Peran gerilyawan rakyat di desa tak bisa dikesampingkan dalam sejarah revolusi Indonesia. Di perbatasan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, di mana garis demarkasi atau garis status quo yang memisahkan wilayah Belanda dan Republik ditarik, para pejuang “tanpa nama” terus mengganggu pertahanan Belanda.
Jika TNI harus terikat pada perjanjian dan formalitas, gerilyawan rakyat lebih bebas dalam beraksi. Mereka biasanya mengisi celah-celah dalam perang seperti pencegatan patroli musuh, penyusupan, penculikan, teror, sabotase, dan menjadi mata-mata.
Di wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, muncul sejumlah pasukan gerilyawan atau laskar rakyat. Misalnya, pasukan Merbabu I, Merbabu II, Merbabu III yang bergerak di Getasan dan Tengaran. Beberapa menggunakan nama unik, seperti Pasukan Djelata yang dipimpin Ki Ageng Suryomentaram, Barisan Maling, hingga Barisan Clurut.
Baca juga: Desas-Desus Sabotase Banjir Bandung 1945
Bahkan ada yang muncul di dalam wilayah kekuasaan Belanda seperti Markas Pertahanan Rakyat (MPR) yang bergerilya di Tuntang, Bringin, dan Kedungjati dan Markas Kuda Besi/Sabotase Service (MKB/SS) yang beroperasi di Karanggede hingga Salatiga. Dua terakhir ini tampaknya merupakan pasukan yang mahir melakukan sabotase.
Menurut buku Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro, MKB/SS merupakan pasukan yang terdiri dari kesatuan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pimpinan Mayor Sukiswo yang bermarkas di Karanggede.
“Pasukan Sabotase Service terdiri dari anggota-anggota kelaskaran yang tidak dapat dimasukkan ke dalam formasi TNI. Masyarakat yang dihimpun dan digerakkan untuk mengadakan perlawanan gerilya,” tulis Sedjarah Militer Kodam (Semdam) VII/Diponegoro.
Baca juga: Kekejaman Barisan Macan Loreng
Pada Juni 1948, MKB/SS pernah menyabotase waterleiding atau pipa-pipa saluran air di mata air Senjoyo di selatan Salatiga. Sabotase terhadap mata air yang menjadi penyuplai air bersih di wilayah Salatiga dan Kabupaten Semarang ini tentu merepotkan Belanda.
Sementara itu, Markas Pertahanan Rakyat (MPR), pada bulan yang sama menyabotase Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok di daerah Bringin, Kabupaten Semarang. Salah satu PLTA tertua di Jawa itu harusnya bisa mengaliri Kota Salatiga dan sekitarnya, terganggu oleh para gerilyawan.
Baca juga: Semangat Laskar Kere
Menurut Chusnul Hajati, dkk. dalam Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949, dua aksi itu disusul oleh aksi demonstrasi massa pada Juli 1948. Masa menggeser patok tanda batas demarkasi di Tengaran dan beberapa tempat lain.
“Walaupun aksi ini gagal dan dibubarkan oleh tembakan tentara Belanda, namun perlu dicatat sebagai satu tindakan yang heroik,” tulis Chusnul Hajati, dkk.
Serangan-serangan gerilyawan dilakukan malam hari. Agar tak saling serang sesama gerilyawan Republik, mereka telah menetapkan sasaran, rute perjalanan, tempat konsolidasi hingga kode sandi.
Baca juga: Kode Bahaya Masa Perang Kemerdekaan
Belanda tentu saja kerepotan. Pasukan Belanda sering kali membalas serangan pada siang hari dengan tembakan meriam. Sering kali warga sipil menjadi korban karena pembalasan Belanda yang membabi buta.
Aksi semacam ini memang sangat berbahaya. A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 8 menyebut pada awal Desember 1948, seorang anggota MKB/SS sektor selatan tertangkap di daerah Kadungwaringin, Suruh.
Aksi ini, menurut Semdam VII/Diponegoro, sesungguhnya dipicu oleh berbagai pelanggaran terhadap gencatan senjata yang dilakukan Belanda di sepanjang garis demarkasi. Sementara pasukan-pasukan TNI patuh terhadap gencatan senjata yang disetujui pada 4 Agustus 1947 itu, Belanda justru sering kali melakukan provokasi.
“Sikap defensif TNI dengan dibarengi tindakan ofensif perlawanan gerilya rakyat tersebut ternyata berhasil menahan agresi Belanda lebih lanjut,” tulis Semdam VII/Diponegoro