Masuk Daftar
My Getplus

Kerusuhan Siswa Tionghoa Singapura, Cara Komunis-Nasionalis Lawan Kolonalis Inggris

Menganggap ordonansi National Service sebagai cara kolonialis "memperbudak" warga Tionghoa, pelajar Tionghoa Singapura bentrok dengan polisi.

Oleh: M.F. Mukthi | 13 Mei 2020
Lee Kuan Yew, "Bapak bangsa Singapura", yang membela para pemimpin Serikat Pelajar TIonghoa dalam Kerusuhan 13 Mei 1954. (Wikimedia Commons).

HARI ini, 13 Mei, 66 tahun silam. Para siswa di sekolah-sekolah menengah Tionghoa di Singapura berkumpul di Sekolah Chung Cheng, sekolah Tionghoa terbesar di Singapura. “Mereka bermaksud mengajukan petisi kepada Gubernur Singapura Franklin Gimson,” tulis Cheong Suk-wai dalam Sound of Memories, the Recordings from the Oral History Centre, Singapore. Inti petisi mereka yakni menentang ordonansi National Service, aturan wajib militer paruh-waktu kepada pemuda berusia 18-20 tahun.

Ordonansi tersebut merupakan salah satu langkah pemulihan yang diambil pemerintah kolonial Inggris untuk mengembalikan kekuasaannya di koloni selepas Perang Dunia II. Dinas wajib itu dilakukan untuk menyiasati masalah pertahanan yang saat itu praktis dipegang oleh militer yang mayoritas kulit putih dan jumlahnya tak seberapa.

Baca juga: "Anak Tiri" di Pertempuran Kranji

Advertising
Advertising

Padahal, rencana jangka panjang pemerintah kolonial diprioritaskan pada peningkatan kehidupan sosial-ekonomi. Peran-serta masyarakat lokal amat diperlukan. Untuk mencapainya, pemerintah berpijak pada pembangunan pendidikan modern (Barat) berbahasa pengantar Inggris. Perhatian lebih pada pendidikan Barat itu mematikan pendidikan berbahasa daerah (Tionghoa maupun Melayu) dan kemudian memunculkan sentimen negatif di kalangan siswa dan juga guru sekolah-sekolah Tionghoa terhadap pemerintah kolonial.

Di sisi lain, banyak dari siswa sekolah Tionghoa sudah memiliki kesadaran akan kemerdekaan. Di antara mereka sudah ada yang menjalin kerjasama dengan gerakan anti-kolonialisme yang diusung Klub Sosialis Univeritas Malaya. Fakta-fakta di luar seperti kemenangan Vietnam atas kolonialis Prancis di Dien Bien Phu atau yang lebih dulu, kemerdekaan Indonesia, makin memacu mereka untuk bergerak menentang kolonialis Inggris demi memerdekakan Singapura.  

Baca juga: Rahasia Lee Kuan Yew

Sentimen para siswa Tionghoa terhadap kolonialis itu bertemu dengan keinginan kaum komunis yang berupaya mengenyahkan kolonialisme. Mereka menganggap para pelajar sebagai potensi “bahan bakar” bagi perjuangan melawan kolonialisme. Selepas dikeluarkannya keadaan darurat di Malaya (Juni 1948) oleh pemerintah kolonial akibat pembunuhan terhadap tiga orang kulit putih yang dilakukan aktivis komunis di bawah Chin Peng di perkebunan, perjuangan kaum komunis terpaksa tiarap.

 

“Pada 1948, pemerintah Singapura juga mengeluarkan Peraturan Darurat, melarang Partai Komunis Malaya (MCP), dan jajaran kepemimpinannya. Dari tahun 1950-1953, kepemimpinan komite dan cabang-cabang distrik di Singapura runtuh, dan organisasi berada dalam keadaan tanpa kemudi. Hanya ada tiga anggota partai tersisa. Mereka adalah Fang Chuang Pi yang bertugas menyebarkan ideologi melalui koran Freedom, Chiam Choon Chian yang bertanggung jawab atas gerakan buruh, dan Ng Meng Chiang yang bertanggung jawab atas gerakan mahasiswa,” tulis buku yang dieditori Kwa Chong Guan dan Kua Bak Lim, A General History of the Chinese in Singapore.

Baca juga: Chemistry Lee Kuan Yew Pada Soeharto

Peran Ng Meng Chiang, yang dijuluki Kamerad D, amat vital dalam mengorganisir pelajar. “Pada periode ketika jaringan bawah tanah dihancurkan dan semangat kerja rendah, pemimpin mahasiswa Partai Komunis Malaysia, Ng Meng Chiang, dan editor koran Freedom, Fang Chuang Pi, meluncurkan gerakan massa yang terbuka dan legal untuk mengumpulkan pelajar, pekerja dan petani dari Februari 1954 hingga April 1955, juga dikenal sebagai ‘The Open United Front’,” sambung Guan dan Lim.

Di tangan Kamerad D-lah protes-protes terhadap kebijakan kolonialis, terutama yang terkait dengan dunia pendidikan, diorganisir. “Ini termasuk boikot ujian sekolah tahun 1951 karena dianggap ‘konspirasi untuk melemahkan pendidikan Cina’ dengan Lim Chin Siong sebagai salah satu pemimpinnya. Ini diikuti oleh demonstrasi kekerasan Mei 1954 melawan National Service di bawah kepemimpinan Ng Meng Chiang alias Comrade D dan dibantu Lim Hock Koon dan Lim Chin Siong,” tulis Bilveer Singh dalam Quest for Political Power: Communist Subversion and Militancy in Singapore.

 

Maka begitu pemerintah kolonial mengesahkan ordonansi National Service pada Desember 1953, Kamerad D dan para pendukungnya amat senang. Mereka mendapat momentum pas untuk meluncurkan gerakan lagi. “Masalah National Service adalah anugerah bagi MCP (Malayan Communist Party),” tulis Guan dan Lim.

Baca juga: Kesaksian Korban Rezim Lee Kuan Yew

Ordonansi itu sendiri mewajibkan semua siswa sekolah dan warga koloni berusia 18-20 tahun untuk ikut pelatihan militer paruh waktu. Mereka yang tak mematuhinya akan dihukum denda atau penjara. Pendaftaran paling akhir dijadwalkan pada 12 Mei 1954. Namun menjelang tenggat berakhir, belum ada satupun dari siswa sekolah-sekolah Tionghoa yang mendaftar meski tim dari pemerintah sudah dua kali dikirim ke sekolah Chung Cheng untuk membagikan formulir pendaftaran. “Para siswa di sekolah-sekolah menengah Cina menolak seruan tersebut yang dianggapnya sebagai cara lain Inggris untuk melemahkan kekuatan peluang pendidikan dan karier mereka,” tulis Cheong Suk-wai dalam Sound of Memories, the Recordings from the Oral History Centre, Singapore.

Tak adanya pendaftar dari pelajar Tionghoa mendorong Kepala Sekretaris William Goode melakukan pertemuan dengan perwakilan Serikat Siswa Sekolah Menengah Tionghoa pada 13 Mei. Karena jadwal pertemuan sudah diketahui luas, sekira seribu pelajar Tionghoa yang sedang mengikuti kompetisi olahraga di Stadion Jalan Besar bergeser ke tempat pertemuan Goode, berjarak sekitar 30 menit berjalan kaki, sebagai bentuk dukungan kepada perwakilan pelajar Tionghoa.

Di tengah penantian mereka terhadap hasil perundingan itulah hal tak terduga terjadi. Entah siapa yang memulai. “Semuanya berubah menjadi kekacaun saat mereka bentrok  dengan polisi anti-huru-hara,” sambung Cheong Suk-wai. Meski tak ada korban jiwa, lebih dari 20 orang dari kedua belah pihak mengalami luka-luka.

Baca juga: Para Pelancong Mencatat Sejarah Singapura

Pemerintah kolonial menahan lebih dari 50 orang yang dianggap terlibat dalam kerusuhan. Lee Kuan Yew, pengacara yang kemudian menjadi “Bapak pendiri Singapura”, membela para pimpinan pelajar di pengadilan.

“Saat ia membantu pembelaan hukum para siswa yang ditangkap, Lee Kuan Yew memiliki kesempatan untuk masuk ke kalangan pendidikan Tiongkok. Dia melihat dan mengalami langsung semangat juang, cita-cita politik, dan tekad untuk menggulingkan kolonialisme di kalangan mahasiswa Tiongkok. Untuk membangun Malaya yang demokratis, anti-Komunis, sosialis, Lee Kuan Yew memutuskan untuk membasmi para elit kelompok untuk membantunya mendapatkan dukungan dari para siswa yang berpendidikan Cina. Dia percaya bahwa dia dapat memenangkan para aktivis Tiongkok berpendidikan untuk mendukung tujuannya untuk pemerintahan sendiri dan kemerdekaan. Insiden 13 Mei memberi Lee Kuan Yew pengantar ke kalangan berpendidikan Cina,” tulis Guan dan Lim.

TAG

singapura tionghoa

ARTIKEL TERKAIT

Filantropi Tjong A Fie Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Diaspora Resep Naga Kiprah Tionghoa dalam Tinju dan Wushu Sejarah Gambang Kromong dan Wayang Potehi Sastra Melayu Tionghoa, Pelopor Sastra yang Merana Tentang Dua Kelenteng yang Bersejarah Pengaruh Tionghoa pada Masjid Demak dan Masjid Angke