KESUKSESAN single “Beat It” ternyata belum membuat Michael Jackson benar-benar puas. Ia pun menyempurnakannya dengan video klip yang berbeda.
Namun, untuk mendapatkan video klip yang diinginkannya ternyata ongkosnya sekira 150 ribu dolar. Alhasil Jackson mesti berkorban.
“Video musik ‘Beat It’, seperti juga (lagu) ‘Thriller’, cenderung ibarat film pendek ketimbang video lagu biasa. Perusahaan rekaman Jackson, CBS (yang menaungi label Epic), menolak menanggung biaya videonya saat itu jadi Jackson mesti menalangi seluruh ongkos produksi dari koceknya sendiri,” tulis Emmet George Price dalam Encyclopedia of African American Music.
Berdurasi 4 menit 59 detik video klip itu digarap sutradara Bob Giraldi dibantu Ralph Cohen, Antony Payne, dan Mary M. Ensign dari rumah produksi GASP. Produksinya dilakukan pada 9-10 Maret 1983 di kawasan Skid Row di Los Angeles.
Baca juga: Eddie Van Halen di Balik Hit Michael Jackson
Banyak pihak menilai video klip itu terinspirasi dari musikal Broadway, West Side Story (1957). Namun Giraldi menguraikan bahwa konsep dan adegan-adegannya justru terinspirasi dari kehidupan gelap jalanan di lingkungan sang sutradara tumbuh di Paterson, New Jersey.
“Konsepnya berangkat dari sebuah cerita yang saya dengar saat masih jadi pekerja pabrik di suatu musim panas. Seorang bocah jagoan dari Jersey mengisahkan pada saya bahwa ia menyaksikan dua orang yang (satu) lengannya saling terikat dan (satu tangannya lagi) memegang pisau lipat dan hanya satu yang kembali hidup-hidup walau keadaannya terluka. Video musik ini terinspirasi dari fabel kecil itu. Michael menyukai ide saya,” kenang Giraldi saat diwawancara Kevin Ritchie di kolom , “Q&A: Bob Giraldi on Directing ‘Beat It’”, 7 Juli 2009.
Video klip ala film pendek itu diracik dengan sejumlah adegan build-up menjelang dua kelompok gangster hendak saling serang. Duel diawali dengan dua pemimpinnya saling mengikatkan tali di masing-masing satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam pisau lipat.
Adegan itu diiringi irama nge-beat, lalu Jackson yang berjaket kulit merah muncul dengan gerakan-gerakan khas tarian “Moonwalk”-nya. Secara serempak dan sinkron, kedua geng itu larut ikut menari dan melupakan perseteruan mereka.
Baca juga: Mahakarya Sang Trubadur Legendaris
Dari 102 aktor figuran penari latar yang ikut serta, 80 di antaranya adalah gangster sungguhan. Jackson sendiri yang sedari awal ingin mengikutsertakan para anggota dari dua geng yang jadi musuh bebuyutan di Los Angeles, The Crips dan The Bloods. Tujuannya adalah untuk menginisiasi perdamaian di antara keduanya dan mengkampanyekan bahwa kekerasan bukanlah solusi terbaik.
“Bagi saya ide Michael Jackson itu gila. Jika Anda melihat videonya, Anda akan melihat gangster yang tampak nyata karena mereka sesungguhnya para anggota gangster,” lanjut Giraldi.
Jackson dibantu skuad anti-gangster Kepolisian Los Angeles (LAPD) membujuk kedua geng itu untuk bisa saling akur dalam dua hari produksi video klip “Beat It”. Ke-80 anggota geng itu lalu dilatih jadi penari latar oleh koreografer Michael Peters dan Vincent Paterson.
“Michael selalu memikirkan perdamaian. Baginya hal ini jadi tindakan yang cerdas dan toleran. Tentunya dengan dikawal para anggota kepolisian. Saya sendiri tidak menyukai ide ini karena menyutradarai para aktor dan penari profesional saja sudah sulit apalagi anggota gang,” tambahnya.
Untuk melatih para gangster yang tak punya kemampuan dasar menari itu, Peters dan Paterson mengawalinya dengan meminta mereka membentuk lingkaran guna menyaksikan peragaan koreo Peters dan Paterson di tengah lingkaran. Saat para penari profesional lain ikut gerakan Peters dan Paterson, berangsur-angsur para gangster itu larut dalam dentuman musik lalu meniru dua koreografer dan para penari profesional tadi.
Namun bukan di situ tantangannya. Di hari pertama saja, sudah terjadi insiden hingga memaksa pihak kepolisian nyaris membatalkan proses syutingnya.
“Kelompok Crips dan Bloods memulai (syuting) dengan situasi saling tegang. Mereka musuh bebuyutan dan kami mengalami beberapa insiden sampai dua polisi datang dan ingin membubarkan syutingnya. Tapi saya punya feeling bahwa iringan musik akan meredakan segalanya. Saat Michael Jackson datang, segala perseteruan dan dendam kesumat reda untuk sesaat,” tukas Giraldi.
Baca juga: Konser Bon Jovi di Ancol Rusuh
Proses syuting selama dua hari itupun akhirnya berjalan lancar tanpa insiden lebih lanjut. Video klipnya kemudian diputar pertamakali di MTV setelah diancam CBS lantaran sebelumnya MTV tak pernah berkenan memutar video klip dari musisi kulit hitam.
“Departemen pemasaran dan riset MTV punya kesimpulan bahwa anak-anak kulit putih di pinggiran kota tidak suka musik (musisi) kulit hitam dan mungkin terintimidasi oleh orang-orang kulit hitam. Stasiun TV kabel itu sebelumnya sudah menolak pengajuan (video musik) ‘Billie Jean’. CBS lalu mengancam akan menarik semua videonya dari MTV kecuali jika mereka mau menayangkan ‘Beat It’,” tulis John Randall Taraborelli dalam Michael Jackson: The Magic, The Madness, The Whole Story, 1958-2009.
MTV pun manut dan perdana menayangkan “Beat It” pada 31 Maret 1983. Video klip itu pun jadi penembus sekat rasial di belantika musik dan hiburan Hollywood sebagai video musik dari musisi Afro-America pertama yang tayang di MTV. Tak ingin ketinggalan, berturut-turut stasiun televisi BET, WTBS, dan NBC menyusul menayangkannya.
Pada 1984, video klip "Beat It" ramai diafirmasi sejumlah pihak. Sedikit bukti sahihnya adalah raihan anugerah American Music Awards pada 1984 untuk kategori video pop/rock terfavorit dan kategori video soul terfavorit.
“Tak lama setelah rilis, lagu dan video musik ‘Beat It’ dijadikan sebagai kampanye anti-berkendara dalam keadaan mabuk oleh National Highway Safety Commission. Jackson juga mendapatkan penghargaan dari Presiden Ronald Reagan di Gedung Putih sebagai pengakuan atas dukungannya terhadap kampanye tesebut. ‘Beat It’ dianggap paling sukses dan diakui, di mana lagu dan video musiknya memberikan dampak besar terhadap pop culture,” tandas François Allard dan Richard Lecocq dalam Michael Jackson: The Story Behind Every Track.
Baca juga: Aretha Franklin dan Hegemoni Maskulinitas Musik Rock