SEKALI waktu, Mangil Martowidjojo, ajudan pribadi Presiden Sukarno, diminta presiden mencari seorang tukang cukur bernama Pak Azis. Waktu itu, sekira tahun 1950, Mangil baru datang dari Yogyakarta untuk bertugas sebagai pasukan polisi pengawal pribadi Bung Karno, cikal-bakal Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Mangil agak kesulitan mencari Pak Azis karena alamatnya tidak diketahui. Sejak ibukota pindah ke Yogyakarta di masa perang, Bung Karno tidak pernah lagi dicukur Pak Azis. Bung Karno hanya memberi petunjuk terbatas.
“Orangnya sudah tua dan dulu badannya agak kurus,” kata Bung Karno merujuk Pak Azis.
Petunjuk itu nyatanya tidak cukup membantu Mangil menemukan Pak Azis dengan lekas. Walhasil, Mangil mengubek-ubek setiap rumah di Jakarta yang bertuliskan “tukang cukur”. Mujur bagi Mangil tiba setelah salah seorang tukang cukur di bilangan Cikini mengetahui alamat Pak Azis tukang cukur, yakni dekat perkuburan Menteng Pulo.
“Jadi kalau Bung Karno mau cukur, seminggu sebelumnya saya sudah harus memberi tahu Pak Azis,” kenang Mangil dalam memoarnya Kesaksian tentang Bung Karno 1945—1967.
Baca juga: Mengukur Sejarah Tukang Cukur
Nama lengkapnya Haji Abdul Azis. Namun, warga sekitar tempatnya tinggal di kawasan Menteng Rawa Panjang lebih mengenalnya sebagai Pak Azis. Menurut keterangan Pak Azis, dalam Majalah Minggu Pagi, 4 April 1954, dia lahir di Kuningan, Jakarta pada 1895. Pak Azis punya anak sejumlah 15 orang, namun yang hidup sampai dewasa hanya lima orang saja.
Bagi warga Menteng Rawa Panjang, Pak Azis terbilang orang beken. Bagaimana tidak, saban sepuluh hari sekali Pak Azis dijemput dengan mobil oleh rombongan pasukan pengawal presiden ke Istana Merdeka. Tujuan penjemputan apalagi kalau bukan untuk mencukur rambut Bung Karno. Hingga Pak Azis menjadi tukang cukur pribadi presiden, tentulah Pak Azis punya pengalaman dan jam terbang tinggi sebagai tukang cukur. Namun, Pak Azis justru mengawali kariernya bukan sebagai tukang cukur.
“Saya sendiri pernah jadi sopir, kurang lebih 8 tahun setelah saya menjadi penduduk kota. Kalau tidak salah dalam tahun 1921,” terang Pak Azis dalam Minggu Pagi.
Baca juga: Arief Sopir Bung Karno
Berhenti jadi sopir, Pak Azis mulai belajar mencukur. Tapi, dia tidak segera alih profesi menjadi pencukur. Selama dua tahun, antara 1926-1928, Pak Azis bekerja di bengkel General Motor sebagai tukang perbaiki jok dan kap mobil. Baru setelah meninggalkan bengkel, Pak Azis membuka usaha cukur di Pecenongan. Dinamakannya tempat usahanya itu “Coiffeur Aziz”, diambil dari bahasa Prancis, yang berarti “Tukang Pangkas Rambut Azis”.
Pak Azis punya tangan yang terampil dalam mencukur. Bisnisnya berkembang. Sewaktu pindah ke Bandung dia juga membuka usaha cukur yang berlangsung selama dua tahun (1930-1932). Dari Bandung, Pak Azis kembali ke Jakarta dan usaha cukur rambutnya pindah ke daerah Cideng sampai zaman pendudukan Jepang.
Di zaman Jepang, Pak Azis menutup usahanya. Tapi, dia tetap bekerja sebagai pencukur rambut di tempat usaha cukur orang lain. Nama tempat cukur itu “Nagasaki”, terletak di Jl. Segara (sekarang Jl. Veteran). Nagasaki kemungkinan milik orang Jepang, karena di sana banyak pembesar-pembesar Jepang yang datang berkunjung untuk mencukur rambut. Di tempat cukur Nagasaki inilah Pak Azis kali pertama berkenalan dengan Bung Karno. Di Nagasaki, Bung Karno cukup sering datang untuk cukur rambut. Dan setiap kunjungan itu, Bung Karno selalu langganan dicukur oleh Pak Azis. Saat itu, Bung Karno sudah berkedudukan sebagai salah satu ketua Pusat Tenaga Rakyat (Putera), organisasi bentukan pemerintah militer Jepang.
Baca juga: Kisah D.N. Aidit di Putera
Pada 1943, Pak Azis meninggalkan Jakarta dan pindah ke Purwakarta. Pekerjaan tukang cukur ditinggalkannya untuk rehat sebentar sambil bertani jeruk. Tangan Pak Azis sepertinya memang berjodoh dengan rambut dan kepala orang. Setelah Indonesia merdeka, Pak Azis kembali ke Jakarta menekuni kembali usaha cukur. Pun demikian dengan Bung Karno yang selalu datang berkunjung ke tempat Pak Azis untuk dicukur. Lambat laun, Bung Karno dan Pak Azis bergaul karib layaknya sepasang kawan dekat. Kadang-kadang, Bung Karno datang ke rumah Pak Azis untuk mengail ikan di empang Pak Azis.
Kedekatan Pak Azis dengan Bung Karno rupanya jadi bidikan pemerintah Belanda (NICA) yang sudah kembali ke Indonesia. Belanda mencap Bung Karno sebagai kolaborator Jepang, dan orang-orang yang dekat dengan Sukarno dicurigai. Sewaktu tentara Belanda menduduki Jakarta, kampung Pak Azis di Kuningan turut menjadi sasaran pembersihan. Rumah Pak Azis digeledah sebab namanya masuk daftar hitam orang yang dicurigai. Intimidasi itu rupanya menyebabkan istri Pak Azis syok dan jatuh sakit sampai meninggal.
“Ia meninggal karena rasa takutnya meluap-luap hingga melampaui batas-batas yang maksimal,” terang Pak Azis menjelaskan sebab wafatnya istrinya, dikutip Minggu Pagi.
Baca juga: Kisah Sedih Sang Gubernur
Situasi Jakarta yang tidak kondusif, mendorong pemerintah untuk hijrah ke Yogyakarta. Bung Karno pindah ke Yogyakarta sementara Pak Azis tetap tinggal di Jakarta. Keduanya bersua kembali setelah perang usai. Tiga hari setelah Bung Karno dilantik sebagai presiden Republik Indonesia Serikat (RIS), Pak Azis mendapat panggilan ke Istana Merdeka. Sejak saat itulah Pak Azis resmi menjadi tukang cukur pribadi Presiden Sukarno.
Semenjak bertugas di Istana, Pak Azis dibekali alat cukur yang baru. Alat-alat itu disimpan di Istana dan khusus dipergunakan hanya untuk Presiden Sukarno dan kedua putranya, yaitu Guntur dan Guruh. Untuk pekerjaan itu, Pak Azis datang berkala ke Istana tiga kali sebulan.
Meski bekerja di Istana, Pak Azis bukanlah pegawai negeri. Upahnya berasal dari kantong pribadi Presiden Sukarno. Biasanya Pak Azis menerima 100 rupiah tiap bulan atas jasanya mencukur rambut Bung Karno. Kadang-kadang lebih dari itu. Yang jelas, pendapatannya di atas rata-rata penghasilan tukang cukur pada umumnya. Jadi, untuk ukuran tukang cukur, Pak Azis terbilang mapan secara ekonomi. Kendati demikian, Pak Azis tak sungkan meminta kepada Ibu Negara Fatmawati bila perlu membeli sesuatu, seperti kain sarung, baju, dan lain-lain. Ini boleh jadi privilese bagi Pak Azis selaku tukang cukur rambut presiden dan keluarganya.
Baca juga: Membesuk Sejarah Rumah Sakit Fatmawati
Bung Karno sendiri merasa kerasan bila kepalanya dipegang oleh Pak Azis. Selain karena kemampuan cukurnya, Bung Karno percaya pada loyalitas Pak Azis. Sebab, di luar negeri, tukang cukur pembesar negeri bisa diperalat lawan politik sebagai mata-mata atau suruhan untuk mencelakai. Kinerja Pak Azis membuktikan bahwa dirinya merupakan pilihan tak tergantikan urusan cukur-mencukur rambut Bung Karno.
Pernah sekali waktu di akhir Juli 1953, Pak Aziz izin cuti tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. Hampir-hampir Bung Karno enggan melepas Pak Azis ke Mekah. Pak Azis baru dibolehkan berangkat setelah mencarikan tukang cukur darurat pengganti dirinya. Syarat dari Bung Karno, pencukur pengganti itu harus punya kemampuan cukur setara Pak Azis dan dapat dipercaya.
Selesai mencarikan penggantinya untuk sementara, Pak Azis kemudian dibekali paspor khusus dari Istana. Pada kolom pekerjaan di paspor atas nama Abdul Azis itu bertuliskan: “tukang cukur pribadi presiden RI”. Selain itu, Pak Azis menjadi salah satu orang yang diperkenankan keluar-masuk Istana Negara sembarang Waktu. Berbeda halnya dengan wartawan Istana sekalipun, yang mesti mendapat izin lebih dulu dari ajudan presiden, yaitu Mayor Sugandhi, baru bisa meliput masuk Istana.
Baca juga: Martin Aleida, Sang Peliput Istana
Kali lain, Bung Karno yang berkunjung ke luar negeri. Karena biasanya bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, rambut Bung Karno yang terus tumbuh terpaksa dicukur di negara yang sedang dikunjunginya. Bung Karno rupanya kurang puas dengan potongan tukang cukur di luar negeri. Biar kata tukang cukur itu punya nama di luar negeri, Bung Karno tetap lebih sreg bila dicukur Pak Azis. Sekembalinya ke Jakarta, Bung Karno buru-buru meminta agar Pak Azis dipanggil ke Istana supaya memperbaiki potongan rambutnya.
Dalam bahasa anekdot, Pak Azis adalah orang yang lebih berkuasa dari Presiden Sukarno. Sebagai tukang cukur pribadi, hanya Pak Azis yang berani dan bebas memegang kepala Bung Karno. Kalau disuruhnya menoleh, menunduk, atau miring ke kiri dan kanan, maka Bung Karno mesti turut. Bila tidak, siap-siaplah rambut Presiden RI pertama itu salah potong atau kepalanya jadi pitak. Potongan rambut ala Pak Azis sedikitnya berperan menunjang penampilan Bung Karno. Dalam setiap momen, Bung Karno acapkali terlihat gagah dan berwibawa.
Pak Azis sendiri mengaku sama sekali tiada gemetar kala mencukur kepala Bung Karno. Berpuluh-puluh tahun jadi tukang cukur, Pak Azis sudah terbiasa dengan kepala berbagai macam manusia. Tak berbilang kepala yang sudah dicukurnya, entah ribuan kepala yang sudah dicukur Pak Azis sepanjang kariernya sebagai tukang cukur.
“Demi kecintaan saya kepada Presiden dan pengalaman saya bertahun-tahun memotong rambut Presiden, saya tidak punya rasa takut dan rasa lain-lain menghadapi Presiden kita itu,” kata Pak Azis dikutip Berita Minggu, 11 November 1960.
Baca juga: Bung Karno dan Para Pelayannya
Bung Karno boleh jadi punya banyak istri, tapi tukang cukur rambutnya ya hanya satu: Pak Azis. Hingga di saat-saat terakhir Bung Karno, Pak Azis masih setia melayani. Apalagi setelah Bung Karno lengser dan jadi tahanan rumah, banyak orang-orang dekatnya yang menjauh. Kalau bukan menjauh karena dipenjara, ya menjauh karena tidak lagi menguntungkan bersama Bung Karno. Di usianya yang memasuki sepuh, Pak Azis tetap meringankan langkah datang ke rumah penahanan Bung Karno di Wisma Yaso untuk mencukur.
Dalam Detik-detik Kematian Bung Karno: Catatan Perawatan yang Hilang, Pak Azis tercatat dua kali mengunjungi Bung Karno Wisma Yaso. Pada 18 April 1969, Pak Azis dijemput Letnan Satu Djodi untuk mencukur Bung Karno pukul 10.00 pagi. Terakhir, pada 18 Desember 1969, Pak Azis datang lagi untuk mencukur. Saat itu kondisi Bung Karno kian menurun, tekanan darahnya mencapai 175/90.
Hari berganti hari, pekan berganti pekan, bulan juga terus berganti. Kondisi kesehatan Bung Karno terus memburuk. Statusnya sebagai tahanan rumah tetap melekat. Orang-orang yang boleh mengunjunginya pun terbatas pada lingkungan keluarga. Setelah Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, Pak Azis tak lagi mencukur rambut presiden RI yang pertama itu untuk selamanya.
Baca juga: Sesaat Setelah Bung Karno Wafat