SEBUAH keluarga kaya Korea yang bermukim di Los Angeles, Amerika Serikat, mengalami berbagai rangkaian peristiwa misterius yang tidak biasa hingga mengancam keselamatan anggota keluarga mereka. Khawatir kondisi tersebut semakin buruk, salah satu anggota keluarga meminta bantuan sepasang dukun muda.
Mereka merasakan ada bayangan gelap leluhur yang terikat di keluarga itu. Dengan bantuan seorang ahli fengshui dan petugas pemakaman, proses pembongkaran kuburan pun dilakukan guna menyelamatkan keluarga tersebut. Namun tanpa mereka sadari sesuatu yang lebih besar dan jahat turut terkubur di makam nenek moyang keluarga itu.
Kisah di atas merupakan sinopsis film Exhuma yang tengah ramai diperbincangkan warganet. Film bergenre horor-misteri asal Negeri Gingseng Korea Selatan itu tayang di bioskop sejak 28 Februari 2024.
Film yang disutradari oleh Jang Jae-hyun itu menggandeng aktor dan aktris papan atas Korea Selatan, seperti Choi Min-sik, Yoo Hae-jin hingga Kim Go-eun. Exhuma sukses menarik banyak penonton lewat alur cerita yang kuat dan menegangkan. Para penonton tak hanya diajak untuk mengungkap misteri di balik kuburan leluhur sebuah keluarga kaya, tetapi juga menyelami sisi lain pendudukan Jepang di Korea.
Baca juga: Parasite dan Seabad Perfilman Korea
Exhuma tak semata-mata mengandalkan kisah hantu maupun siluman yang menyeramkan. Film berdurasi 134 menit ini semakin menarik karena mengangkat isu terkait sejarah dan budaya masyarakat Korea. Salah satunya kepercayaan terhadap geomansi (pungsu dalam bahasa Korea, dan fengshui dalam bahasa Tionghoa).
Menurut Jongwoo Han dalam Power, Place, and State-Society Relations in Korea: Neo-Confucian and Geomantic Reconstruction of Developmental State and Democratization, geomansi dipandang sebagai seni menyesuaikan fitur lanskap budaya dengan napas kosmik (gi) dengan menciptakan konfigurasi topologi yang mirip dengan tata letak bagan astronomi yang ideal untuk memaksimalkan nasib baik dan meminimalkan nasib buruk. Prinsip-prinsip geomantik umumnya diterapkan dalam proses pembangunan rumah dan makam.
Park Chang-won dalam Cultural Blending In Korean Death Rites: New Interpretive Approaches menyebut geomansi diperkenalkan ke Korea dari Cina selama periode Silla Bersatu (676–935 M) dan segera menjadi populer di negara ini. Selain di Cina dan Korea, geomansi juga dikenal oleh masyarakat Jepang. Namun, bila di Cina dan Korea, geomansi berkaitan dengan bangunan dan kuburan, di Jepang geomansi justru hanya berkaitan dengan situs bangunan.
Sementara itu, menurut Jill Matthews dalam Korean Gardens: Tradition, Symbolism and Resilience, Doseon, seorang biksu Buddha pada akhir periode Silla (827–898 M) mensistematisasikan pungsu sebagai ilmu geografi tradisional yang sangat berbeda dengan fengshui Cina. “Teorinya diterapkan pada pemilihan dan persiapan situs yang menguntungkan dengan menebus elemen yang lemah atau hilang, meminimalkan elemen yang terlalu kuat dan menambah energi geografis terutama dengan membangun pagoda Buddha dan menanam pohon di tempat yang tepat,” tulis Matthews.
Baca juga: Feng Shui dari Makam sampai Nasib
Praktik pungsu tertanam kuat dalam sejarah, kehidupan, dan kematian masyarakat Korea tradisional. Bahkan, besarnya peranan geomansi disebut sebagai penyebab perpindahan ibu kota Korea di masa lalu. Chang-won menyebut bahwa sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Korea bahwa raja pertama dinasti Konfusianisme memilih Seoul sebagai ibu kota baru berdasarkan teori pungsu. Kala itu Seoul tidak lebih dari sebuah desa terpencil yang terletak di daerah aliran sungai yang dikelilingi oleh pegunungan. Dengan demikian, sejak tahun 1394 Seoul menjadi ibu kota negara.
Matthews menyebut bahwa Taejo, raja Joseon pertama, secara pribadi memilih Hanyang, yang kini dikenal dengan nama Seoul, sebagai lokasi ibu kota dan istana barunya karena pungsu yang sempurna secara alami.
“Atribut geomantik positif dari situs ini meliputi: dilindungi oleh pegunungan di utara, timur, dan selatan; ada ruang untuk istana utama di kaki bukit lereng selatan Gunung Bukaksan, yang menghadap ke perairan sungai Cheonggyecheon dan Sungai Han di selatan; area datang yang terlindungi di depan istana akan ideal untuk membangun ibu kota yang baru; di depan istana, sebuah bukit yang lebih rendah akan memagari kota dan sebuah sungai yang mengalir dari timur ke barat, melengkapi persyaratan pungsu,” tulis Matthews.
Besarnya peranan pungsu dalam pengambilan keputusan oleh penguasa membuat praktik ini tersebar luas dan digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih makam leluhur, karena dianggap sebagai cara untuk memenuhi kebajikan Konfusianisme dalam berbakti. Itu sebabnya mengapa orang Korea sangat berhati-hati dalam memilih tempat pemakaman yang sesuai.
Baca juga: Banjiha, Potret Kemiskinan Korea dalam Parasite
“Mereka bahkan bisa menunda pemakaman sampai mereka menemukan tempat pemakaman yang baik; mereka akan pergi kemana saja jika mereka bisa menemukan tempat yang baik,” tulis Chang-won.
Selama menduduki Korea (1910–1945), penguasa Jepang mengetahui pungsu berperan besar dalam kehidupan masyarakat Korea. Oleh karena itu, mereka menanggapi pungsu dengan sangat serius.
Menurut Yoon Hong-key dalam The Culture of Fengshui in Korea: An Exploration of East Asian Geomancy, setelah Jepang mencaplok Korea sebagai koloni, pemerintah kolonial Jepang mengadopsi sistem pemakaman di mana kuburan hanya boleh dibuat di dalam batasan bagian yang telah ditentukan. Hal ini tentu menjadi sebuah sistem yang baru di Korea, karena sebelumnya orang Korea dapat membuat kuburan di mana saja yang mereka anggap baik, selama mereka memiliki akses ke tempat tersebut. Sebagai akibat dari kebijakan ini, penerapan geomansi dalam pemilihan lokasi makam menjadi terbatas.
Selain itu, penguasa Jepang juga memanipulasi kepercayaan masyarakat Korea yang telah mengakar kuat terhadap geomansi untuk melegitimasi dan mempromosikan pemerintahan kolonial sambil menekan perlawanan masyarakat Korea. Sebagai contoh, pemerintah kolonial Jepang “memutilasi” Istana Kyongbok dengan mengapitnya di antara gedung kantor pemerintah kolonial yang baru dan kediaman gubernur jenderal di bagian depan dan belakang istana Korea.
Baca juga: Demam Drama Korea Lintas Zaman
“Dengan melakukan hal tersebut, secara efektif mengganggu aliran energi vital dan keberuntungan istana Korea. Siapa pun yang mengetahui tentang geomansi dan kondisi geomansi Seoul akan memahami bahwa kejayaan Korea telah berakhir dan pemerintah kolonial Jepang yang baru akan menggantikan kerajaan Korea,” tulis Hong-key.
Di distrik-distrik provinsi, Jepang membangun kuil Shinto di tempat-tempat yang secara geografis penting, kadang-kadang dengan paksa menyingkirkan bangunan Korea yang penting. Dengan melakukan hal tersebut, pemerintah Jepang seakan berusaha memberikan kesan kepada orang Korea bahwa pemerintah kolonial Jepang telah menjadi penerima yang sah dari semua energi vital Korea yang penting. Periode penjajahan Jepang dalam sejarah pemikiran geomantik Korea ditandai dengan pemutusan urat nadi energi vital Korea oleh Jepang.
“Argumen ini didasarkan pada fakta bahwa pemerintah Jepang membangun jalur kereta api dan jalan raya dengan memotong beberapa arteri energi vital geomantik Korea yang penting, serta adanya kepercayaan publik bahwa Jepang menancapkan tiang pancang besi di titik-titik geomantik yang penting; orang Korea berpikir bahwa mereka berusaha mengganggu aliran energi vital dan dengan demikian menghancurkan lanskap Korea yang secara geomantik menguntungkan,” jelas Hong-key.
Oleh karena itu, Matthews menyebut hingga kini masih banyak orang Korea yang percaya bahwa Jepang telah melakukan “invasi fengshui” dengan menempa ratusan pancang besi dan menancapkannya di puncak-puncak gunung yang strategis secara geografis dan melintas di seluruh Korea dengan tujuan untuk mengganggu aliran energi yang bermanfaat di seluruh Korea sehingga mematahkan semangat nasional Korea.
Baca juga: Itaewon dari Masa ke Masa
“Terlepas dari keakuratan kepercayaan ini, sekarang, lebih dari 60 tahun setelah kepergian Jepang, banyak orang Korea menghabiskan banyak waktu dan energi untuk mencari pancang-pancang yang tersisa dan menyingkirkan serta menghancurkannya dengan melukan upacara ritual, biasanya pada tanggal 15 Agustus, Hari Pembebasan,” tulis Matthews.
Pada 15 Agustus 1995, tepat lima puluh tahun setelah pembebasan Korea dari pendudukan Jepang, warga Korea mulai membongkar gedung kantor bekas pemerintahan kolonial Jepang yang dibangun di atas tanah Istana Kyongbok. Karena istana itu ditafsirkan sebagai ikon kedaulatan Korea, Jepang merusaknya dengan menghancurkan banyak bangunan di kompleks istana tersebut dan membangun Gedung Pemerintahan Umum di atas tanah istana. Tindakan tersebut merupakan upaya menjustifikasi dan menaturalisasi ikon pemerintahan kolonial Jepang. Untuk alasan yang sama, pemerintah Korea, setelah terbebas dari penjajahan Jepang, menghancurkan bangunan kolonial Jepang untuk membangun kembali ikon kedaulatan Korea, Istana Kyongbok, ke masa kejayaannya.*