BAGI sebagian orang di negeri Belanda, bekerja sebagai pegawai VOC di Batavia memberi harapan akan kehidupan yang lebih baik. Namun, kenyatannya mengubah nasib tak semudah membayangkannya. Tak jarang para imigran laki-laki dari Belanda maupun Eropa kesulitan mendaki puncak karier dan menembus lingkaran pergaulan pembesar dan orang-orang penting di Batavia.
Menurut Ulbe Bosma dan Remco Raben dalam Being “Dutch” in the Indies: A History of Creolisation and Empire, 1500–1920, sistem patronase yang mengakar di wilayah koloni Belanda merupakan poros pembuatan karier. “Di bawah kekuasaan kompeni, kehidupan di Hindia Timur belum dikuasai oleh hasrat akan ijazah dan sertifikat yang nantinya akan menancapkan cakarnya ke setiap kelas sosial. Alih-alih ijazah, surat rekomendasi sudah cukup,” tulis Bosma dan Raben.
Imbasnya, pernikahan menjadi jalan yang dipilih untuk mendaki puncak piramida VOC. Pegawai-pegawai VOC yang tengah merintis karier menargetkan putri para pejabat kompeni. Selain itu, menurut Leonard Blussé dalam “Port Cities of South East Asia: 1400–1800”, yang termuat dalam The Oxford Handbook of Cities In World History, mereka tak jarang mencari peluang dari janda-janda kaya di Batavia.
“Hampir semua pelayan kompeni datang ke Timur tanpa menikah, dan karena patronase memiliki peran yang sangat penting untuk kemajuan dalam hierarki perusahaan, menikahi seorang janda kaya atau putri muda dari pejabat kompeni dianggap sebagai tiket menuju kesuksesan,” tulis Blussé.
Baca juga: Ambisi Jan Pieterszoon Coen Membangun Koloni di Batavia
Jean Gelman Taylor dalam “Women As Mediator in VOC Batavia”, yang dipublikasikan dalam Women and Mediation in Indonesia menulis bahwa wanita Eurasia (Eropa-Asia) memberikan tempat bagi suami imigran mereka ke dalam masyarakat kolonial lokal. Mereka memberi saudara ipar dan ibu mertua yang juga orang Eurasia; mereka memberi nenek atau nenek buyut yang merupakan budak Asia atau selir yang dibebaskan. Mereka juga memberi saudara ipar Eurasia di Eropa, yang mungkin memiliki hubungan dengan dewan pemerintahan VOC di Belanda maupun dengan orang-orang di pos terdepan Belanda di Asia. Dan istri-istri Eurasia itu pula yang memberikan ikatan keluarga kepada suami imigran mereka dengan ayah mertua serta ipar laki-laki yang juga seorang imigran dari Eropa.
Hubungan itu menjadi penting dalam masyarakat Batavia yang kecil dan tertutup serta hierarkis, di mana orang-orang mencari hubungan yang langgeng untuk melancarkan upaya mendaki jabatan dalam pekerjaan sipil maupun membuka peluang untuk perdagangan pribadi. “Keanggotaan dalam klan Eurasia merupakan kunci dari terbentuknya kelompok yang memperebutkan kekayaan serta penguasaan sumber kekuasaan dalam masyarakat VOC, yakni Dewan Hindia,” tulis Taylor.
Anggota elite Batavia pada rentang abad 17 hingga abad 18 cenderung sering menikah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, mulai dari kondisi Batavia yang tidak sehat menyebabkan wabah mematikan memakan banyak korban jiwa hingga perbedaan usia yang mencolok antara pasangan pria dan wanita. Di sisi lain, hukum di Batavia tidak melarang para janda untuk menikah kembali, bahkan catatan perkawinan menunjukkan para janda menikah lagi dengan cepat.
Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Perselingkuhan
Administrator kolonial dan diplomat Inggris John Crawfurd mengungkapkan bahwa segera setelah seorang wanita menjadi janda dan jasad suaminya dikebumikan, yang umumnya pada hari berikutnya, jika janda ini mewarisi kekayaan mendiang suaminya maka ia akan segera menghadapi sejumlah peminang.
“Seorang nyonya yang ditinggal mati suaminya ketika aku ada di Batavia, pada minggu keempat ia menjadi janda sudah menemukan kekasih yang keempat; dan dalam akhir bulan ketiga ia sudah kawin lagi, malahan akan lebih cepat seandainya hukum memungkinkannya,” tulis Crawfurd dikutip Leonard Blussé dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC.
Apa yang diungkapkan Crawfurd cukup menjadi bukti bahwa para perempuan yang membentuk elite Batavia ini memiliki peranan penting dalam menghubungkan para lelaki yang berkuasa dengan menghindarkan adanya pengkhianatan. Sehingga, menurut Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun, pandangan yang mengatakan bahwa perempuan-perempuan ini terombang-ambing di antara kelompok, berarti tidak menghargai fondasi kuat yang sering kali diberikan mereka dalam keluarga-keluarga Batavia.
“Di kalangan berada, para perempuan merupakan sarana untuk menciptakan aliansi kuat antarkeluarga. Sering kali laki-laki Belanda yang baru datang, tergabung dalam kalangan elite melalui pernikahan dengan putri dari keluarga terkemuka Batavia,” tulis Susan.
Baca juga: Pergi ke Gereja pada Masa VOC
Hal senada diungkapkan Taylor yang menyebut perempuan-perempuan elite Batavia dihormati dan dilindungi oleh pemerintah VOC di depan umum. Para anggota dewan yang berkuasa bahkan tidak mentolerir cemoohan rasial yang dilontarkan para prajurit biasa, pelaut maupun pelancong yang kerap memberikan deskripsi keji tentang wanita Eurasia yang muncul dalam buku yang diterbitkan di Eropa, bukan di Batavia. Besarnya pengaruh para perempuan ini mendorong gubernur jenderal untuk menyatakan hari ulang tahun istri Eurasia sebagai hari libur dan menetapkan hari berkabung publik ketika kerabat perempuan anggota dewan meninggal. Mereka juga mendapat perlakuan istimewa, seperti diizinkan memakai perhiasan dan sutra mahal, mendapat fasilitas tambahan yang menunjang gaya hidup mewah, serta hanya mereka yang bisa menghadiri acara publik dengan didampingi para budak.
Sementara itu, bila para imigran laki-laki Eropa umumnya mengharapkan patronase atau perlindungan untuk bisnis maupun kariernya dalam VOC, maka perempuan-perempuan Eurasia bisa mengharapkan dukungan dari para suami Eropa mereka. Namun, pernikahan seperti itu tak selalu berjalan baik. Setidaknya ada satu kasus yang menggegerkan publik Batavia, yaitu pernikahan janda kaya Cornelia van Nieuwenroode dengan Johan Bitter, seorang imigran Belanda yang berprofesi sebagai pengacara.
Baca juga: Pahitnya Hidup Cornelia
Perselisihan terjadi karena Bitter sebagai suami merasa berhak mengatur keuangan dan aset-aset yang didapatkan Cornelia dari mendiang suami pertamanya. Namun, Cornelia menolak permintaan Bitter bahkan meminta pemisahan dan perlindungan propertinya. Kasus ini menjadi perhatian Dewan Hindia. Para anggota dewan yang kebanyakan menikah dalam keluarga Eurasia mengabulkan permintaan Cornelia untuk pemisahan dan perlindungan asetnya serta berupaya mengusir Bitter dari Batavia. Namun, Bitter yang tak terima dengan keputusan itu membawa kasusnya ke pengadilan tinggi di Belanda. Dalam sidang yang digelar di Den Haag, pengadilan yang tidak memiliki kaitan dengan kepekaan elite Batavia, memutuskan untuk mendukung Bitter.
“Kasus Cornelia mungkin unik, tetapi bagaimanapun juga tekad besar Cornelia untuk menjaga harta warisannya di bawah kendalinya sendiri dapat menjadi contoh yang mencolok dari seorang wanita Eurasia yang secara aktif menuntut hak-haknya, daripada hanya menjadi pion dari orang tua yang ambisius,” tulis Taylor.*