Pada abad ke-19, terjadi perubahan besar di negeri jajahan Belanda. Kekuasaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang sudah ada sejak abad ke-16 bubar, digantikan perannya oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Kongsi dagang itu terlalu banyak memberi kerugian kepada Kerajaan Belanda, hingga terpaksa ditiadakan.
Peralihan kekuasaan itu memberi dampak yang cukup signifikan di berbagai bidang, termasuk pertanian dan perdagangan. Jika sebelumnya rempah-rempah (lada, cengkeh, pala, dsb) menjadi komoditas andalan Belanda di pasaran dunia, kini kebanggaan itu beralih ke komiditi lain: kopi, teh, karet, gula, dll. Hasil pertanian itu menjadi primadona baru Belanda di Eropa.
Baca juga: Hikayat Kopi di Tanah Jawa
“Sejak industri pertanian bertransformasi menjadi salah satu pilar perekonomian terpenting di Hindia Belanda, struktur ekonomi baru Hindia Belanda pun terbentuk. Cabang industri ini pun menjadi perhatian penuh pemerintah selama bertahun-tahun,” tulis J. Stroomberg dalam Hindia Belanda 1930.
Perubahan struktur perdagangan di Hindia Belanda dapat dirasakan oleh semua pihak, terutama golongan pedagang. Perlahan mereka menyesuaikan diri dengan penjualan komoditi tersebut. Di Semarang berdiri sebuah perusahaan dagang besar yang dijalankan oleh seorang Tionghoa bernama Oei Tiong Ham, yakni Oei Tiong Ham Concern (OTHC). Perusahaan gula itu mencatatkan namanya sebagai yang terbesar di Hindia Belanda selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Bisnis Turun Temurun
Sang pemilik, Oei Tiong Ham, dilahirkan di Semarang pada 19 November 1866. Dia putra seorang pedagang dari Hokkian bernama Oei Tjie Sien dan Tjan Bien Nio. Menurut James R. Rush dalam Opium to Java: Revenue Farming and Chienese Enterprise in Colonial Indonesia 1860-1910, ayahnya tiba Semarang pada 1858. Keluarga ini memulai usaha dengan berjualan perkakas dan peralatan rumah tangga.
Pada 1863, Oei Tjie Sien bersama kawannya Ang Tai Liong mendirikan sebuah kongsi dagang bernama Firma Kian Gwan. Perusahaan tersebut banyak menjual beras, gambir, dan kemenyan. Mereka menghasilkan pendapatan yang besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Namanya pun begitu kesohor di seluruh Jawa, khususnya Semarang dan sekitarnya. Kongsi dagang inilah cikal bakal OTHC yang dikembangkan Oei Tjie Sien.
Baca juga: Mula Pedagang Kaki Lima
“Dengan intuisi bisnisnya ia memilih Oei Tiong Ham sebagai pewaris usahanya. Pilihan dan keputusannya ini ternyata sangat tepat karena di bawah pimpinan Oei Tiong Ham, Kian Gwan berkembang berpuluh kali lebih besar dari sebelumnya,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Pada 1900, Oei Tjie Sien meninggal dunia. Praktis seluruh bisnis dan perusahaan dijalankan oleh Oei Tiong Ham. Menurut Setiono, Tiong Ham tidak pernah mengenyam pendidikan Barat, baik Belanda maupun Inggris. Satu-satunya pendidikan formal yang dijalaninya hanya sekolah Tionghoa berbahasa Hokkian su-siok (gaya lama). Seluruh pengetahuan tentang berdagang didapat dari ayahnya. Sejak kecil dia sudah mengikuti sang ayah berbisnis, dan setelah dewasa pelatihan menjalankan perusahaan diterima secara lebih dalam.
Sebelum melanjutkan perusahaan Kiam Gwan, Oei Tiong Ham telah merintis bisnisnya sendiri sejak 1880-an. Di usia yang masih cukup muda tersebut dia sudah dikenal sebagai pengusaha gula yang sukses di Semarang. Di samping menjalankan bisnis gula, Oei Tiong Ham juga menjadi pachter candu untuk daerah Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Dia menjadi pedagang resmi yang diawasi pemerintah untuk penjualan candu. Usahanya ini dijalankan hingga 1904.
Baca juga: Persaingan Toko Jepang dengan Toko Tionghoa
Ketika usianya menginjak 20 tahun, Oei Tiong Ham diangkat menjadi Letnan Tionghoa (Lieutnant der Chinezen). Statusnya itu menjadikan dia bagian dari masyarkat elit Tionghoa Semarang yang dihormati. Dia kemudian dipromosikan menjadi Mayor Tionghoa (Majoor der Chinezen) pada akhir abad ke-19. Oei Tiong Ham, kata Soetiono, menjadi orang Tionghoa pertama yang mendapat izin memakai pakaian barat dan tinggal di daerah perumahan orang Eropa.
“Ia selalu berpakaian rapi, pakaian jas barat, dan pantalon warna putih, demikian juga warna sepatunya,” ungkap Soetiono. “Lain dari orang-orang Tionghoa umumnya, ia berpandangan modern dan mempekerjakan orang Belanda dalam perusahaannya”.
Kerajaan Bisnis
Akhir abad ke-19, Oei Tiong Ham mengubah Kian Gwan menjadi perseroan terbatas NV Handel Maatschappij Kian Gwan. Dia kemudian menyelesaikan berbagai urusan pembagian waris atas perusahaan milik ayahnya tersebut, baik kepada saudaranya maupun orang-orang yang terlibat di dalam pendirian Kian Gwan. Maka kerajaan bisnis Oei Tiong Ham, OTHC, pun memulai babak baru dengan hak penuh atas perusahaannya sendiri.
Dia memulai dengan mengakusisi lima pabrik gula: Redjoagung, Krebet, Tanggulangin, Pakies, dan Ponen. Demi meningkatkan kualitas produksi semua mesin lama diganti dengan mesin modern yang didatangkan dari Jerman. Selain itu dia juga mempekerjakan sejumlah tenaga ahli dari kalangan Tionghoa maupun Eropa, yang dipilih dengan baik.
Baca juga: Gurita yang Terkulai
Untuk masalah produksi, kebutuhan tebu sebagai bahan dasar pembuatan gula didapat dari beberapa perkebunan di Semarang dan sekitarnya yang telah menjalin kontrak dengan OTHC. Sementara untuk pengelolaan manajemen pabrik gula, OTHC mendirikan N.V. Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken.
“Inilah cabang usaha yang terpenting dari seluruh bagian Oei Tiong Ham Concern,” tulis Soetiono.
Meski bisnis utamanya adalah hasil bumi, Oei Tiong Ham juga melakukan perluasan bisnis di bidang keuangan, khususnya bisnis asuransi dan perbankan. OTHC menjadi agen bagi banyak perusahaan asuransi besar seperti Union Insurance Society of Canton, Ltd. Pada 1906 dia juga mendirikan N.V. Bank Vereeniging Oei Tiong Ham di Semarang dan Surabaya. Mulanya bank ini hanya menjalankan usaha kredit dagang, tetapi lambat laun meluas ke perbankan umum. Bahkan di bawah bank ini Oei Tiong Ham menjalankan usaha realestate, pembangunan gedung, dan jual-beli perumahan.
Semakin besarnya OTHC membuat Oei Tiong Ham memutuskan membeli Heap Eng Moh Steamship Coy. Ltd. Singapore. Perusahaan ini dijalankan untuk kebutuhan pengangkutan dan distribusi penjualan berbagai komiditi miliknya. Armada dagang Singapura ini melayani rute Jawa dan Singapura, dengan lima buah kapal besar sebagai armada utamanya.
Semakin besar perusahaan Oei Tiong Ham, semakin besar pula pajak yang dikenakan pemerintah Hindia Belanda. Liem Tjwan Ling dalam Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang, disebutkan bahwa pada 1921 OTHC telah membayar pajak sebesar 35 juta gulden. Sejumlah besar uang itu merupakan pajak perang yang digunakan pemerintah Belanda untuk menutupi kerugian Perang Dunia I. Namun pajak itu bukan satu-satunya kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan Oei Tiong Ham. Pemerintah Belanda masih memberi dubble inkomstenbelasting (pajak pendapatan rangkap) kepadanya. Oei Tiong Ham keberatan atas beban pajak tersebut. Dia pun memutuskan meninggalkan Semarang dan pergi menetap di Singapura hingga akhir hayatnya pada 1924.
Baca juga: Kerusuhan Siswa Tionghoa Singapura, Cara Komunis-Nasionalis Lawan Kolonalis Inggris
“Pada 1924, seperempat luas dari kepulauan Singapura adalah milik Oei Tiong Ham seorang. Kekayaannya berupa kepemilikan tanah-tanah dan rumah-rumah, maka tidak mengherankan jika sampai hari ini di kota Singa tersebut masih ada satu jalanan yang memakai namanya, yakni Oei Tiong Ham Park,” tulis Liem Tjwan Ling.
Dicatat Marleen Dieleman, dkk dalam Chinese Indonesians and Regime Change, setelah Oei Tiong Ham meninggal, perusahaan OTHC dilanjutkan oleh sejumlah putra dari beberapa istri Oei Tiong Ham. Bisnis keluarga Oei Tiong Ham ini dapat bertahan selama tiga generasi kekuasaan: Hindia Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia.