PADA tahun saka memanah surya, dia lahir untuk menjadi narapati. Telah nampak tanda keluhurannya, bahkan selama dia ada dalam kandungan di Kahuripan. Saat dia lahir terjadilah gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh, dan halilintar yang menyambar-nyambar. Gunung Kampud pun bergemuruh, membunuh para durjana. Penjahat musnah dari negara.
Itulah tanda Batara Girinata menjelma bagai raja besar. Terbukti selama dia bertakhta, seluruh Jawa tunduk pada perintahnya.
Di balik kisah mitologis dalam Nagarakrtagama itu, Jawa memang berulang kali ditimpa gempa. Namun, bagi orang Jawa Kuno, bencana itu memiliki makna.
Slamet Muljana dalam Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya menerjemahkan peristiwa yang dicatat Mpu Prapanca dalam karya monumentalnya itu sebagai kisah kelahiran Raja Hayam Wuruk. Peristiwa alam yang terjadi ditafsirkan sebagai isyarat keluhuran sang bayi. Seperti gempa bumi di Banupindah, hujan abu diikuti guruh dan halilintar. Segala isyarat kebesaran itu terlaksana setelah baginda dewasa dan memegang tampuk kepemimpinan. Kerajaan aman dan tenteram, bebas dari kejahatan.
Slamet menerjemahkan kalimat tahun saka memanah surya sebagai petunjuk tahun terjadinya peristiwa yaitu pada 1256. Serat Pararaton juga memberitakan, setelah peristiwa Sadeng, terjadi gempa bumi di Banupindah pada 1256 Saka.
Baca juga: Sejarah gempa dan tsunami di Donggala Sulawesi Tengah
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, mengatakan dari dua sumber tadi bisa dibilang pada masa lalu gempa dimaknai sebagai pertanda alam. Dalam hal ini, gempa bumi di Banupindah bisa jadi akibat dari meletusnya Gunung Kampud, nama kuno dari Gunung Kelud. Peristiwa vulkanik Gunung Kelud itu dikaitkan dengan lahirnya dan prestasi yang akan dicapai Hayam Wuruk.
“Peristiwa vulkanis ini dimaknai sebagai ‘pertanda alam’ mengenai lahirnya seorang anak yang kelak menjadi narpati, nara (orang), pati (pemimpin). Artinya sang pemimpin,” ujar Dwi.
Gempa juga ditafsirkan sebagai pertanda turunnya takdir dewata. Pararaton mencatat gempa terjadi ketika Ken Angrok mendatangi Gunung Lejar. Di sana para dewa tengah berdiskusi.
“Lalu berbunyilah guntur disertai gempa bumi dan taufan serta hujan lebat terus menerus. Tampak pelangi di sebelah timur dan barat,” catat Pararaton.
Angrok mendengar suara ribut, ramai gemuruh. Para dewa itu membicarakan siapa yang pantas memimpin Pulau Jawa.
“Ketahuilah para dewa semua, adalah anakku, seorang manusia keturunan orang pangkur. Dialah yang akan memperkokoh Pulau Jawa,” kata Batara Guru.
Mitologi Gempa
Sementara itu, dalam mitologi Hindu, gempa terjadi akibat hewan-hewan penompang bumi berubah posisinya. Dwi berkisah, bumi dipercaya disangga oleh beberapa binatang mitologis: delapan ekor gajah raksasa yang berdiri di atas termpurung kura-kura, ular dengan tujuh kepalanya, babi hutan dengan gadingnya, dan lembu dengan tanduknya. Apabila di antara binatang mitologis itu berganti posisi, bumi yang ditopangnya akan bergoncang.
Sementara budaya Jawa sangat terpengaruh budaya India. Kestabilan dunia amat tergantung pada dua ekor naga yang menjadi penjaga dan penyangga bumi. Naga Ananta (Anantaboga) yang berada di dalam perut bumi, bertugas sebagai penjaga bumi. Naga Sesa (Ananta Sesa atau Adi Sessa) yang menyelam ke dasar laut (patala), bertugas menyangga pertiwi.
“Kedua naga inilah oleh orang Jawa acap disebut dengan nogo bumi,” kata Dwi.
Sekarang, orang Jawa menyebut gempa dengan lindu. Istilah ini sudah dipakai dalam bahasa Jawa Kuno maupun Jawa Tengahan, artinya bergetar, gempa bumi, lindu.
Baca juga: Sepuluh gempa dahsyat di Indonesia sepanjang abad 20
Kata itu dijumpai dalam berbagai sumber kesusastraan masa Hindu-Buddha. Misalnya Adiparwa, kakawin Arjunawiwaha, Bharatayuddha, Bhomakawya, Sumanasantaka dan Kidung Sunda. Berdasarkan waktu penulisan naskah itu, kata lindu paling tidak telah dipakai sejak abad ke-11 M.
“Kata kalindwan menunjuk pada kondisi tergoncang, terlanda gempa bumi. Istilah lindu dari bahasa Jawa ini pun diserap ke bahasa Indonesia, juga berarti gempa bumi. Bahasa Sunda kenal istilah lindu dan lindu gempa,” jelas Dwi.
Kata lindu juga digunakan sebagai perumpamaan untuk menggambarkan kondisi yang berguncang. Ia bersinonim dengan kata reg. Akar kata reg menunjuk kepada gerakan menghentak, atau getaran bahkan goncangan hebat.
“Mengingatkan pada istilah paregrek, perang besar yang terjadi pada akhir Majapahit antara Bhra Hyang Wisesa dan Bhra (Brhe) Wirabhumi yang diberitakan dalam Pararaton,” kata Dwi.
Gempa Pada Masa Lalu
Meski mitologis, penggambaran peristiwa ini bisa jadi petunjuk bahwa gempa vulkanis akibat aktivitas Gunung Kelud mungkin saja pernah benar-benar terjadi.
Menurut Dwi kerajaan-kerajaan yang beribukota di daerah Jawa Timur, seperti Kanjuruhan, Mataram setelah 929-1049 M, Pangjalu (Kadiri) dan Jenggala, Singhasari dan Majapahit, bukanlah tidak mungkin pernah terpapar gempa bumi. Paling tidak gempa vulkanis karena lokasinya tak jauh dari gunung berapi aktif seperti Semeru, Bromo, Kelud (Kampud), Welirang (Kumukus), dan Penanggungan (Pawitra).
Serat Pararaton memberitakan meletusnya gunung pada 1233 Saka (1311 M), gemuruh lahar dingin (guntur banyu pindah) pada 1256 Saka (1334 M), munculnya gunung anyar (baru) pada 1307 Saka (1385 M), gunung meletus pada 1317 Saka (1395 M), gunung meletus pada 1343 Saka (1421 M) disusul kekurangan pangan pada 1348 Saka (1426 Masehi), gempa bumi (palindu) pada 1372 Saka (1450 Masehi) disusul gunung meletus setahun kemudian, 1373 Saka (1451 M), gunung meletus pada 1384 Saka (1462 M), gunung lainnya meletus pada 1403 Saka (1481 M).
“Rentetan peristiwa vulkanik, baik berupa gunung meletus, lahar dingin, muncul gunung baru, dan gempa bumi yang diberitakan dalam Pararaton tersebut sangat mungkin berlangsung pada Gunung Kampud (Kelud),” ujar Dwi.
Nyatanya, gempa bumi yang tercatat dalam sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan Masa Hindu-Buddha kebanyakkan merupakan gempa vulkanik karena sebagian besar warga Jawa tinggal di pedalaman, bukan pesisiran.
“Bukan artinya gempa tektonik tak pernah terjadi pada masa lalu,” lanjut Dwi.
Baca juga: Gempa dan tsunami dahsyat menerjang Ambon
Pasca era Hindu-Buddha, peristiwa gempa di Jawa masih muncul dalam teks sastra. Jilid III Babad Betawi koleksi Pura Pakualaman mengisahkan gempa lantaran erupsi Gunung Merapi di Yogyakata. Gunung Merapi menyemburkan api yang dahsyat. Siang-malam bumi berguncang dan dihujani api. Kilat tak henti-hentinya menyambar. Seluruh warga lereng Merapi berusaha menyelamatkan diri.
Gempa berikutnya terjadi pada 1867 sebagaimana diberitakan Babad Pakualaman karya permaisuri Paku Alam VI, Gusti Kanjeng Raden Ayu Adipati Paku Alam atau Siti Jaleka. Gempa berlangsung sekitar dua menit, menyebabkan tanah berjungkat, bagai diayun-ayun, bergetar bergoyang bagai hendak dicabut. Bumi dan langit seperti hendak menelungkup. Suara gemuruh di puncak gunung amat mengerikan. Ombak laut pun menjadi besar “kocak-kocak” hingga air dan ikannya terangkat ke daratan.
Akibatnya, Kotagede dan Makam Imogiri mengalami kerusakan parah. Pendapa Pakualaman roboh. Beberapa bangunan dalam Beteng Keraton Yogyakarta juga runtuh.
“Peritiwa kegempaan yang dicatat dalam Babad Pakualaman itu memberitakan dengan cukup rinci jalannya peristiwa beserta paparan dampak gempa yang terjadi di Yogyakarta pada waktu subuh,” kata Dwi.
Baca juga: Tujuh gempa Lombok dalam catatan sejarah
Karya itu juga menyebut gempa di Bantul yang mirip dengan gempa di Yogyakarta pada 2006. Bedanya, dalam babad korban tewas sebanyak 1.000 jiwa.
Gubernur Jenderal Belanda di Semarang mengirimkan bantuan. Rakyat kemudian dianjurkan membangun rumahnya menggunakan atap daun tebu yang sudah kering atau alang-alang.
“Tak terbantahkan bahwa catatan kuno itu merupakan catatan sejarah yang sangat berharga, bukan khayalan, bukan mitos,” tegas Dwi.