Julius Henuhili merupakan satu dari sedikit putra asal Pulau Rote yang sukses berkarier di Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dengan pangkat terakhir letnan jenderal, Julius tentu pernah mendapatkan beragam penugasan dan menduduki bermacam jabatan dari yang rendah hingga yang tertinggi pangdam.
Kariernya dirintis usai tentara Belanda angkat kaki dari Bumi Pertiwi pada 1950. Sebagai perwira artileri anti serangan udara (ARSU), Julius dipercaya menjadi komandan batalyon ARSU dari 1952 hingga 1954. Dari sana penugasannya bergeser ke SUAD dan kemudian Komando Operasi Tinggi (KOTI). Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, pada 1962 hingga 1965 Julius dipercaya menjadi kepala Staf Komando Pertahanan Udara di Angkatan Darat.
Jabatan tertinggi Julius di matra darat adalah panglima Kodam Merdeka di Sulawesi Utara. Jabatan tersebut didudukinya dari Desember 1971 sampai Januari 1974. Julius kemudian ditugaskan menjadi Komandan Jenderal Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) dari Desember 1980-Juni 1983. Jabatan tersebut menjadi jabatan terakhirnya dalam dinas ketentaraan. Setelah itu, dia lima tahun “ikut” Jenderal M. Jusuf yang diminta memimpin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) usai purnatugas dari ABRI.
Karier militer Julius yang panjang tentu tak dibangun dalam setahun-dua. Fondasinya telah dia rintis sedari belia di masa Perang Kemerdekaan. Di masa revolusi nasional itulah Julius masuk Akademi Militer Yogyakarta (AMY). Dia berhasil lulus pada 1948 sebagai angkatan pertama.
Baca juga: Bercanda Gaya Akademi Militer
Dengan pangkat Letnan Dua yang disandangnya selepas lulus AMY, Julius ditugaskan ke Sumatra. Dia memilih Jambi sebagai tempat penugasannya. Sebagai putra dari Johana Sesah yang –menikah dengan Simon Henuhili, mantan serdadu KNIL– masih memegang teguh adat Timor, Julius dibekali sang ibu sarung Timor. Ke manapun dia pergi, sarung itu selalu dipakainya dengan cara dililitkan ke leher.
“Pada tanggal 19 Desember 1948, sekitar 01.30 dini hari rombonganku yang berangkat dengan pesawat udara Amphibi RI dengan copilot Harnoko, tiba dengan selamat pada pagi hari berikutnya di lapangan terbang Branti Tanjungkarang,” kenang Julius Henuhili dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan I.
Jambi menjadi tempat Julius mengaplikasikan semua ilmu yang didapatnya di akademi sekaligus mengasah kemampuannya dengan ikut perang gerilya melawan Belanda. Suatu hari, ketika berada di daerah sekitar Bangko dan Rantaupanjang, Julius bersama dua rekannya bertemu beberapa serdadu KNIL yang tak jauh jaraknya. Dua teman Julius langsung bersembunyi di selokan hingga tak terlihat musuh. Sementara, Julius masih dalam posisi terlihat musuh karena dia berada di dataran terbuka.
Menyadari posisi dirinya terlihat para serdadu KNIL, Julius segera mencabut pistolnya. Dua kali menarik pelatuk, tak satu pun peluru berhasil diletuskan dari pistolnya. Julius pun panik dan memilih lari daripada mati dan tak bisa berjuang lagi. Dia langsung bersembunyi.
Para serdadu KNIL yang dilihat Julius rupanya sempat menembakkan senapan mesin ringan Sten Gun mereka ke sekitar tempat Julius dan dua kawannya tadi tapi tidak lama. Tak satupun peluru yang menyentuh tubuh Julius.
Baca juga: Cerita Lucu dari Pertempuran Surabaya
Peristiwa itu membuat Julius jadi “orang sakti” di kalangan orang-orang awam di Jambi. Cerita “kesaktiannya” menyebar ke para kombatan-pejuang dan rakyat sipil.
Pada pertengahan 1949 setelah gencatan senjata antara RI-Belanda, Julius bertemu lagi dengan serdadu KNIL yang diihatnya di sekitar Bangko-Rantaupanjang itu. Para serdadu itu rupanya KNIL dari Minahasa, Sulawesi Utara. Julius pun mengajak mereka bicara.
“Kenapa saya tidak ditembak?” tanya Julius, dikutip Daud Sinjal dalam Laporan kepada bangsa: Militer Akademi Yogya.
“Tidak tahu. Tidak kelihatan,” jawab serdadu KNIL tadi.