Lapisan abu vulkanis setebal 10 cm menutup lantai bata Situs Petirtaan Geneng di Brumbung, Kepung, Kediri. Tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur mulai menggali situs ini pada awal Juli 2020. Telah berabad lamanya petirtaan ini terkubur oleh aktivitas vulkanis Gunung Kelud yang berada di dekatnya.
"Termasuk bencana banjir yang menerjang membuat sebagian struktur bangunan pemandian suci itu runtuh," kata Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog BPCB Jawa Timur, dalam webinar "Bencana Alam dan Jejak Peradaban Abad 12-14 M" yang diadakan Teknik Geofisika ITS.
Di situs ini ditemukan bongkahan batuan andesit yang diduga terlontar dari perut Kelud. Dorongan dari dalam tanah telah merusak struktur gapura. Sepertinya situs ini memiliki gapura paduraksa yang beratap.
"Jelas akibat letusan Gunung Kelud, karena letaknya di Kecamatan Kepung, yang merupakan kecamatan terakhir, yang paling dekat dengan aktivitas vulkanis dari Gunung Kelud," kata Wicaksono.
Baca juga: Bencana Gunung Api Menghantui Majapahit
Di wilayah situs ini juga ditemukan dua prasasti. Prasasti Geneng I menyebut nama Geneng sebagai desa perdikan. Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Bameswara pada 1128 dari masa Kadiri. Sedangkan Prasasti Geneng II dikeluarkan oleh Tribhuwanattunggadewi pada 1329 juga tentang desa bebas pajak terkait keberadaan bangunan suci pemujaan. Selain prasasti, ditemukan pula arca Brahma, Dwarapala, dan yoni.
"Saya belum lihat literatur kenapa lokasi ini mendapat perhatian dari masa Kadiri maupun masa Majapahit," kata Wicaksono. "Tapi ini menunjukkan adanya kompleks percandian yang lebih luas, petirtaan yang kini ditemukan adalah bagian dari kompleks candi ini."
Situs Petirtaan Geneng diduga terpendam sebelum tahun 1800-an atau 1700-an. Wicaksono memperkirakan letusan hebat Gunung Kelud pada 1500-an yang merusak situs ini.
Pasalnya, situs ini masih tercatat dalam prasasti pada abad ke-14. Namun, keberadaannya tak muncul dalam catatan kolonial Inggris maupun Belanda. Padahal pernah terjadi letusan besar Gunung Kelud pada 1919.
"Bila ia tertimbun tahun ini, tak mungkin," ujar Wicaksono. "Ada catatan registrasi tinggalan kuno di Jawa oleh Belanda dan Gubernur Jenderal Raffles pada 1800-an. Kalau terpendam pada 1919 harusnya situs-situs ini masuk dalam catatan mereka."
Temuan Situs Petirtaan Geneng menambah deretan tempat pemujaan kuno yang dibangun di kaki Gunung Kelud. Pemujaan ini diyakini sebagai salah satu upaya meredakan amarah Kelud.
Berkawan dengan Bencana
Peradaban yang dibangun di sekeliling Gunung Kelud harus berdampingan dengan bancana yang ditimbulkannya.
Amien Widodo, peneliti Departemen Teknik Geofisika ITS, menjelaskan letusan Gunung Kelud sebelum tahun 1920 dikenal dengan letusan lumpur atau banjir bandang. Pemerintah Belanda sampai membangun terowongan, yang selesai tahun 1924, untuk mengurangi ketinggian air danau kawah.
"Sebelum itu kalau meletus dikenal dengan letusan lumpur atau banjir bandang," ujar Amien. "Sebelum meletus didahului banjir bandang. Peradaban masa lalu mereka berhadapan dengan hal-hal ini."
Baca juga: Bergelut dengan Gunung Kelud
Menurut Dwi Cahyono, dosen sejarah dan arkeolog dari Universitas Negeri Malang, dalam "Vulkano-Historis Kelud: Dinamika Hubungan Manusia-Gunung Api" yang terbit di Kalpataru (2012), masyarakat kuno melakukan pendekatan terhadap alam baik secara teknis maupun religi.
"Sebagai warga yang agamis, pendekatan terhadap alam dilakukan bukan semata dengan teknis-teknologi, namun juga dengan pendekatan religi sesuai dengan keyakinannya," tulis Dwi.
Aktivitas vulkanis Gunung Kelud tercatat rinci dalam Serat Pararaton. Naskah ini mencatat bencana gunung meletus yang pertama terjadi pada 1233 Saka (1311). Lalu peristiwa tumuli guntur – pabanyu – pindah i saka 1256 (gemuruh lahar dingin pada 1334). Peristiwa ini juga tercatat dalam Nagarakrtagama sebagai letusan yang menandai kelahiran Hayam Wuruk.
Baca juga: Pertanda dari Gunung
"Guntur bisa juga digunakan untuk menyebut banjir bandang yang membawa material vulkanis. Bukan hanya membanjiri, tetapi sekaligus menimbun area sekitarnya," tulis Dwi.
Selanjutnya peristiwa gunung baru pada 1298 Saka (1307). Gunung meletus lagi pada 1395, 1421, 1451, 1462, dan 1481.
Pararaton, Nagarakrtagama, dan naskah Tantu Panggeralan yang ditulis sekira abad ke-14, menyebut nama gunung itu Kampud.
"Kapan nama Kelud mulai digunakan tidak diketahui dengan pasti, harusnya terjadi sejak atau setelah abad ke-15 M," tulis Dwi.
Pendekatan Teknologi dan Religi
Berdasarkan Prasasti Harinjing B (921), masyarakat berupaya mengatasi aliran lahar dingin dari Gunung Kelud dengan membuat bendungan (dawuhan) dan sodetan pada Sungai Konto yang nama kunonya Bhagawanta.
Selain secara teknis, mereka juga mencoba meredam murka alam lewat pemujaan. Banyak peninggalan benda sakral sebagai tempat dan perangkat upacara keagamaan di lereng dan lembah Gunung Kelud, baik di wilayah Blitar maupun Kediri.
"Ini memberikan petunjuk bahwa salah satu pendekatan yang mereka lakukan dalam upaya meredam murka Kelud adalah dengan ritus religio-magis," tulis Dwi.
Gunung api ini dijadikan kiblat dari bangunan-bangunan suci yang berada di lereng dan lembah. Misalnya Candi Sawentar I dan II, Waringin Branjang, Sumbernanas, Sumberagung, dan Ndorok. Paling utama adalah Candi Palah atau Candi Panataran. Di puncaknya bersemayam dewa yang disebut Prasasti Palah (1197) sebagai Bhattara Palah.
"Candi Palah yang kini disebut Candi Panataran merupakan tempat pemujaan bagi Gunung Kelud," tulis Dwi.
Baca juga: Sesaji Sebelum Candi Berdiri
Dwi menyebut ada hubungan antara Kelud sebagai gunung api dengan Dewa Siwa sebagai dewa penghancur. "Justru lantaran sifatnya ini, pemujaan terhadap dewa yang bersemayam di puncak Kelud menjadi penting artinya, yakni agar manusia terhindar dari murka alam, dan sebaliknya mendapat berkah daripadanya," tulis Dwi.
Candi-candi itu memiliki fungsi khusus untuk memuja dewa tertentu sebagai dewa utama. Namun, dalam hal ini mereka mempunyai fungsi tambahan, yaitu memuja dewa di puncak Kelud.
"Mengingat sebagian besar warga Blitar dan Kediri timur sangat berkepentingan terhadap Gunung Kelud, baik berkah ataupun bencana," tulis Dwi.
Cara lama ini tak sepenuhnya ditinggalkan. Seperti tampak pada tradisi larung sesaji ke kawah Gunung Kelud.