apung di tepi sungai dan danau. Benih penyakit pun menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru. Demikianlah keadaan di Tanah Batak setelah kaum Padri melancarkan serangannya
Augustin Sibarani penulis buku Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamngaraja XII mencatat higienitas udara di Tanah Batak pada waktu itu sebenarnya sudah mulai mengerikan. Musababnya adalah merebaknya tiga macam wabah misterius. Tiga "hantu" sedang menghinggapi daerah Humbang dan Toba Holbung, yaitu: Begu Attuk, Begu Aron, dan Ngenge na Birong.
“Ini adalah nama-nama yang amat kesohor di Tanah Batak, tiga macam penyakit terkutuk yang amat sering melanda daerah-daerah indah di sekitar Danau Toba ini berupa epidemi-epidemi yang membawa banyak putra-putra Batak ke liang kubur: kolera, tipus, dan penyakit cacar,” tulis Sibarani.
Baca juga:
Ketika Hantu Kolera Mengamuk di Tanah Batak
Misionaris Inggris Ditolak
Ragam penyakit yang mewabah di Tanah Batak memantik penguasa kolonial untuk bertindak. Sir Thomas Stamford Raffles menginginkan agar misi penginjilan masuk ke Tanah Batak. Menurut Gubernur Jenderal Inggris di Asia itu wilayah itu perlu di-kristenkan dengan menakar berbagai pertimbangan strategis. Meskipun sarat muatan politik, pada 1824 dikirimkanlah tiga misionaris dari Baptis Mission Society of England ke Tapanuli. Mereka antara lain: Richard Burton, Nathaniel Ward, dan Evans.
Pendeta Ward juga seorang ahli medis yang bertugas menyelidiki keadaan kesehatan dan penyakit menular di Tapanuli bagian utara, terutama di Lembah Silindung dan Toba. Di tempat inilah berjangkit penyakit kolera .Ward dan kawan-kawan diterima dengan ramah setibanya di Lembah Silindung pada 4 Mei 1824. Orang-orang Batak di sana lebih besar keingintahuannya dibanding memantik bermusuhan.
Burton dan Ward melaporkan bagaimana orang-orang Batak menganggap dirinya sebagai penghuni asli di daerah itu. Sultan Minangkabau diakui sebagai penguasa tertinggi atas raja-raja setempat. Ketika para misionaris itu mengabarkan ajaran Kristen, orang-orang Batak merasa tidak sanggup meninggalkan tradisi adat yang sudah mendarah daging.
Baca juga:
Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?
“Akibatnya bahwa tawaran-tawaran untuk menginjil dan dalam hal-hal lain membantu orang-orang Batak, ditolak dengan hormat,” tulis Paul B. Pedersen dalam Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatra Utara.
Setelah kunjungan Ward dan Burton, kaum Padri kembali melancarkan agresi. Pada 1833, Tuanku Imam Bonjol memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tanah Batak ikut terseret lagi dalam pergolakan. Ketika tentara Bonjol menduduki Tanah Batak, orang-orang Batak mengingat sebuah kalimat dari khotbah Richard Burton beberapa tahun sebelumnya.
“Anda harus berkurang dulu dan menjadi kecil dan hanya dengan demikian anda dapat memasuki Kerajaan Allah,” kata Burton dikutip Pedersen. Sejak saat itu misionaris-misionaris Barat yang melawat ke Tanah Batak ditentang dengan keras.
Kedatangan Nommensen
Keadaan di Tanah Batak tidak banyak berubah malahan makin parah. Disamping wabah-wabah yang telah disebutkan, muncul pula lagi penyakit lepra. Orang-orang yang terkena lepra dalam bahasa Batak disebut nahuliton. Hingga kemudian datanglah misionaris asal Jerman bernama Inger Ludwig Nommensen.
Nomensen merupakan utusan Seminari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) di Wupertal-Barmen, Jerman. Sejak 1863, Nommensen telah menjalankan misi kristenisasi di Tanah Batak. Berbasis di Pea Raja, Tarutung, dia mendirikan sekolah misi bernama Batakmission. Sedari mula, usaha penginjilan Nommensen tidak mendapat respon yang bagus dari raja-raja Batak setempat. Dia bahkan sempat menjadi sasaran pembunuhan lantaran pengaruh dan ajarannya tidak disukai.
Ketika Nommensen memulai siar Injil, bertepatan pula dengan masa merajalelanya wabah penyakit menular di Tanah Batak. Pada 1866, epidemi cacar yang dalam bahasa Batak disebut ngenge na birong membuat banyak anak-anak Batak mati terkapar. Saban hari kira-kira 20-30 orang anak dimakamkan ke liang kubur di sekitar Huta Dame.
Selain cacar, ada kampung-kampung disekitar Tarutung yang seluruh penduduknya semua mati disambar penyakit begu attuk alias kolera. Penyakit ini terus menular kemana-mana. Nommensen tidak tutup mata menyaksikan rentannya orang Batak terserang wabah penyakit.
Baca juga:
Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Menurut Guru Besar STT Jakarta, Jan Sihar Aritonang, Nommensen tidak melulu menyebarkan ajaran agama lewat pengajaran pendidikan. Salah satu ujung tombang misi penginjilannya adalah pelayanan kesehatan. Bersama rekannya sesama zendeling maupun penduduk setempat yang telah dibaptis, Nommensen menarik jiwa dengan berbagi pengobatan. Lewat pendekatan itulah orang-orang Batak mulai bersimpati sehingga tertarik terhadap ajaran Kristen.
“Akibat wabah penyakit menular, para zendeling dibantu guru-guru dan murid sekolah di beberapa tempat menjalankan pelayanan kesehatan, antara lain merawat yang sakit, membagikan obat, dan memberikan penyuluhan,” tulis Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak.
Sibarani bahkan mencatat, “adalah suatu kenyataan bahwa orang-orang (Batak) Kristen sedikit yang menjadi korban wabah penyakit.” Mereka lebih banyak kesempatan untuk mendapat perawatan higienis dari pendeta-pendeta Batakmission. Disamping menginjil, para pendeta dan pembantunya sering merangkap sebagai jururawat. Mereka bekerja keras menyembuhkan orang sakit.
Baca juga:
Karena para misionaris itu memberikan pelayanan medis dan obat-obatan secara cuma-cuma, berduyun-duyun penduduk mencari perlindungan ke basis Kristen di Pea Raja, Tarutung. Kepercayaan orang Batak terdap misi suci pengabar Injil itu semakin menguat dalam tempo singkat.
“Setelah menjalarnya penyakit-penyakit itu, banyak orang yang datang mendaftarkan untuk dibaptiskan sebagai orang-orang Kristen.” Tulis Augustin Sibarani.
Dari yang semula sinis kini banyak banyak penduduk Batak yang menjadi pengikut Kristus. Hingga tahun 1870, sudah berdiri 10 sekolah zending Batakmission di lembah Silindung. Pada dekade ini, populasi Batak yang sudah di Kristen-kan sudah cukup besar untuk menjadi sebuah kekuatan sosial dan politik.