SEBUAH taman apik dengan patung artistik di tengahnya berdiri di salah satu bundaran teramai di Alger, Aljazair. Dua aspek yang saling berpadu dengan serasi itu merupakan gambaran Monument de Soekarno yang rencananya akan diresmikan 18 Juli 2020.
Patungnya berbentuk sosok Bung Karno setengah dada sedang berpidato dengan gaya khas tangan menunjuk ke atas. Sosok founding father itu dipilih karena dianggap paling pas sebagai jembatan persahabatan Indonesia dan Aljazair yang terpisah jarak sekira 12 ribu kilometer.
“Betapa pengaruh Bung Karno sangat luar biasa. Setiap kali saya menghadiri berbagai forum sejak menjadi dubes (duta besar), saya merasa setengah pekerjaan saya sudah ter-cover. Ketika saya mengenalkan diri bahwa saya dari Indonesia, luar biasa sambutannya,” ujar Duta Besar RI untuk Aljazair Safira Machrusah dalam bincang live di Youtube dan Facebook Historia.id bertajuk “Bung Karno Berdiri di Aljazair”, Selasa (16/6/2020) malam.
“Saya merasakan betul, seperti yang Bung Karno katakan dalam otobiografi yang dituliskan Cindy Adams, Penyambung Lidah Rakyat, menyatakan begini: ‘Menurut menteri luar negeri saya, satu kali lawatan Sukarno ke sebuah negara, sama artinya dengan 10 tahun pekerjaan duta besar’,” tambahnya.
Sejarawan cum Pemred Historia Bonnie Triyana sepakat terhadap pendapat itu. Bung Karno punya peranan besar dalam mendukung perjuangan Aljazair yang baru merdeka dari kolonialisme Prancis pada 3 Juli 1962. Jauh sebelum itu, Bung Karno pula yang mengundang utusan Aljazair, meski negeri itu belum merdeka, ke Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Saat itu Aljazair diwakili Hocine Ait Ahmed, Mohammed Yazid, dan Chedli Mekki.
“Kemudian pada 1956 ada Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika. Dari Aljazair yang datang mewakili adalah Lakhdar Brahimi. Dia bahkan diberi fasilitas kantor di Jalan Serang, Menteng, Jakarta ketika bertugas menjadi perwakilan Front de Libération Nationale (FLN). Brahimi kemudian menjadi orang penting di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Diplomat senior sampai sekarang sekaligus penasihat Sekjen PBB untuk urusan Suriah dan Afghanistan,” kata Bonnie menimpali.
Baca juga: Djamila Bouhired Srikandi Aljazair
Balutan rasa “iri” pada apresiasi Mesir, Maroko, Korea Utara terhadap Bung Karno dan keterikatan pada sejarah Sukarno itulah Dubes Safira merasa perlu menghadirkan sosok Bung Karno di Aljazair dalam bentuk fisik, tidak hanya dalam bentuk retorika semata.
Niat itu terwujud ketika Safira bersua Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Setelah melobi pemerintah Provinsi Alger, Monument de Soekarno pun diizinkan dibuat di tengah-tengah ibukota. Kang Emil mendesain monumen-tamannya, sementara pembuatan patung dada Sukarnonya dipercayakan kepada pematung Dolorosa Sinaga.
Pendanaannya baik pembuatan patung, pengiriman patung dan pembangunan monumennya disokong PT Pertamina, KBRI Alger, dan PT Wijaya Karya. Dua perusahaan pelat merah itu kebetulan tengah mengerjakan proyek di Aljazair.
Meski proyek monumen Sukarno sudah rampung, peresmiannya terpaksa direncanakan pada 18 Juli 2020 karena lockdown rencananya baru akan dibuka pemerintah Aljazair pada 15 Juli 2020.
“Tadinya kita mau meresmikan dengan cara biasa. Tapi mereka (pemerintah Aljazair) menolak. Mereka ingin setelah lockdown dibuka, jadi ada pemimpin tertinggi datang ke sini. Karena ini unik. Itulah pikiran kami, merasa nanti setelah peresmiannya, orang Aljazair akan lebih banyak melihat ke Indonesia. Seorang sahabat yang mungkin sudah lama tidak saling menyapa, karena jauhnya jarak,” sambung Safira.
Monumen Sarat Makna
Taman berikut patung Sukarno itu diharapkan tak hanya akan jadi penyedap mata di tengah lalu lintas yang ramai di Alger, tetapi juga bisa dinikmati karena sarat makna. Ia jadi media yang gamblang akan nilai-nilai sejarah dan persahabatan kedua negara. Terlebih, bagi generasi muda di Aljazair yang belum tentu aware dengan narasi historisnya seiring bergantinya zaman.
Monumen Sukarno sendiri terletak di sebuah bundaran simpang Jalan Mustapha Khalef Ben Aknoun dan Chemin Arezki Mouri. Ia berdiri tak jauh dari Kementerian Pekerjaan Umum Aljazair, mal terbesar kedua di Alger, dan rumah dinas Presiden Abdelmadjid Tebboune.
Baca juga: Patung Bung Karno Berdiri di Aljazair
Bentuk bulan sabit (jika dilihat dari atas) yang dimiliki monumen dipilih untuk menggambarkan bendera Aljazair. Di dalam areal bulan sabit itu terdapat lima pedestal bundar untuk mendeskripsikan bentuk bintang dalam bendera Aljazair. Di bagian paling tengah, berdirilah patung Bung Karno yang dikonstruksi dari lempengan-lempengan besi.
“Saya memang tak membuatnya dengan teknik modelling seperti patung-patung klasik gaya Yunani. Saya memilih mengekspresikan Sukarno dalam sebuah konstruksi. Membangun struktur dalam tubuhnya dari lempengan-lempengan besi yang tidak menyatu. Memberi kesan bahwa setiap bidang kecil itu independen,” kata Dolorosa menerangkan.
“Ribuan bidang-bidang kecil lempengan besi beragam yang terkonstruksi dan individu ini membangun Sukarno seperti juga Sukarno membangun sebuah bangsa yang beragam. Itu penggambaran simbolik saya dalam menokohkan beliau. Kita coba melihat kehadiran (patung) Sukarno di Aljazair ini sebagai pintu masuk mendorong ekspresi-ekspresi artistik dalam seni sebagai kelanjutan menyambung spirit KAA, di mana kerja-kerja kreatif bisa didorong oleh kekuatan kebersamaan dan solidaritas,” lanjutnya.
Emil, yang dalam prosesnya percaya sepenuhnya pada Dolorosa, tak banyak merecoki proses kerja kreatif pembuatan patung itu. Maka ketika konsepsi kuat Dolorosa menghasilkan karya gemilang, Emil pun mengapresiasi.
“Pemilihan gesturnya jenius dan pas. Tangannya menunjuk ke atas seolah-olah berteriak, ‘Wahai negara Asia-Afrika, kita lawan kolonialisme!’ Juga sangat unik, jadi tiga dimensi. Dari depan dan belakang sama-sama bisa dinikmati. Kalau patung klasik seperti patung Jenderal Sudirman di Jalan Sudirman, Jakarta, misalnya, hanya bisa diapresiasi dari satu arah, dari Bundaran HI ke arah selatan. Tapi dari selatan ke Bundaran HI kan disambutnya (oleh) punggung. Itu kelemahan menaruh patung di lalu lintas,” papar Emil.
Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani
Menurut Emil, kesemrawutan lalu lintas Jakarta di sekitar patung Soedirman itu hanya memungkinkan sedikit pengendara yang bisa menikmatinya. Terlebih, tata ruang di Jalan Jenderal Sudirman-MH. Thamrin di sekitar patungnya tak ramah bagi interaksi terhadap publik.
“Makanya saya dalam membuat alun-alun di Kota Bandung, di Papua, didesain dengan ruang yang memanusiakan. Di kota besar, termasuk Jakarta, sudah kehilangan rohnya, di mana kota itu terlalu direduksi menjadi ruang untuk uang, jadi kantor, jadi mal. Halaman depannya hanya jadi parkiran,” jelasnya.
“Padahal di negara maju, halaman depan itu menjadi plasa, orang nongkrong, orang istrahat, ada air mancur. Di Jalan Sudirman-Thamrin kan enggak begitu. Depannya itu habis halamannya buat wara-wiri orang drop off. Dalam teori urban itu keliru. Makanya setiap proyek di perkotaan mesti mendahulukan depan gedung itu harus ruang publik dan semua monumen harus ada ruang interaksi,” kata Emil.
Konsepsi itulah yang tak lepas dari kepala Emil ketika merancang taman-monumen di Alger. Emil mesti memikirkan bagaimana dua entitas kedua bangsa bisa ditonjolkan. Oleh karena itu Emil membuat tiga opsi desain.
“Opsi pertama ada lingkaran, bulan sabit sebagai simbol Aljazair. Saya bikin tiang bendera Aljazair dan Indonesia dalam bentuk acak. Lalu opsi kedua dan ketiga terdapat penggambaran patung manusia, ya Bung Karno. Tapi saya mesti merasa berdiskusi dengan Bu dubes karena infonya orang Aljazair enggak suka ada patung manusia. Tetapi setelah dapat info lanjutan, ternyata boleh ada patung manusia asal tidak lebih tingginya dari empat meter,” tutur Emil.
Meski akhirnya situasi memungkinkannya merancang taman dengan patung manusia, langkah Emil belum selesai. “Dalam proyek ini juga harus dipikirkan bagaimana menjahit ke-Bung Karno-an dan ke-Aljazair-an. Buat seorang arsitek seperti saya, itu jadi pertanyaan besar dan harus saya pelajari dalam waktu singkat. Kira-kira ke-Aljazair-an apa yang bisa saya bawa ke situ. Tapi karena ini bangunan harus dicari aspek geometrisnya, dan pilihannya bulan sabit di benderanya,” tambahnya.
Baca juga: Monumen yang Ternoda
Setealah diskusi Emil dengan gubernur Alger mengenai tiga opsi rancangan taman berbentuk bulan sabitnya, sketsa rancangan yang terdapat patung Bung Karno di tengahnya yang dipilih. Opsi itu dianggap Emil pas karena lima pedestal dalam desainnya juga akan mempertontonkan lima sila dalam Pancasila sebagai falsafah dan pedoman hidup bangsa Indonesia.
“Di lingkaran-lingkaran (pedestal) itu harusnya ada sila-silanya Pancasila digrafir di masing-masing satu pedestalnya. Mungkin dalam bahasa (nasional) Aljazair, jadi orang tahu maksud kami itu ada lima pedestal mengelilingi Bung Karno adalah Pancasila, karena itu jati diri bangsa Indonesia. Jadi orang tahu, oh orang Indonesia sila pertamanya relijius ternyata, Ketuhanan. Orang yang wara-wiri di situ nanti pulangnya akan berpikir bahwa Pancasila ini nilai-nilainya universal. Jadi monumen ini akan ada interaksinya dengan orang-orang yang melihatnya,” sambungnya.
Desain itu diyakini Emil sangat klop untuk menggambarkan berpadunya dua bangsa yang terbentang jarak. Warna hijau dalam bendera Aljazair digambarkan dalam rerumputan rapi yang mengelilingi monumen berbentuk bulan sabit. Sementara lima pedestal sebagai lima titik dalam bintang di bendera Aljazair juga menggambarkan Pancasila yang sangat kental ke-Sukarno-annya, lantaran si Bung Besarlah yang menggali nilai-nilai Pancasila itu pada 1 Juni 1945.
“Makanya saya bilang, di atas lingkaran-lingkaran (pedestal) itu harus ada grafir yg menuliskan kelima sila. Ketika orang melihat kan nanti tergugah, oh Pancasila. Bayangkan, benih-benih itu hadir di situs itu. Jadi kalau suatu hari ada yang terinspirasi datang ke Indonesia untuk belajar tentang Sukarno dan belajar Pancasila, jangan-jangan gara-gara monumen itu,” tandasnya.
Baca juga: Peringatan Hari Lahir Pancasila yang Pertama