DI tengah ramainya pemberitaan tentang judi online (judol), sepasang calon bupati (cabup) dan calon wakil bupati (cawabup) dari Kabupaten Belu, NTT, membuat “gebrakan”. Servasius Manek dan Agustinus Bria, pasangan cabup dan cawabup dari Partai Hanura itu, akan melegalkan judi. Menurutnya, upaya itu akan diambilnya untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya guna mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD).
“Ini menggunakan undang-undang kearifan lokal ya, bukan budaya. Kan ada undang-undang kearifan lokal, saya legalkan. Di Bali ada judi ayam dan menjadi obyek pariwisata karena kearifan loakl. Jadi turis Asia datang ke Atambua ibu kota kabupaten Belu, mereka sudah tahu akan dia di sana panas dan butuh dingin di sini maka akan ada aktivitas pariwisata yang disebut indoor. Indoor ini apa saja, salah satunya saya bikin taji ayam, kuru-kuru dan lain sebagainya,” ujar Servasius Manek, dikutip merdeka.com, 29 Juli 2024.
Belu memang jarang yang kenal lantaran jarang dibicarakan orang. Kecuali di masa sekitar referendum Timor-Timur, hampir tak ada pemberitaan tentang kabupaten yang berbatasan dengan Timor-Timur itu.
Baca juga: Hendrick Arnold Koroh, Pejuang dari Timor
Padahal, dulu pernah ada Kerajaan Wewiku-Wehale di selatan Belu. Kerajaan itu tentu punya hubungan dengan dunia luar. Dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Timur Widyatmika dkk. menyebut kerajaan itu sekitar tahun 1642 berhubungan dengan imperium Makassar di Sulawesi Selatan.
Buku Indonesia membangun Volume 4 menyebut Wehale merupakan kerajaan federasi yang punya raja-raja bawahan. Kerajaan tersebut adalah saingan Portugis. Kerajaan Wehale akhirnya memeluk Islam. Raja Wehale, disebut Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia Volume 1, memeluk Islam ketika merasa terancam oleh orang Eropa di daerahnya.
Sebagai pesaing, Portugis memerlukan persekutuan untuk melemahkan kerajaan tersebut. Lewat persekutuan dengan kerajaan-kerajaan bawahan Wehale, Portugi berhasil memperkuat posisi politiknya. Sebagian Wehale pun masuk Timor Portugal, sementara Wehale yang lain kemudian jadi bawahan Belanda.
“Pada awal abad ke-19, yang dipicu oleh pertikaian teritorial yang berulang, Belanda dan Portugis memulai negosiasi berkala, yang berlanjut hingga 1916, untuk menetapkan batas wilayah antara kekuatan kolonial. Pada 1851, melalui perjanjian lokal dengan Gubernur Portugis di Dili dan pembayaran sebesar 200.000 florin, Belanda berhasil menetapkan batas wilayah sebagian, yang kemudian diratifikasi oleh Perjanjian Demarkasi tahun 1859. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Wehali secara resmi diserahkan kepada Belanda, tetapi banyak wilayah yang paling dekat dengannya, seperti Suai, dipisahkan dan diserahkan kepada kendali Portugis,” tulis Tom Therik dalam Wehali: The Female Land: Traditions of a Timorese Ritual Centre.
Baca juga: Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia
Wehale kemudian menjadi daerah misionaris menyebarkan Kristen. Sekolah dan gereja dihadirkan di dalam masyarakat. Hingga Perang Dunia II, Raja Soeai di Wehale masih eksis di Timor. Namun kuasa tentara pendudukan Jepang di atas kuasa raja pada zaman perang itu sehingga raja Wehale tak bisa berbuat banyak di bawah todongan bedil tentara fasis.
Untuk berhubungan dengan pihak Jepang, raja menggunakan pemuda Marcellus Siri dan pemuda Wilhelmus Nahak yang cukup terpelajar. Namun, perang mengakibatkan karya-karya fisik penyebar katolik di Wehale yang berupa gereja, sekolah, hingga rumah misionaris rusak.
“Apa yang telah kami capai secara materi, bangunan kami, dll., tidak selamat dari penghakiman Tuhan yang menimpa Hindia. Hampir semuanya hancur dan tampak sepi,” kata Monsinyur J. Pessers seperti dikutip koran Nieuwe Haarlemsche Courant tanggal 2 April 1946.
Monsinyur J. Pessers bertugas melayani umat Katolik di Pulau Timor sejak sebelum 1942. Setelah kedatangan tentara Jepang, Pessers ditahan dan dibawa ke Sulawesi. Dakwah umat Katolik pun terganggu.
Di balik kabar buruk soal bangunan-bangunan yang rusak tadi, Pessers mendapatkan kabar baik. Dia bahkan sampai terharu dibuatnya.
“Iman di dalam hati umat Katolik kami belum terpatahkan, bahkan oleh barbarisme Jepang. Gembala yang baik telah dengan jelas menunjukkan di sini bahwa Dia dapat memperhatikan semua orang dan segalanya, bahkan tanpa bantuan kita,” kata Pessers.
Baca juga: Cerita Menarik di Balik Pembentukan Provinsi NTT
Bagi Pessers, itu amat bernilai dalam kerja-kerja misionarisnya. “Hasil yang jauh lebih berharga dari pekerjaan kami,” ujarnya.
Tentara Jepang di perangnya sangat mendambakan penghiburan berupa perempuan. Perempuan Timor pun dijadikan sasarannya. Tapi karena hanya sedikit perempuan yang berhasil didapatkan, tentara Jepang memaksa raja yang sudah sepuh menyediakan perempuan-perempuan tersebut. Raja tahu siksa fasis Jepang teramat keji sehingga memilih untuk menuruti kemauan tentara fasis itu.
Upaya raja itu dilakukannya dengan menyuruh orang-orangnya mencari dan mengumpulkan perempuan jika Marcellus Siri dan Wilhelmus Nahak tak ada. Perempuan itu biasanya kemudian diikat dengan tali lalu rambutnya diikatkan ke tiang.
Marcellus dan Wilhelmus toh pada akhirnya mengetahuinya. Mereka berusaha membebaskan perempuan-perempuan malang itu dan menyembunyikannya di hutan. Marcellus dan Wilhelmus pun memprotes keputusan raja.
Baca juga: Taruna "Sakti" dari Timor
Tindakan Marcellus dan Wilhelmus pun kemudian diketahui perwira tentara Jepang. Maka dia lalu mencari kedua pemuda tadi. Setelah mendapatkannya, sang perwira langsung menembak mati keduanya tanpa pemeriksaan dan pengadilan formal.
Tak hanya terhadap perempuan, tentara Jepang juga sangat tertarik pada emas dan perak di Wehale. Bejana Suci, piala, dan monstrans menjadi perhatian mereka. Piala emas bahkan dijadikan asbak rokok.
Ulah tentara Jepang membuat penduduk berusaha menyelamatkan harta-benda mereka dari Jepang. Pessers mengisahkan, ada dua gadis Timor sampai bertaruh nyawa demi menyembunyikan bejana suci dari tentara Jepang. Namun keduanya akhirnya diketahui tentara Jepang dan disekap di sel selama empat malam plus disiksa.
Toh, cara tentara Jepang itu memperlakukan penduduk tetap tanpa hasil. Bejana suci itu sudah disembunyikan di tempat aman. Hingga kedatangan misionaris setelah Perang Pasifik selesai, bejana suci itu kembali ke gereja dalam kondisi utuh.*