Masuk Daftar
My Getplus

Pemulung Sampah dalam Sejarah

Kerja memulung sampah muncul dari laku menggelandang dan industrialisasi kota. Mereka turut mengurangi sampah yang teronggok di kota.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 29 Apr 2018
Para pemulung tengah bekerja di tumpukan sampah.

SEBUAH beko di puncak bukit sampah. Lengan seroknya merasuk ke timbunan sampah, lalu mengangkat timbunan itu dalam satu serokan, kemudian membuangnya ke arah lain. Belasan pemulung lekas menghampiri buangan sampah itu, mencari-cari sampah yang punya nilai ekonomis. Begitulah pemandangan keseharian di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.

Dari pemandangan keseharian itu, adakah muncul selintas pertanyaan tentang pemulung-pemulung itu, semisal bagaimana kerja memulung bisa muncul dalam sejarah Indonesia? Atau, bagaimana tempat mereka dalam sejarah Indonesia?

Kehadiran pemulung dalam sejarah Indonesia tak bisa lepas dari perkembangan laku menggelandang dan perkembangan kota di Indonesia. Dalam “Gelandangan Sepanjang Zaman” yang termuat di Gelandangan : Pandangan Ilmuwan Sosial, Onghokham menyebut kebiasaan menggelandang tak beda dari mengembara atau berkelana. Biasa dilakukan oleh para ksatria dari kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Advertising
Advertising

Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya II menganggap para penggelandang punya dua wajah berbeda dalam masyarakat: sebagai orang-orang biadab yang berpindah-pindah tempat dan satrya lelana yang mencari kearifan.

Kemudian Nusantara bergerak menuju era industrialisasi pada akhir abad ke-19. Pabrik-pabrik manufaktur bikinan orang Belanda dan Eropa berdiri di sejumlah kota di Hindia Belanda. Tenaga-tenaga ahli dan terampil menggerakkan pabrik, memproduksi segala rupa barang kebutuhan warga kota. Kota lalu menjadi pusat perputaran uang dan peraduan nasib banyak orang.

Orang-orang dari desa berdatangan ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Beberapa berhasil memperoleh kerja, lainnya tak kunjung dapat kerja sehingga luntang-lantung di kota tanpa uang di kantong dan tempat tinggal tetap. Mereka ini kemudian disebut gelandangan. Mereka mencari uang dari mengemis dan makan apa saja yang bisa diperoleh di jalanan.

Ketika Indonesia masuk alam kemerdekaan, gejala menggelandang karena desakan ekonomi tetap kentara di banyak kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Kota-kota ini merupakan kota padat penduduk di Indonesia. Migrasi urban menyebabkan jumlah penduduk di kota ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Dan peningkatan jumlah penduduk berujung kepada peningkatan produksi sampah padat di kota.

Teknologi plastik menyebar ke antero dunia pada 1950-an. Di Indonesia, pada masa itu pula banyak produk pakaian, minuman, dan makanan mulai dibungkus bahan plastik. Sementara beberapa produk lain menggunakan bahan kalengan sebagai pembungkus isi. Orang mengambil isinya, lalu membuang bungkusannya.

Tapi sebagian orang melihat bungkusan itu masih mempunyai nilai guna. Masih ada orang lain yang mau membayar sampah-sampah bungkusan itu. Di sinilah para gelandangan melihat kesempatan memperoleh uang. Mereka mengambil sampah bungkusan dan memasukkannya ke keranjang kayu yang tergantung di punggung mereka. Gelandangan yang cari hidup lewat sampah itu kemudian ramai dipanggil pemulung.

Henk Ngantung, gubernur Jakarta 1964-1965, menyaksikan aktivitas para pemulung saban pagi. “Pemandangan yang diperagakan oleh para gelandangan setiap pagi menjelang fajar, mereka menyusuri rumah-rumah penduduk dan dengan tekun mencari di tempat-tempat pembuangan sampah, benda-benda seperti kaleng-kalengan, kertas, dan sebagainya yang bagi mereka mengandung ‘nilai-nilai’ untuk kemudian diuangkan,” kata Henk dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966.

Aktivitas para pemulung itu membuat Henk kepikiran untuk mengelola sampah di Jakarta bersama mereka. “Memang pelaksanaannya tidak semudah sebagai yang dipikirkan, karena perlu didahului suatu research,” lanjut Henk. Dan Henk pada akhirnya memang tidak pernah berhasil membuat gagasannya jadi konkret, tersebab waktu yang tersedia baginya pendek saja.

Sementara Henk kelar jadi gubernur Jakarta, para pemulung ini melanjutkan hidup mereka berkarib dengan sampah. Di Jakarta, mereka menjadi ujung tombak dari sistem ekonomi yang terbentuk dari pabrik-pabrik penampung barang bekas dan para agen. Mereka menyuplai beling, logam, plastik, potongan kayu, sobekan kertas, dan segala macam sampah padat lainnya untuk pabrik penampung barang bekas.

Para pemulung mencomot sampah-sampah itu dari bak sampah perumahan dan tempat pembuangan sampah di pinggir kota. Mereka jelajahi sudut-sudut terkotor ibukota sembari membawa keranjang kayu atau karung untuk sampah temuan mereka. Mereka juga menggenggam sebuah besi panjang yang ujungnya agak bengkok untuk membantu mereka memungut sampah.

Setelah merasa cukup dengan temuannya, para pemulung membawanya ke lapak mereka. Di sinilah transaksi ekonomi terjadi antara mereka, agen, dan pabrik.

“Lapak telah mempertemukan kepentingan modal besar yang datang dari dunia industri dengan kepentingan kaum gelandangan yang menjalani hidup bebas dan bagaikan tanpa tujuan,” tulis Jacob Rebong dkk., dalam “Ekonomi Gelandangan: Armada Murah untuk Pabrik”, termuat di Prisma No. 3, Maret 1979.

Di Bandung, keadaan para pemulung juga tampak serupa dengan di Jakarta. Mereka telah menjadi ‘subsistem’ dalam pengelolaan sampah. “Dari sudut volume diperkirakan, bahwa sumbangan mereka pada waktu ini untuk mengurangi sampah yang harus dibuang, masih belum besar, dan hanya berkisar 10 persen saja,” ungkap Hasan Poerbo dkk., dalam “Pendekatan Pembinaan Sektor Informal Kasus Tukang Pungut Sampah di Bandung," termuat di Prisma, No. 3, 1985.

Menurut Hasan dkk., kehadiran pemulung baik sekali untuk pengelolaan sampah berbasis sistem Pemanfaatan Bahan Terpadu (PBT) atau sekarang dikenal sebagai Tempat Pembuangan Sampah Terpadu. “Mereka mengurangi beban pembuangan sampah; menciptakan lapangan kerja di sektor informal dengan investasi yang relatif sangat rendah, dan; mengurangi kebutuhan investasi dalam sistem pembuangan sampah.”

Kerja para pemulung turut mengurangi sampah yang teronggok di kota. Tanpa mereka, akan lebih banyak sampah di sudut-sudut kota.

Baca juga: 

Papa Mengepung Kota
Mengkritisi Si Elastis
Kelola Sampah untuk Cegah Musnah

TAG

pemulung sampah bandung jakarta

ARTIKEL TERKAIT

Bung Hatta "Ngedumel" di Jogjakarta Semsar Siahaan Menggali Kembali Kejahatan Negara Keluarga Ament Tuan Tanah Cibubur dan Tanjung Timur Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tuan Tanah Menteng Diadili Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Rawamangun Bermula dari Kampung Sepi Menggerakkan Ideologi Kebangsaan dari Bandung