RERUNTUHAN bangunan masih berserakan di berbagai sudut kota pelabuhan Yokohama, Prefektur Kanagawa, Jepang pada 2 September 1923 malam. Sejumlah kebakaran yang melanda juga belum lama padam. Tetapi bukannya memberikan bantuan bagi mereka yang terdampak gempa Kantō sehari sebelumnya, para aparat Kepolisian Kanagawa justru memprovokasi warga untuk “menghalalkan darah” minoritas Korea.
Sehari sebelumnya, 1 September 1923 siang, gempa Kantō menghantam kota-kota pesisir timur Jepang. Gempa tektonik berkekuatan 7,9 magnitudo yang berpusat di kedalaman 23 kilometer Pulau Izu Ōshima di Teluk Sagami itu terjadi akibat benturan Lempeng Filipina dan Lempeng Okhotsk.
Gempa yang berlangsung selama 4 menit 48 detik itu meluluhlantakkan Tokyo, Yokohama, hingga kota-kota lain di Prefektur Chiba, Prefektur Shizuoka, dan Prefektur Kamakura, hingga menyebabkan serangkaian kebakaran besar. Tak berhenti sampai di situ, terjangan tsunami setinggi 10 meter yang mengikutinya juga menghantam pesisir Teluk Sagami hingga Semenanjung Bōsō dan Izu.
“Gempa Besar Kantō terjadi dua menit sebelum (pukul 12) siang, ketika banyak orang sedang menyiapkan makan siang. Saat itu masyarakat masih menggunakan api terbuka untuk memasak. Oleh karenanya reruntuhan rumah menyebabkan kebakaran di lebih dari 100 tempat di Tokyo saja dan menyebar seketika,” tulis Makoto Iokibe dalam The Era of Great Disasters: Japan and Its Three Majors Earthquakes.
Baca juga: Lima Gempa Terdahsyat di Turki
Korban tewas mencapai lebih dari 105 ribu jiwa dan 40 ribu lainnya dinyatakan hilang. Tetapi jumlah itu hanya mencakup korban reruntuhan, kebakaran, dan terjangan tsunami. Sama sekali tak termasuk ribuan orang Korea dan China yang jadi korban genosida sehari pascagempa.
Prof. Kenji Hasegawa, sejarawan Universitas Nasional Yokohama, dalam “The Massacre of Koreans in Yokohama in the Aftermath of the Great Kanto Earthquake of 1923” yang dimuat dalam Monumenta Nipponica mengungkapkan, para opsir Polisi Prefektur Kanagawa mulai 2 September malam menyebar informasi sekaligus mengorganisir warga lokal untuk membantai orang Korea dan China manapun yang mereka temui.
“Beberapa perintahnya berlaku dengan syarat, boleh dibunuh jika menolak ditangkap tapi perintah lainnya lebih tegas: ‘bunuh orang-orang Korea yang masuk ke permukiman’ atau ‘bunuh orang Korea yang Anda temui.’ Polisi juga mengatur pemberitaan bahwa orang-orang Korea yang ditangkapi adalah pelaku rudapaksa perempuan Jepang. Orang-orang Korea juga diisukan meracuni sumber-sumber air dan sumur air serta suplai makanan,” ungkap Hasegawa.
Perintah-perintahnya memang tertuju pada komunitas pekerja Korea yang berdiam di pelabuhan. Namun pada kenyataannya, sesama buruh pelabuhan asal China.
Tokoh teater Koreya Senda yang masih berkuliah saat terjadi gempa dan pembantaian itu mengenang, orang Jepang yang dianggap mirip dengan orang Korea juga dipersekusi dan diburu. Massa men-sweeping ke segenap penjuru kota hingga pelabuhan. Untuk menyingkap orang-orang Korea yang menyamar dengan pakaian Jepang, massa mengetes siapapun yang dicurigai dengan perintah mengucapkan mata uang 15 yen dan 50 yen yang memang sulit disebutkan orang non-Jepang.
“Pada malam kedua setelah gempa, terdapat banyak rumor tentang orang-orang Korea yang dituduh akan merampok seiisi kota untuk balas dendam terhadap orang Jepang. Saya sendiri sempat dituduh sebagai orang Korea. Saya menyerukan bahwa saya orang Jepang dan saya mahasiswa di Universitas Waseda dengan bukti kartu mahasiswa. Mereka menguji pelafalan bahasa dan minta saya menyebutkan para kaisar dalam sejarah Jepang,” kenang Senda, dikutip Lee Ji-hee dalam Malcontent Koreans: Towards Genealogy of Colonial Representation of Koreans in the Japanese Empire.
Baca juga: Setelah Kasel Amerika Menghabisi Ratusan Pelajar Jepang
Tragedi yang kini dikenang sebagai Pembantaian Kantō itu terjadi dalam kurun sepekan, 2-9 September. Belum lagi disusul penangkapan dan pembantaian massal terhadap para aktivis kiri Jepang sepanjang 3-16 September yan memakan korban jiwa setidaknya 6.000 orang, serta lebih dari separuh orang Korea yang berdiam di Yokohama.
Ironisnya, pemerintah cenderung tak mengakui genosida itu. Sejumlah buku yang terbit kemudian memberikan bantahan. Ketika menjadikan peristiwa gempanya pada tanggal 1 September menjadi Hari Pencegahan Bencana, pemerintah Jepang sama sekali tak menyinggung soal pembantaiannya.
Bencana di Balik Bencana
Gelombang migrasi orang Korea ke Jepang, terutama yang menjadi pekerja, bermula dari disepakatinya Traktat Jepang-Korea atau biasa disebut Traktat Pulau Ganghwa oleh Kekaisaran Jepang dan Kerajaan Joseon pada 26 Februari 1876. Gelombangnya makin masif pasca-aneksasi Korea oleh Jepang pada 1910.
“Pada 1920-an kebutuhan pekerja di Jepang sangat tinggi, sementara orang-orang Korea kesulitan mencari lapangan pekerjaan di daerah asalnya. Hasilnya, ribuan orang Korea bermigrasi untuk direkrut di sejumlah industri, seperti pelabuhan dan tambang batubara,” tulis Tom Arents dan Norihiko Tsuneishi dalam “The Uneven Recruitment of Korean Miners in Japan in the 1910s and 1920s” yang termaktub dalam International Review of Social History.
Kendati begitu, para pekerja Korea itu tetap mengalami diskriminasi dan sentimen anti-Korea dari berbagai kalangan masyarakat di Jepang sebagai imbas konflik masa lalu, mulai dari Perang Imjin atau Invasi Jepang ke Korea (1592-1598) hingga aneksasi Korea. Selain jadi salah satu faktor tragedi di atas, perkara ini juga sebagai dampak pergolakan politik antara sayap kanan dan pro-monarki dengan kelompok sayap kiri.
Baca juga: Kudeta Perwira Muda Negeri Sakura
Sejak awal abad ke-20, sejumlah organisasi dan partai sosialis tumbuh bak jamur di musim penghujan. Mulai dari Shakaiminshutō (Partai Sosial Demokrat) pada 1901, Nihon Heimintō (Partai Rakyat), hingga Nihon Shakaitō (Partai Sosialis Jepang) pada 1907. Mereka anti-kolonial dan anti-monarki serta menuntut perubahan hingga reformasi.
Salah satu aktivis kiri yang dekat dengan para pekerja asal Korea dan China di pelabuhan Yokohama adalah Seiken Yamaguchi. Sejak 1920 ia sudah mengorganisir para akvitis anti-kolonial menggelar parade buruh “May Day”, hingga menginisiasi organisasi serikat buruh.
“Para buruh Korea di Yokohama pun banyak yang bergabung ke serikat buruh pelabuhan pimpinan Yamaguchi. Pihak kepolisian menganggap serikat buruh itu sebagai sarangnya para sosialis subversif,” sambung Hasegawa.
Syahdan menyusul bencana Gempa Kantō, serikat buruh pimpinan Yamaguchi itu menggelar agenda bantuan makanan untuk para korban, terutama para buruh Korea. Tetapi agenda itu dituding aparat sebagai mobilisasi massa buruh Korea yang anti-Jepang.
“Saya memberikan perintah kepada para kepala distrik kepolisian terkait satu misi tertentu untuk mengatasi situasi darurat. Seseorang (perwira tinggi) pasti mengatakan bahwa ‘ketidakpuasan orang Korea’ merupakan hal berbahaya di masa-masa sulit,” kenang Katsuto Nishizaka, kepala Kepolisian Prefektur Kanagawa, sebagaimana dikutip Hasegawa.
Usai mendengar informasi yang disebar aparat kepolisian, massa langsung bergerak sambil mengusung beraneka macam senjata, mulai dari pedang katana hingga bambu runcing. Dibantu aparat kepolisian dan tentara, massa memburu, mempersekusi, hingga membantai ribuan orang Korea.
“Ada banyak koleksi testimoni pasca-kejadian (pembantaian) yang mengatakan bahwa anggota kepolisian dan tentara ikut terlibat dalam pembunuhan-pembunuhannya,” ujar sejarawan Universitas Nasional Australia, Prof. Tessa Morris-Suzuki, dikutip Korea Times, Jumat (1/9/2023).
Baca juga: Pembunuhan PM Jepang dalam Lintasan Sejarah
Sineas Akira Kurosawa juga punya memori pahit soal tragedi itu. Ayahnya juga sempat diburu hanya karena ia dikira orang Korea karena berjenggot.
“Dengan mata kepala sendiri saya melihat massa berteriak-teriak kebingungan, ‘ke sini!’ Tidak, ke arah sana (orang Korea).’ Mereka memburu orang-orang yang berjenggot karena menilai orang yang berjenggot pasti bukanlah orang Korea. Hanya karena ayah saya berjenggut, ia sempat dikepung massa yang membawa tongkat kayu,” tulis Kurosawa dalam Something Like an Autobiography.
Perintah terstruktur yang sama juga disebar Kementerian Dalam Negeri kepada semua kantor polisi di ibukota Tokyo pada 3 September. Rumor yang disebar adalah orang-orang Korea di ibukota berencana melakukan perampokan hingga aksi terorisme dengan pembakaran dan pemboman. Di hari yang sama, perburuan, persekusi, hingga pembunuhan juga mulai menyasar para politisi dan aktivis kiri.
“Perdana Menteri Kōsai Uchida mengakui telah terjadi pembunuhan-pembunuhan itu tapi para petinggi pemerintah lainnya mengadakan rapat rahasia untuk melakukan bantahan lain atau setidaknya meminimalisir jumlah korban. Mereka juga sepakat untuk mengkambinghitamkan Yamaguchi dan para anggota serikat buruh yang dianggap lebih dulu memicu kerusuhan,” lanjut Hasegawa.
Baru pada 18 September, pemerintah menciduk setidaknya 735 pelaku pembantaian meski akhirnya mereka tak mendapatkan hukuman setimpal. Sementara pemerintah Jepang hanya mengakui korban orang Korea berjumlah 250 orang tetapi Gubernur Jenderal Chōsen, Laksamana Makoto Saitō, memberikan kompensasi santunan kepada keluarga 832 korban itu masing-masing 200 yen.
Sementara di Korea, pemerintah pendudukan Jepang menyensor semua kabar yang memberitakan pembantaian itu. Bahkan hingga kini pada 100 tahun peringatannya, pemerintah Jepang masih keukeuh membantah genosida itu.
“Makam paman saya di Korea tapi tak berisi abunya. Paman saya berusia 33 tahun ketika ia tewas (dalam Pembantaian Kantō). Ia punya tiga anak. Saya pertamakali mendengar kejadian ini ketika masih berusia lima tahun…itu sangat melukai hati saya,” tukas salah satu keluarga korban, Kim Do-im (86).
Baca juga: Pembantaian di Perkebunan Karet