Masuk Daftar
My Getplus

Pembantaian di Perkebunan Karet

Kurang pengalaman tempur dan minimnya senjata, menjadikan pasukan TRI ajang kebrutalan tentara Jepang yang frustasi karena baru kalah perang.

Oleh: Hendi Jo | 31 Jan 2018
Bekas Markas Tentara Jepang yang dikelilingi pohon-pohon karet di Lengkong. Foto: Dok. Moehkardi.

RUMAH bergaya kolonial itu berada di tepi Kali Ciasadane. Tepatnya di atas tanah seluas kurang lebih 1 ha. Kendati cukup asri dan terawat, orang-orang di sekitarnya terlihat tidak begitu peduli. Alih-alih orang-orang yang lalu lalang, seorang petugas keamanan yang berjaga di situ pun tak tahu menahu tentang sejarah tempat tersebut.

“Saya kurang paham, tapi dari penduduk asli sini saya dengar dulu kawasan ini merupakan lahan perkebun karet yang dipakai buat perang ya?”ujar sang petugas malah balik bertanya.

Sejak era Hindia Belanda, Lengkong memang merupakan perkebunan karet produktif. Sekira tahun 1945, komplek perumahan para pegawai perkebunan karet tersebut lantas ditempati oleh satu kompi tentara Jepang yang baru saja pulang dari perang melawan tentara Amerika Serikat di palagan Pasifik.

Advertising
Advertising

“Jadi wajar kalau para serdadu Jepang itu masih mencium hawa perang…”ungkap sejarawan Rushdy Hoesein.

Dalam kondisi seperti itulah, pada 25 Januari 1946, pasukan TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) pimpinan Mayor Daan Mogot mendatangi kompi tentara Jepang itu. Kepada Kapten Abbe (komandan kompi), Mayor Daan meminta agar persenjataan mereka diserahkan saja kepada pihak TRI (Tentara Repoeblik Indonesia).

Niat tersebut awalnya diamini oleh para tentara Jepang (baca:Gegara Sebuah Tembakan). Namun entah bagaimana ceritanya, di tengah jalan semuanya berubah. Saat sibuk melucuti senjata dan mengumpulkannya, tetiba terdengar sebuah tembakan yang memantik para prajurit Jepang itu untuk balik melawan. Maka terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang.

“Malah saya berpikir itu bukan pertempuran, tapi suatu pembantaian, mengingat dengan mudahnya serdadu-serdadu Jepang itu menghabisi pasukan TRI…” ujar Rushdy kepada Historia.

Anggapan Rushdy itu sejatinya masuk akal, mengingat situasi pasukan TRI yang datang ke Lengkong memang serba minim. Selain kurang pengalaman tempur (kecuali delapan eks tentara Inggris pembelot), anak-anak AMT (Akademi Militer Tangerang) yang menjadi inti pasukan, juga tidak dibekali persenjataan memadai.

“Ya bayangkan saja oleh anda, karaben Mannlicher Carcano buatan Italia yang menjadi pegangan kami, selain sudah kuno juga enggak ada pelurunya. Terpaksa pelurunya kami ambil dari senjata jenis lain lalu kami bubut supaya pas, tapi ya nembaknya jadi enggak bisa banyak. Satu picu satu peluru…,” ungkap Marzoeki Soelaiman (eks kadet AMT).

Kocar-Kacir

Rupanya saat para kadet AMT dan sekelompok kecil eks tentara Inggris yang membelot ke kubu TRI tengah mengumpulkan senjata, diam-diam dua peleton pasukan Jepang lainnya yang masih bersenjata lengkap melakukan pergerakan cepat sambil melepaskan tembakan-tembakan gencar secara terkomando.

“Mereka bergerak dari pos penjagaan arah barat laut dan dari pos sebelah selatan yang lolos dari pengawasan kami…” ujar Menot Syam (salah satu pelaku peristiwa tersebut) seperti diungkapkan kepada sejarawan Moehkardi dalam Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi (Bagian I).

Akibat sergapan mendadak itu, situasi di pihak TRI menjadi kacau balau. Alih-alih menghadapi dengan persenjataan yang sangat minim, mereka malah kocar-kacir ke berbagai arah untuk menyelamatkan nyawa masing-masing dan bertempur secara sendiri-sendiri. Dalam situasi seperti itulah, tetiba Mayor Daan Mogot lari dari arah markas induk tentara Jepang.

“Tiaraaappp! Semuanya tiaraappp!” teriaknya.

Menurut Moehkardi, Mayor Daan sepertinya menyadari bahwa pertempuran tersebut terjadi karena adanya kesalahpahaman. Karena itu di tengah serangan gencar dan ramainya pertempuran, dia masih sempat berteriak ke arah pasukan Jepang untuk menghentikan tembakan. Tentunya teriakan Mayor Daan tidak digubris dan serangan malah semakin gencar.

Sementara itu dengan gerakan teratur dan pasti, pasukan Jepang berhasil menguasai keadaan. Bahkan mereka berhasil kembali menguasai senjata-senjata yang sebelumnya dirampas dan menggunakannya. Pertempuran brutal jarak dekat pun terjadi. Sial bagi pasukan TRI yang senjatanya tidak dilengkapi bayonet, mereka tentu saja menjadi sasaran empuk para prajurit Jepang yang pandai memainkan bayonet. Darah mengucur, mayat bergelimpangan.

Daan Mogot Gugur

Begitu menguasai keadaan, para prajurit Jepang terus memburu anak-anak AMT hingga ke sudut-sudut hutan karet. Mayor Daan sendiri menghindar ke arah timur. Namun baru beberapa meter bergerak, dia bertemu dengan beberapa kadet AMT yang tengah bertahan di sebuah lubang pertahanan. Di antaranya adalah Soedharno, Menot Syam dan Tatang Kustandi.

“Kami betul-betul ada dalam situasi kritis: Mayor Daan sudah tertembak bagian paha kanannya sedang peluru kami sudah habis semua…” tutur Menot Syam.

Mereka lantas menghindar ke arah timur. Di tengah gerakan mundur itulah mereka menemukan sebuah pertahanan yang dilindungi tumpukan pasir. Di situlah mereka lantas berdiskusi sejenak mengatur strategi. Sebagai komandan, Mayor Daan memerintahkan kadet Menot dan kadet Sudharno untuk kembali ke Tangerang dan meminta bantuan ke markas Resimen IV. Perintah itu lantas diiyakan.

Hari sudah memasuki waktu magrib. Situasi kebun karet mulai gelap sedang desing peluru dan teriakan para prajurit Jepang masih terdengar. Menot dan Sudharno secara perlahan mulai merayap ke arah timur untuk mencapai jalan raya. Baru saja mereka bergerak sekira 25 meter dari tempat pertahanan yang menyisakan Daan dan beberapa kadet lainnya, tetiba terdengar langkah-langkah terburu-buru dan teriakan dalam bahasa Jepang.

“Chaaappppp!!!”

“Dor! Dor!”

Menot sangat yakin suara pistol itu berasal dari pistol Nambu Taisho Kaliber 14 yang menjadi pegangan Mayor Daan. Selanjutnya terdengar suara gedebag gedebuk, seperti sedang terjadi pertarungan satu lawan satu. Beberapa saat kemudian terdengar suara Mayor Daan mengaduh. Belakangan Menot dan Soedharno meyakini bahwa teriakan Mayor Daan itu merupakan tanda bahwa sang komandan terhantam bayonet Jepang yang langsung mengakhiri hidupnya.

Sejarah mencatat Mayor Daan Mogot memang gugur di Lengkong. Bersamanya ikut gugur pula dua perwira dari kesatuan Polisi Tentara Resimen IV Tangerang yakni Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo serta 34 kadet AMT, yang beberapa di antaranya masih sangat berusia muda. Sedangkan sisanya menjadi tawanan tentara Jepang. (Bersambung)

TAG

tragedi lengkong

ARTIKEL TERKAIT

Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 Melawan Sumber Bermasalah Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda