Masuk Daftar
My Getplus

Bergelut dengan Kelud

Gunung Kelud kerap meletus. Beberapa upaya dilakukan untuk meminimalkan dampak letusan.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 14 Feb 2014
Penduduk mengamati Gunung Kelud setelah meletus pada 21 dan 22 Mei 1901. Foto: KITLV.

GUNUNG Kelud yang berada di Kediri dan Blitar, Jawa Timur, meletus pada Kamis malam, 13 Februari 2014. Lava pijar menyembur. Abu letusan tersebar hingga ke Jawa Tengah. Pemerintah menyeru penduduk sekitar Kelud agar mengungsi ke zona aman.

Bukti awal letusan Kelud tersua dalam Pararaton, kitab sastra yang bertutur tentang kerajaan di Jawa. Kelud meletus pada 1311, 1334, 1376, 1385, 1395, 1411, 1450, 1451, 1462, dan 1481. Ada korban jatuh, tapi jumlahnya tak pasti. Kitab itu hanya mencatat letusan sejauh bisa “menopang kepentingan dan kuasa keluarga kerajaan,“ tulis Neumann van Padang, “History of Volcanology in the East Indies”, termuat dalam Scripta Geology 71 tahun 1983.

Keterangan tentang letusan Kelud muncul lebih terang pada abad ke-19. Kelud beberapa kali meletus tanpa gejala pendahuluan. Lahar dan awan panas lekas muncul. Penduduk terlambat mengungsi. Desa-desa hancur.

Advertising
Advertising

Mengantisipasi bahaya letusan Kelud, penguasa kolonial menugaskan sejumlah vulkanolog ke Gunung Kelud. L Houwink, misalnya, beroleh tugas menyelidiki aktivitas Gunung Kelud pada awal Mei 1901. Houwink berpendapat ada kenaikan aktivitas vulkanik di sekitar danau kawah Gunung Kelud, gejala bakal muncul letusan.

Kelud pun meletus pada 21 dan 22 Mei 1901. “Lahar mengalir cepat ke kampung-kampung di Blitar,” tulis Neuwman van Padang.

Penduduk sudah berada di zona aman. Tapi kerusakan tak terelakkan. Hewan-hewan ikut jadi korban. “Banteng, babi hutan, macan tutul, dan harimau mati atau meninggalkan Gunung Kelud sebelum dan selama letusan,” tulis Peter Boomgaard dalam Frontiers of Fear.

Petaka berlanjut saat hujan mengalirkan sisa lahar dari danau kawah. Maka Houwink berpendapat Blitar hanya bisa aman kalau danau kawah itu hilang. Sebab, kawah itu menampung air dan saat gunung meletus, air itu bisa berubah jadi lahar panas.

Untuk mengurangi efek letusan, penguasa kolonial membangun bendungan di dekat percabangan antara Lahar Badak, Lahar Tomas, dan Lahar Blitar pada 1905. Lalu mereka menggali parit di bagian terendah lingkar barat Gunung Kelud pada 1907.

Vulkanolog juga memberi saran agar penguasa kolonial menggali terowongan di sekitar dinding danau kawah. Tujuannya agar kawah tetap kosong dari air. Penguasa menerima saran ini, tapi tak pernah mengeksekusinya sampai Kelud meletus lagi pada 19 Mei 1919. Jumlah korban tak tanggung-tanggung: lebih dari 5000 orang tewas. 

Sadar salah, penguasa lekas menggali terowongan pada September 1919. Keluar pula buku saku langkah penyelamatan dari letusan Kelud bagi para pejabat dan penduduk. Hasilnya tampak saat Gunung Kelud meletus lagi pada 31 Agustus 1951. Kerusakan kampung dan jumlah korban tewas berkurang drastis. Tapi letusan Kelud bikin kualitas terowongan menurun.

Kini letusan Kelud terjadi lagi.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Siapa Penembak Sisingamangaradja XII? Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Permina di Tangan Ibnu Sutowo Sudirman dan Bola Selintas Hubungan Iran dan Israel