Ibu Fatwamati, istri Presiden Sukarno dalam tugasnya sebagai ibu negara sering blusukan ke tengah masyarakat. Biasanya, Bu Fat – sapaan akrab Fatmawati – mengunjungi permukiman kumuh di kawasan pinggiran Jakarta. Di beberapa kampung yang sanitasi udaranya buruk, Bu Fat menyaksikan betapa banyak anak-anak terserang penyakit paru. Ibu Fat prihatin. Dia pun teringat pada ayahnya, Hasan Din yang juga penderita asma.
“Ibu lihat banyak anak terserang TBC. Saat itulah terpikir oleh Ibu, alangkah membantunya jika ada rumah sakit khusus untuk anak-anak penderita TBC,” ujar Satyagraha, Pemimpin Redaksi Berita Minggu kepada Kadjat Adra’i dalam Suka Duka Fatmawati Sukarno.
Kepada sejumlah ibu yang merupakan koleganya, Bu Fat mengutarakan niatan membangun sanatorium khusus anak-anak. Gagasan simpatik itu menuai banyak dukungan. Pada 30 Oktober 1953, Bu Fat menggelar penggalangan dana di Istana Negara dengan melelang peci dan pakaian Bung Karno. Terkumpulah pundi-pundi sebesar Rp. 250.000 sebagai modal awal pendirian Yayasan Ibu Sukarno. Donasi datang silih berganti hingga pada akhir tahun sudah mencapai 28 juta rupiah.
Setelah yayasan terbentuk, dicarilah lokasi yang pas untuk kebutuhan pasien. Pilihan jatuh ke sebidang tanah seluas 44 Ha di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Hawa di sana segar karena udara masih bersih. Untuk mendapatkan lokasi itu, tersebutlah peran Menteri Sosial Raden Panji Soeroso yang juga ketua Yayasan Ibu Sukarno.
Pada 24 Oktober 1954, dimulailah pembangunan Yayasan Rumah Sakit Ibu Sukarno. Bu Fat ikut serta dalam peletakkan batu pertama. Bangunan rumah sakit terdiri dari gedung induk, aula, dapur, asrama perawat, dan sebuah bangunan untuk pendidikan guru bidan. Empat tahun lamanya proses pembangunan tersebut berlangsung.
Ketika bangunan rumah sakit rampung, maka fasilitas kesehatan yang memadai menjadi target selanjutnya. Dalam R.P. Soeroso: Dokumen-dokumen Terbatas Tentang Dirinya, sejarawan Anhar Gonggong mencatat Soeroso mengusahakan kredit untuk membeli peralatan rumah sakit dan alat-alat kesehatan untuk menunjang kegiatan Rumah Sakit Ibu Sukarno.
Pada 1958, Rumah Sakit Ibu Sukarno mulai beroperasi. Tidak hanya menangani anak-anak berpenyakit paru, rumah sakit ini juga menerima pasien penderita penyakit tulang (ortopedi). Perluasan pelayanan ini sehubungan dengan bantuan peralatan ortopedi dari Kapal HOPE (Health Opportunity for People Everywhere), kapal rumah sakit milik Amerika Serikat. Pada 1960, Kapal HOPE sedang bermuhibah ke Indonesia memberikan layanan kesehatan.
“Pun, saat itu, Rumah Sakit Ibu Sukarno melayani pasca-bedah ortopedi yang dioperasi di kapal tersebut,” tulis manuskrip 50 Tahun RSUP Fatmawati.
Baca juga:
Julie Sulianti Saroso Bukan Dokter Biasa
Selain itu, Rumah Sakit Ibu Sukarno menerima pasien ortopedi rujukan dari RS Pusat Angkatan Darat dan RS Cipto Mangkusumo. Namun karena terkendala pembiayaan, pada 15 April 1961, Yayasan Ibu Sukarno menyerahkan pengelolaan rumah sakitnya kepada Departemen Kesehatan. Tanggal tersebut sekaligus diperingati sebagai hari jadi rumah sakit tersebut. statusnya pun berubah dari yayasan menjadi rumah sakit umum.
Di masa kepemimpinan Kolonel dr. Soejoto (periode 1961-66), didatangkanlah tenaga perawat dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Untuk tenaga fisioterapis didatangkan dari Solo dipimpin oleh Ny. Wiroreno, istri dari ahli bedah kenamaan dr. Wiroreno yang juga mantan residen Pati. Bantuan juga datang dari sejumlah kalangan. Mulai dari Jawatan Perhubungan Angkatan Darat, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, Zeni Angkatan Darat, dan satu yayasan dari Amerika Serikat.
Setelah Soejoto, direktur rumah sakit dijabat oleh dr. R Soehasim (periode 1966-71). Pada masa Soehasimlah Rumah Sakit Ibu Sukarno berganti nama. Soehasim berpendapat penamaan Rumah Sakit Ibu Sukarno tidak tepat karena ada dua “Ibu Sukarno” yaitu Ibu Fatmawati dan Ibu Hartini.
Baca juga:
Hartini, First Lady yang Tak Diakui
Soehasim mengusulkan agar penamaan rumah sakit dilekatkan dengan sang pemrakarsa: Fatmawati. Dengan terharu, Bu Fat setuju asalkan masyarakat Cilandak dan sekitarnya menghendaki demikian. Maka pada 20 Mei 1967, Rumah Sakit Ibu Sukarno berganti nama menjadi Rumah Sakit Fatmawati. Pergantian nama itu diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Rumah Sakit Fatmawati kian berkembang. Pada 1969, kapasitas tempat tidur ditingkatkan menjadi 400 unit. Pendidikan spesialis ortopedi diselenggarakan. Selain itu, melalui dana Pelita I Pusat, dibangun gedung poliklinik, laboratorium, gedung administrasi, dan gedung rehabilitasi. Sementara melalui dana Pelita DKI Jakarta dibangun proyek ketergantungan obat (Drug Dependence Unit). Pada 1979, atas keputusan Menteri Kesehatan, Rumah Sakit Fatmawati ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan wilayah Jakarta Selatan. Pada dekade 1980-an, perkembangan ortopedi Rumah Sakit Fatmawati sangat pesat.
“Saat itu pula RS Fatmawati menjadi pintu gerbang RS Ortopedi Indonesia,” kata dr. Roeslani, direktur Rumah Sakit Fatmwati periode 1983-88 seperti dikutip tim penulis 50 Tahun RSUP Fatmawati.
Baca juga:
Pada 17 Agustus 1996, bunga lotus atau teratai diperkenalkan sebagai logo Rumah Sakit Fatmawati. Lotus dalam bahasa sensakerta berarti padma yang menjadi asal nama Fatmawati. Adapun himne Rumah Sakit Fatmawati berjudul “Padma Puspita”. Lagu tersebut diciptakan oleh putra sulung Bu Fat, Guntur Sukarnoputra pada 31 Maret 1997.
Hingga kini, Rumah Sakit Fatmawati terus beroperasi melayani seluruh lapisan masyarakat. Di samping layanan medis umum, bedah ortopedi dan rehabilitasi merupakan layanan unggulan rumah sakit bermotto “Percayakan Pada Kami” itu. Berawal dari keprihatinan Bu Fat terhadap anak yang menderita sakit paru, Rumah Sakit Fatmwati menjadi rujukan bagi warga Jakarta maupun luar Jakarta.