Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Hubungan Sukarno dan Dosennya

Sukarno berguru pada dosen yang eksentrik. Dia belajar arsitektur di rumahnya ditemani binatang liar seperti macan kumbang dan ular.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 08 Jul 2019
Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker dan Ir. Sukarno. Guru dan Murid yang punya hubungan dekat. (Wikimedia).

Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) menyimpan awal kisah hubungan abadi antara dosen dan mahasiswanya pada masa kolonial. Saat masih bernama Technische Hoogeschool Bandung (THB), seorang dosen arsitektur berkebangsaan Belanda bernama Prof. Charles Prosper (C.P.) Wolff Schoemaker memiliki mahasiswa favorit. Dialah pemuda Sukarno.

Sukarno mulai berkuliah di THB pada 1 Juli 1921. Schoemaker mengajar setahun berselang. Semula kedatangan Schoemaker ke THB melecut semangat para mahasiswa mengikuti kuliah. Dia arsitek terpandang, berpengetahuan luas mengenai kebudayaan Timur, dan lincah menulis kritik arsitektur kolonial di majalah. Tetapi semangat itu langsung ciut begitu mahasiswa mengikuti kuliahnya.

Cara Schoemaker menyampaikan kuliah tidak sebagus tulisannya. Dia juga terlalu cepat menjelaskan sesuatu. Para mahasiswa sukar menangkap inti ceramahnya. “Sebagian dari mereka beranggapan bahwa kuliah yang dia berikan tidak jelas dan bertele-tele. Alhasil, banyak dari mereka menganggap perkuliahannya sulit untuk diikuti,” tulis C.J. van Dullemen dalam Arsitektur Tropis Modern Karya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker.

Advertising
Advertising

Sukarno tidak mengalami kesulitan seperti mahasiswa umumnya. Dia menunjukkan kepandaiannya dalam kelas Schoemaker. Ini membuat Schoemaker menyukainya. “Aku menghargai kemampuanmu,” kata Schoemaker kepada Sukarno dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Belajar bareng Ular

Sukarno pun menghormati pandangan-pandangan Schoemaker tentang kemanusiaan dan masyarakat Hindia Belanda. Bagi Sukarno, Schoemaker adalah dosen yang komunikatif dan mempunyai wawasan terbuka.

“Salah seorang dosenku, Profesor Ir. Wolff Schoemaker, adalah orang besar. Baginya tidak ada orang kulit putih atau kulit sawo matang. Tidak ada orang Belanda atau orang Indonesia. Tidak ada penjajah atau orang merdeka,” kata Sukarno.

Usia Schoemaker dan Sukarno berjarak cukup jauh. Beda 20 tahun. Tetapi gagasan tentang kemanusiaan mendekatkan mereka. Dari sini hubungan mereka bertumbuh akrab. “Dua orang yang saling bersahabat,” demikian pendapat Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek. Selain itu, mereka mempunyai beberapa kesamaan minat. “Arsitektur, seni, dan perempuan cantik,” ungkap Dullemen. Klop.

Baca juga: Ketika Arsitek Belanda Masuk Islam

Sukarno kerap datang ke rumah Schoemaker. Banyak benda seni dan binatang liar seperti macan kumbang dan ular di rumah Schoemaker. Beberapa mahasiswa Schoemaker ketakutan ketika melihat ular-ular berbisa peliharaannya di studio.

Schoemaker bilang bahwa dia punya cukup anti racun jika ular-ular peliharaannya lepas dan menggigit tetamunya. Tetapi tetamu tidak lantas percaya dan berani setelah mendengar hal tersebut. Mereka lintang-pukang meninggalkan rumah Schoemaker.

Di rumah seperti itulah Schoemaker memberi Sukarno ilmu menggambar secara khusus. Sukarno berupaya melawan ketakutannya berada di rumah profesor eksentrik demi memperoleh ilmu tersebut. Hasil belajar Sukarno memuaskan Schoemaker. Ketika lulus kuliah pada 1926, Sukarno diajak oleh Schoemaker untuk menjadi asisten dosen. Tetapi Sukarno menolak.

“Memang benar bahwa menjadi asisten dosen di Sekolah Tinggi Teknik merupakan suatu kehormatan bagi seorang muda yang baru lulus, tetapi untuk sementara waktu kegiatan itu tidak akan menghasilkan uang,” tulis Lambert Giebels dalam Soekarno Biografi 1901-1950.

Sukarno butuh uang. Bantuan keuangan dari keluarganya tidak lagi ada sejak dia wisuda. Inggit Garnasih, istrinya, bahkan harus menjual beberapa perhiasannya untuk mendapatkan uang belanja. Kemudian tawaran Schoemaker datang lagi ke Sukarno. Kali ini menghasilkan uang. 

“Engkau memiliki pemikiran yang kreatif. Aku minta engkau bekerja di pemerintahan,” kata Schoemaker kepada Sukarno. Dia merekomendasikan Sukarno kepada Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau Pekerjaan Sipil Umum. Kerjaan Sukarno adalah merancang rumah bupati di Jawa Barat.

Berbagi Order

Pilihan sulit bagi Sukarno. Di satu sisi, dia butuh uang. Sisi lainnya, dia enggan bekerja sebagai bawahan orang Belanda. Apalagi menurut Sukarno, calon atasannya tidak tahu sama sekali mengenai kehidupan kalangan anak negeri. Sukarno sampaikan pendapatnya secara blak-blakan kepada Schoemaker.

“Profesor, aku menolak untuk bekerja sama, supaya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Bila aku bekerja pada pemerintah Hindia Belanda, secara diam-diam aku membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu,” kata Sukarno.

Sukarno mengutarakan keinginannya mendirikan biro arsitek sendiri. Schoemaker mendengarkan semua keberatan dan keinginan Sukarno. Sudah itu, giliran dia bicara. Dia berusaha meyakinkan Sukarno bahwa biro arsitek buatan anak negeri akan sulit berkembang.

“Itu akan memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa maju. Hanya orang-orang Belanda yang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintah yang bisa berhasil mendirikan biro arsitek,” ujar Schoemaker.

Schoemaker bilang kepada Sukarno bahwa dia tak perlu bekerja di BOW untuk selamanya. Tak perlu juga jadi pegawai tetap jika dia tidak suka di sana. Schoemaker memohon Sukarno untuk menyelesaikan satu pekerjaan saja, yaitu merancang rumah Bupati.

Pekerjaan itu, menurut Schoemaker, penting bagi seorang insinyur muda untuk mengasah dan mengembangkan bakatnya. “Cobalah kerjakan untuk memenuhi permintaanku,” pinta Schoemaker.

Baca juga: Mengapa Bandung Dijuluki Parijs van Java?

Atas dasar adab murid kepada gurunya, Sukarno menerima pekerjaan itu. Kerja Sukarno amat mengesankan orang-orang di BOW. “Pekerjaan ini sangat berhasil dan aku dibanjiri dengan permintaan untuk mengerjakan karya teknik semacam itu untuk pejabat-pejabat lain,” kenang Sukarno.

Sukarno menampik semua tawaran itu dan lekas keluar dari BOW. Dia bilang kepada Schoemaker bahwa kelak dia ingin membangun sebuah rumah besar, yaitu sebuah negara dari usahanya sendiri. Schoemaker tidak bisa menahannya lagi. Kini Sukarno bekerja di biro arsiteknya sendiri di Jalan Regentsweg Nomor 22, Bandung, bersama kawannya, Anwari.

Pasar bagi insinyur terbuka lebar. Bandung sedang mengalami peningkatan jumlah penduduk. Kerja konstruksi dan sipil ikut meningkat. Tetapi order untuk biro arsitek Sukarno dan Anwari jauh dari biaya operasional bulanan. Sementara itu, Schoemaker justru kebanjiran order. Dia melimpahkan sebagian order itu untuk Sukarno. Salah satunya renovasi Hotel Grand Preanger.

Surat-menyurat

Setelah itu, hubungan Schoemaker dan Sukarno masuk periode tegang. Sukarno makin gencar mengkritik pemerintah kolonial. Itu menyebabkan dia terkena hukuman penjara dan pengasingan. Schoemaker sangat menyayangkan penangkapan dan pengasingan itu.

Schoemaker dan Sukarno terpisah jarak dan harus berkirim surat untuk berhubungan. Dalam surat kepada Sukarno, Schoemaker menulis keberatannya terhadap aktivitas dan ide politik Sukarno. Surat itu berbalas jawaban cukup keras dari Sukarno. “Dia menuduh bekas profesornya telah mengkhianati rakyatnya,” terang Dullemen.

Tetapi jawaban keras itu bukanlah tanda putusnya hubungan murid dengan gurunya. Sukarno tetap menghormati Schoemaker. Pada masa pendudukan Jepang, Sukarno telah bebas dan memperoleh kedudukan istimewa.

Orang-orang Belanda menjadi paria. Bahkan Schoemaker pun ditahan tentara Jepang meski tidak lama. Dullemen menduga ada peran Sukarno dalam pembebasan Schoemaker. Sebab Sukarno mengunjungi Schoemaker beberapa kali setelah pembebasan itu.

Kemerdekaan Indonesia pada 1945 menyibukkan Sukarno. Keduanya terpisah jarak lagi. Sukarno telah mewujudkan keinginan yang dulu disampaikan kepada Schoemaker. Dia telah membangun sebuah rumah besar bernama Republik Indonesia. Sedangkan Schoemaker berada di posisi sulit. Rumahnya dibakar gerombolan anti-Belanda.

Baca juga: Zaman Berdarah

Konflik Indonesia dan Belanda selama 1945—1949 menempatkan Schoemaker dalam posisi dimusuhi oleh dua kelompok: pro-Republik dan pro-Belanda. Kedekatannya dengan Sukarno tidak membuat kaum pro-Republik simpati dengannya. Sebaliknya, orang-orang Belanda menganggapnya musuh negara lantaran dekat dengan Sukarno.

Selama perang, Sukarno dan Schoemaker masih berkirim surat. Isinya seputar pekerjaan, perkembangan arsitektur, Islam, dan curhat Schoemaker tentang penyakitnya.

Schoemaker pergi mendahului Sukarno menghadap Tuhan pada 22 Mei 1949. Sukarno memberikan penghormatan terakhir pada sang guru dengan merancang nisan untuknya.

Nisan itu berdiri tegak di makam Schoemaker di Ereveld Pandu, Bandung, hingga sekarang. Tanda abadi khidmat murid kepada gurunya.

TAG

Sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno*