Masuk Daftar
My Getplus

Aretha Franklin dan Hegemoni Maskulinitas Musik Rock

Dijuluki ratunya musik soul, Aretha Franklin membuka gerbang bagi musisi perempuan untuk diakui dalam Rock & Roll Hall of Fame.

Oleh: Randy Wirayudha | 02 Jan 2024
Aretha Louis Franklin, ratu musik soul yang masuk dalam Rock & Roll Hall of Fame 1987 (rockhall.com)

MUSIK rock kondang sebagai musik pemberontak yang maskulin. Akan tetapi hari ini, 3 Januari 37 tahun lampau, si ratu musik soul Aretha Franklin mendobrak hegemoninya. Ia berhasil jadi musisi perempuan pertama yang namanya diabadikan dalam Rock & Roll Hall of Fame.

Sebagaimana banyak musisi perempuan Afro-Amerika legendaris, sosok kelahiran Memphis, Tennessee pada 25 Maret 1942 itu memulai kariernya dengan lagu-lagu gereja. Namanya mulai naik daun lewat sejumlah hits lintas genre (soul, R&B, jazz, pop, rock) sejak 1960-an lewat tembang-tembang “Respect”, “I Never Loved a Man (The Way I Love You)”, “A Natural Woman”, dan “I Say a Little Prayer”.

Aretha yang telah wafat di usia 76 tahun pada 2018 lalu juga bukan sekadar legenda. Musik-musiknya memberi dampak yang besar bagi banyak kalangan aktivis HAM. Ia banyak mengombinasikan musik dengan isu-isu politik dan sosial. Menyuarakan isu-isu komunitas kulit hitam, perempuan, dan kaum minoritas ke dalam karya-karyanya. Tembang bertajuk “Respect” yang dirilis pada 1967, misalnya.

Advertising
Advertising

“(Lagu) itu merefleksikan kebutuhan akan sebuah bangsa, kebutuhan akan laki-laki dan perempuan biasa di jalanan, para pebisnis, para ibu, para petugas damkar, para guru, yang menginginkan rasa hormat. Jadi lagu itu mengambil signifikansi yang monumental,” kenang Aretha dalam memoar terbitan 1999 yang ditulisnya bersama David Ritz, From These Roots.

Baca juga: Jejak-jejak Peranakan dalam Alunan Sejarah Jazz

Itu satu di antara beberapa faktor penting yang akhirnya membuat nama Aretha diabadikan sebagai musisi perempuan pertama dalam daftar Rock & Roll Hall of Fame pada 3 Januari 1987. Sebelumnya Rock & Roll Hall of Fame belum pernah “memberi tempat” untuk musisi perempuan, hingga sempat beberapa kali dikritik sebagai organisasi chauvinis.

Akan tetapi, seperti yang diungkapkan Heather Lehr Wagner dalam Aretha Franklin: Singer, Aretha tak menghadiri langsung penganugerahannya di Cleveland, Ohio karena ia punya fobia berperjalanan udara. Alhasil penganugerahannya diwakili oleh saudaranya, Cecil Franklin, dan produser Clive Davis.

“Menjadi perempuan pertama yang ada di Rock & Roll Hall of Fame adalah momen bersejarah dan tentunya menjadi milestone dalam karier saya. Apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya dan dengan bangga saya menerima dan mengambil tempat di Rock & Roll Hall of Fame,” demikian bunyi potongan pesan Aretha yang dibacakan Davis.

Clive Jay Davis membacakan pesan Aretha Franklin pada anugerah Rock & Roll Hall of Fame 1987 (rockhall.com)

Davis pun menutup penganugerahan itu dengan menyampaikan kesan-kesannya bekerjasama dengan Aretha.

“Bekerja bersama Aretha menjadi bagian dari sejarah tersendiri bagi saya. Pengalaman yang berbeda dari yang lainnya. Ia adalah Ratu (musik) Soul. Dia adalah Ratu Musik,” ujarnya.

Baca juga: Eddie van Halen dan Teknik Tapping yang Manjakan Kuping

Sekilas Perempuan di Kancah Musik Rock

Aretha membuka lebih lebar pintu gerbang bagi apresiasi terhadap musisi perempuan di industri musik rock. Setelah Aretha masuk Rock & Roll Hall of Fame, setidaknya sudah lebih dari 60 musisi perempuan lain yang mengikuti jejaknya.

Setelah Aretha, yang turut didaulat ke dalam Rock & Roll Hall of Fame adalah (grup) The Supremes pada 1988, Tina Turner pada 1991, Janis Joplin pada 1995, Joni Mitchell pada 1997, Madonna pada 2008, Joan Jett pada 2015, Janet Jackson pada 2019, Whitney Houston pada 2020, serta Sheryl Crow dan Missy Elliott pada 2023. Padahal perempuan, baik sebagai solois maupun vokalis grup/band, juga sudah ikut “memberontak” lewat musik rock pada 1950-an dan 1960-an.

“Pemberontakan musik rock mayoritas merupakan pemberontakan laki-laki; padahal perempuan, utamanya cewek remaja pada 1950-an dan 1960-an seringkali menyanyikan lagu-lagu (rock) sebagai persona terhadap pacar mereka yang macho. Meskipun ada banyak musisi rock perempuan di akhir 1960-an, mereka tetap sekadar dilabeli ‘penyanyi’, sebuah posisi feminin dalam musik populer,” tulis Philip Auslander dalam artikelnya, “I Wanna Be Your Man: Suzi Quatro’s Musical Androgyny” dalam jurnal Popular Music, Volume 23 (2004).

Baca juga: Dara Puspita, The Beatles Perempuan

Band The Pleasure Seekers (kiri) & Dara Puspita (quatrorock.com/Aktuil 1967)

Dalam perkembangannya, rocker perempuan memang mulai bermunculan via grup band pada 1960-an meski tetap dipengaruhi booming jazz. Seperti Goldie & the Gingerbreads yang merupakan band rock perempuan pertama yang bernaung di bawah label, Suzi Quatro di band The Pleasure Seekers, hingga Dara Puspita asal Indonesia yang berisikan Titiek Adji Rachman (gitar), Susy Nander (drum), Lies Adji Rachman (gitar rhythm), dan Titiek Hamzah (bass).

Seiring perkembangan musik rock, para lady rocker itu juga terpengaruh aliran musik lain dalam karya-karya rock mereka. Seperti Janis Joplin, The Slits, The Raincoats, Mo-dettes, Dolly Mixture, dan The Innocents pada 1970-an yang musiknya berbau punk; The Go-Go’s, Headgirl, Phantom Blue, Heart, dan The Deadly Nightshade dengan pengaruh heavy metal di 1980-an; hingga Bonnie Raitt, Tina Weymouth, The Bangles, Hole, Babes in Toyland, Super Heroines, dan Riot Grrrl dengan lebih banyak pengaruh punk hingga pop pada 1990-an dan 2000-an.

Ada pula lady rocker yang tetap mencuat dan bahkan jadi leader di band campuran. Di antaranya Shirley Manson (Garbage), Amy Lee (Evanescence), dan Hayley Williams (Paramore).

Baca juga: Freddie Mercury yang Tiada Dua

Searah jarum jam: Whitney Houston, Tina Turner, Joan Jett, Janis Joplin (rockhall.com)

Sementara, mereka yang lebih sering dijuluki “ratu rock” sebagai solois sejak 1960-an hingga 2000-an antara lain Catherine Destivelle, Joan Jett, Lillian Briggs, Carole King, Madonna, Linda Rondstadt, Avril Lavigne, hingga Ella asal Malaysia.

Di Indonesia, lady rocker bermunculan seiring berkembangnya industri musik rock. Nama-nama seperti Reny Jayusman, Nicky Astria, Mel Shandy, hingga Inka Christie cukup populer pada dekade 1980-an hingga 1990-an.

Namun, dari nama-nama di atas, mungkin nama Madonna yang paling dikenal seantero jagat sebagai “ratu rock” 1990-an dan 2000-an. Menurut Rock & Roll Hall of Fame, Madonnalah sosok yang mampu menggebrak lebih luas batasan gender dalam industri musik rock. Tak ayal namanya turut masuk dalam daftar itu pada 2008.

“Tahun itu, 2008, juga menandai 25 tahun debut album dalam kariernya. Di lingkaran para rocker, Madonna selalu dianggap seorang bintang pop. Dari 156 individu atau grup yang dianugerahi sejak 1986, baru 16 musisi perempuan, solo maupun grup. Tetapi tempat Madonna dalam sejarah musik tak terbantahkan lagi dan karya-karyanya tak bisa lagi diabaikan,” tukas Mary Gabriel dalam Madonna: A Rebel Life.

Baca juga: Lagu Nangke Lande Punye Cerite

Madonna Louise Ciccone yang didapuk masuk Rock & Roll Hall of Fame pada 2008 (rockhall.com)

TAG

sejarah musik musik musisi rock

ARTIKEL TERKAIT

Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Apotek yang Melahirkan Band Rock Legendaris Indonesia Berkah Ditolak Jadi Tentara Yok Koeswoyo Bicara Sukarno Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus Moonlight Sonata dan Kisah Cinta Tak Sampai Ludwig van Beethoven Muslim Penting dalam Musik Pop Kisah di Balik Alat Musik Kesayangan Squidward Sebelum Ahmad Albar Sukses di Indonesia