Endapan lahar Gunung Kelud dari ratusan tahun lalu menjangkau 40 km lebih wilayah di sekitarnya. Tanah yang subur menjadi tandus. Candi, sarana kota, permukiman, semua porak poranda, terkubur material muntahan Sang Giri. Inilah yang terjadi pada pusat Kerajaan Majapahit di timur laut Kelud.
"Ini yang mengubur peradaban, yang sekarang ditemukan di beberapa tempat, di antaranya Situs Kedaton di Jombang, Sumberbeji di Jombang, dan Kumitir di Trowulan," kata Amien Widodo, peneliti Departemen Teknik Geofisika ITS, dalam webinar "Bencana Alam dan Jejak Peradaban Abad 12-14 M" yang diadakan Teknik Geofisika ITS.
Serat Pararaton mencatat bencana terjadi berkali-kali. Naskah yang ditulis pada masa akhir Majapahit itu menyebut gunung meletus pada 1233 Saka (1311), 1317 Saka (1395 M), 1343 Saka (1421 M), 1373 Saka (1451 M), 1384 Saka (1462 M), dan 1403 Saka (1481 M). Diikuti bencana lainnya, seperti gemuruh lahar dingin (guntur banyu pindah) pada 1256 Saka (1334 M) dan muncul Gunung Anyar (Baru) pada 1307 Saka (1385 M).
Baca juga: Pertanda dari Gunung Kelud
Letusan gunung pada 1343 Saka (1421 M) disusul kekurangan pangan pada 1348 Saka (1426 M). Gempa bumi (palindu) terjadi pada 1372 Saka (1450 M) sebelum gunung meletus pada 1373 Saka (1451 M).
"Banjir dan perpindahan meander (kelokan sungai di sepanjang alirannya, red.) Kali Brantas menjadi salah satu penyebab terkuburnya peradaban," kata Amien.
Menyeret Mundur Majapahit
Sejarah aktivitas Gunung Kelud sangat panjang. Gunung ini aktif sejak abad ke-10 hingga masa Majapahit, bahkan sampai sekarang.
Dalam Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi (2013), peneliti Badan Geologi Bandung, Akhmad Zaennudin, Sofyan Primulyana, dan Darwin Siregar, mengungkap bahwa letusan Gunung Kelud selama kurun waktu 1380–1420 menghasilkan endapan batuan vulkanik berupa endapan aliran piroklastik, jatuhan piroklastik, dan lahar yang menutupi wilayah di sekitar gunung api itu hingga lebih dari 40 km.
Mereka memilih empat lokasi endapan piroklastika yang terjadi masa Majapahit, yakni Gunung Pedot, Bambingan, Sepawon, dan Candi Tondowongso. Lokasinya berada pada sisi barat dan barat laut dari Gunung Kelud.
"Bukaan kawah sejak abad ke-10 sampai sekarang belum mengalami perubahan yaitu ke arah barat, sehingga wilayah barat daya, barat, dan barat laut merupakan daerah yang sangat parah terkena dampak letusan khususnya endapan," tulis laporan itu.
Baca juga: Bergelut dengan Gunung Kelud
Penelitian itu mengungkapkan bahwa lahar dari letusan dahsyat Gunung Kelud merusak dan mengubur peradaban Majapahit. Para petani tak bisa lagi menggunakan lahannya karena kekeringan. Bencana itu diduga turut menyeret Majapahit ke kemunduran.
"Semua fasilitas hancur tertimbun oleh endapan jatuhan piroklastika dan lahar, sehingga dapat melumpuhkan semua sendi-sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan kerajaan," tulis laporan itu.
Situs Terkubur Endapan Lahar
Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog BPCB Jawa Timur, menerangkan selama dua tahun terakhir situs-situs yang digali menunjukkan adanya aktivitas vulkanik pada abad ke-12–14. Tampak dari irisan lapisan tanah yang menimbun situs-situs itu.
Misalnya, di Situs Petirtaan Sumberbeji di Ngoro, Jombang, ditemukan pecahan porselen dari Dinasti Song. Namun, fragmen porselen dan uang kepeng dari Dinasti Yuan lebih dominan. Jadi, situs ini dari abad ke-13–14.
Pada irisan stratigrafi tanahnya terdapat lapisan pasir cukup padat dengan isian krikil dan krakal. "Ini muncul hanya di dinding galian bagian selatan. Lapisan ini sampai ke lantai. Ketika menggali, kami seperti mengupas cor-coran lantai," ujar Wicaksono.
Wicaksono mengajukan hipotesis bahwa Situs Sumberbeji bagian dari Situs Kedaton di Sugihwaras. Ia menduga, situs ini merupakan kawasan yang hampir mirip dengan kawasan Trowulan, ibu kota Majapahit. "Dalam catatan sejarah pernah terjadi perpindahan keraton. Hanya pada masa kapan, kenapa, dan bagaimana, butuh waktu untuk menjawab," kata Wicaksono.
Baca juga: Pertanda dari Gempa Bumi
Di Situs Kedaton dan Bulurejo, Jombang, juga ditemukan lapisan pasir dan isian krakal. "Malah bongkah. Ini karena proses sungai, larutan banjir dari Kelud yang terbawa aliran sungai," kata Wicaksono.
Di Situs Kedaton ditemukan pecahan porselen dari Dinasti Yuan dan Ming, fragmen tembikar kasar dan halus bergaya Majapahit, dan fragmen genteng dan ukel (hiasan pinggir atap rumah). Maka, Situs Kedaton dan Bulurejo diperkirakan kompleks situs permukiman atau kedaton Majapahit dari abad ke-13–14.
Endapan lapisan tanah serupa juga terindikasi di wilayah selatan dari Trowulan, yakni Situs Kumitir, Tikus, dan Grogol. Situs Kumitir di Jatirejo, Mojokerto, belum lama ditemukan. Saat ditemukan, situs ini tampak tidak signifikan. Situs ini awalnya hanya 10 meter, setelah penggalian dilanjutkan menjadi sepanjang 21 meter.
Peneliti mengaitkan temuan talud (tembok panjang) di Situs Kumitir dengan temuan yang sudah didata sejak 2017 hingga 2018. Mereka melakukan penggalian di situs ini pada akhir Oktober hingga awal November 2018. Ada sepanjang 187 meter struktur lurus yang tampak.
Baca juga: Perjalanan Ziarah Raja Majapahit
Situs Kumitir dihubungkan dengan naskah Nagarakrtagama, Pararaton, dan kitab Wargasari. "Raja Majapahit melewati Kumitir sebagai sisi timur dari Kotaraja Majapahit. Kami simpulkan ada candi pendharmaan di Kumitir milik Mahisa Campaka masa Singhasari, kemudian pada masa Majapahit di Trowulan ini dikembangkan menjadi sisi timur Majapahit," kata Wicaksono.
Situs Petirtaan Sumberbeji, Kedaton, dan Bulurejo, terpendam karena banjir lahar Kelud melalui sungai-sungai di sekitarnya, termasuk Sungai Konto. Sementara itu, Situs Kumitir terpendam oleh banjir lahar Arjuno yang diduga mengalir melalui Sungai Pikatan.
"Karena sungai ini cukup dekat dengan Kumitir atau mungkin karena erupsi Gunung Welirang, karena gunung ini juga pernah erupsi besar sampai membelah," ujar Wicaksono.
Yang terbaru adalah Situs Petirtaan Geneng di Brumbung, Kediri. Endapan vulkanik di situs itu jelas berasal dari letusan Gunung Kelud. Letaknya di Kepung, kecamatan terakhir yang paling dekat dengan aktivitas vulkanik dari Gunung Kelud.
"Erupsi Gunung Kelud cukup hebat beberapa kali terjadi, salah satunya beberapa kali pada 1500-an. Mungkin bisa terjadi di tahun-tahun itu untuk Situs Geneng," kata Wicaksono.
Baca juga: Letusan Gunung Tambora Musnahkan Dua Kerajaan
Amien Widodo menjelaskan keberadaan aliran Kali Brantas di sekitar permukiman membuat dampak kerusakan letusan Gunung Kelud semakin parah. "Lihat Kali Brantas, sungai besar dan panjang, alirannya deras. Jika ditambahi material gunung berapi ini bisa sangat merusak," ujar Amien.
Untuk mengantisipasinya, pemukim membuat dawuhan, yakni tanggul di sekitar Kali Brantas. Jika tidak, mereka akan hancur karena banjir.
"Kerajaan yang ada di sepanjang sungai mestinya sudah melakukan upaya pengolahan sungai agar tidak merusak," ujar Amien.
Letusan Gunung Kelud sebelum tahun 1920 dikenal dengan letusan lumpur atau banjir bandang. Sebelum tahun 1920 Gunung Kelud merupakan danau kawah. Pemerintah Hindia Belanda sampai membuat terowongan yang selesai pada 1924. Dengan terowongan itu, ketinggian air dapat dikurangi.
"Sebelum itu kalau meletus dikenal dengan letusan lumpur atau banjir bandang," ujar Amien. "Sebelum meletus didahului banjir bandang. Peradaban masa lalu mereka berhadapan dengan hal-hal ini."