SURABAYA, JANUARI1966. Letnan Satu Budi Handoko tetiba mendapat perintah untuk bersiap menyelam. Dikatakan kepada awak kapal selam Korps Hiu Kencana Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) itu bahwa dirinya akan bertugas selama 3 bulan.
“Waktu itu belum dikasih tahu mau ditugaskan kemana, hanya diperintahkan untuk menyiapkan pakaian saja,” kenangnya.
Dengan kapal selam RI Nagaransang yang dikomandani oleh Kapten (P) Basoeki, Budi kemudian bergerak menuju Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta. Bersama RI Nagaransang, ikut pula kapal selam RI Bramastra (dikomandani oleh Kapten Jasin Soedirdjo). Setelah mengisi logistik di lepas pantai Jakarta, dua kapal selam jenis Whiskey buatan Uni Sovyet itu meluncur ke arah Samudera Indonesia.
Baca juga:
“Barulah di tengah Samudera Indonesia, ada pemberitahuan bahwa kami akan dikirim ke Pakistan guna membantu negara tersebut berperang melawan India,” ungkap Budi.
*
Jakarta, 10 September 1965. Panglima Angkatan Udara Republik Islam Pakistan Marsekal Madya Asghar Khan bertemu dengan Presiden Sukarno. Dalam kesempatan tersebut, selain menyampaikan surat dari Presiden Pakistan Ayub Khan, Asghar juga meminta dukungan kepada Bung Karno terkait konflik mereka dengan India.
“Serangan India ke Pakistan itu sama dengan serangan ke Indonesia juga…”jawab Sukarno seperti dikutip oleh buku Story of the Pakistan Navy, 1947—1972 (Riwayat Angkatan Laut Pakistan, 1947—1972) terbitan Seksi Sejarah Markas Besar Angkatan Laut Pakistan).
Singkat cerita, Indonesia menyanggupi untuk mendukung Pakistan tidak hanya sebatas dukungan politik saja. Presiden Sukarno pun memerintahkan para panglima-nya untuk mengirimkan sejumlah peralatan militer ke Pakistan, meliputi beberapa tank baja, pesawat tempur, kapal perang dan kepal selam.
ALRI sendiri mengirimkan Gugus Tugas ke-10-nya yang dipimpin oleh Letnan Kolonel (Laut) T.A. Natanegara. Kekuatan ALRI itu terdiri dari dua kapal cepat roket, empat kapal cepat torpedo, lima tank ampibi dan dua kapal selam.
Baca juga:
Alasan Indonesia Mendukung Pakistan daripada India
“Untuk kapal selam yang dikirim adalah RI Nagaransang dan RI Bramastra…” demikian menurut buku Sewindu Komando Djenis Kapal Selam, 12 September 1967, yang ditulis dan diterbitkan oleh Seksi Buku Panitia HUT Sewindu Komando Djenis Kapal Selam.
*
Setelah 10 hari bergerak di lautan lepas, RI Nagaransang dan RI Bramastra pun sampai di Karachi, ibu kota Pakistan saat itu. Dengan barisan kehormatan, mereka pun disambut oleh pihak Angkatan Laut Pakistan dan langsung ditempatkan di sebuah mess.
“Sejak itulah kami kerap melakukan patroli bersama dengan kapal selam Pakistan,” kenang Budi.
Sejatinya ketika Gugus ke-10 ALRI tiba di Pakistan, kesepakatan damai antara Pakistan dan India baru beberapa hari saja ditandatangani oleh kedua pimpinan negara tersebut di Tashkent, Uni Sovyet. Namun mengingat situasi kawasan tidak bisa diduga, pihak Pakistan tetap meminta “sukarelawan” Indonesia untuk tetap siap-siaga. Termasuk RI Nagaransang dan RI Bramastra.
“Untuk kebutuhan hidup (termasuk gaji perbulan dengan mata uang dollar), kami dijamin oleh pemerintah Pakistan…” ungkap Budi.
Menurut Budi, tak ada sama sekali kontak senjata terjadi dengan India selama rombongan Indonesia ada di Karachi. Kegiatan militer hanya sebatas patroli dan latihan bersama saja. Jika pun ada kontak radio dengan kapal selam India, itu sebatas hanya “pamer kekuatan” saja untuk sekadar perang urat syaraf.
Baca juga:
Aksi Kapal Selam RI di Palagan Irian
Budi mengaku selama hidup di Karachi semuanya memang serba terjamin. Bukan saja soal makanan, tetapi juga mereka difasilitasi berbagai hiburan seperti menonton film di bioskop secara gratis. Namun soal makanan, sesungguhnya orang-orang Indonesia merasa tidak begitu cocok.
“Mereka kan makanannya itu sejenis roti dan karee ya, kita sebetulnya kurang suka itu,” ujar Budi.
Awal Maret 1966, misi militer Indonesia di Pakistan yang diberi sandi Operasi Nasakom itu pun dinyatakan selesai. Saat melepas kru Hiu Kencana, Presiden Ayub Khan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada segenap anggota Gugus ke-10 ALRI. Mereka, kata Ayub, merupakan contoh terbaik “prajurit-prajurit Ampera” yang bisa dicontoh oleh prajurit-prajurit dan rakyat Pakistan.
“Ketika meninggalkan Karachi, kami dilepas dengan barisan kehormatan pula seperti saat kali pertama kami datang,” kenang Budi. Maka berakhirlah petualangan Korps Hiu Kencana ALRI di Pakistan.
Baca juga: