Kerusuhan di kawasan Tanah Abang pada 21-22 Mei menyisakan sejumlah cerita sumir. Misalnya tentang Masjid al-Makmur Tanah Abang. Dua tokoh nasional sempat berbicara di masjid ini. Mereka adalah Sjafrie Sjamsoeddin dan Amien Rais. Pilihan politik mereka jatuh pada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Kedatangan dua tokoh tersebut ke masjid al-Makmur mengarahkan orang pada dugaan bahwa masjid ini mempunyai hubungan dengan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Tapi Habib Hasan bin Zainal Abidin al-Habsyi, sekretaris masjid, lekas meluruskan dugaan itu.
“Masjid ini sebenarnya masjid yang netral. Jadi masjid ini menjadi tempat singgah siapa pun orang muslim. Termasuk kepada laskar Hizbullah yang berjuang pada tahun 1945 itu. Masjid al-Makmur memang berdiri di atas dasar ahlussunnah wal jama’ah. Itu sudah jadi ketetapan dari awal pendirian masjid ini,” kata Habib Hasan kepada Historia.
Baca juga: Makam di Sisi Masjid Perlawanan
Habib Hasan menambahkan keterangan bahwa sejarah masjid al-Makmur kental dengan nilai-nilai persatuan. Masjid ini merangkul siapa saja dari kelompok mana pun. “Masjid ini sebenarnya welcome. Tidak ada warna khusus. Asal ahlussunnah wal jama’ah. Di sini para pengurusnya ada yang dari al-Irsyad, dari Rabithah Alawiyah, dari masyarakat Melayu, dan sebagainya. Jadi campur-campur,” ungkap Habib Hasan.
Citra Masjid al-Makmur bersesuaian dengan identitas kawasan Tanah Abang itu sendiri, tempat di mana masjid berdiri. “Tanah Abang ini memang daerah multietnis. Ada Melayu, Arab, Cina, dan Belanda, bisa hidup berdampingan di sini,” kata Habib Hasan.
Dari musala kecil
Pendirian Masjid al-Makmur tak lepas dari keberadaan pasukan Mataram di sekitar Batavia. Kehadiran mereka bermula dari rencana serangan Kesultanan Mataram terhadap VOC di Batavia pada 1628 dan 1629.
“Pasukan Mataram mendirikan pos pantau di Tanah Abang untuk melihat aktivitas pasukan VOC. Dulu wilayah ini tinggi. Maka ada wilayah bernama Tanah Abang Bukit. Dari sini laut (Kota Tua, red.) dapat terlihat,” kata Anang, penduduk sekitar sekaligus staf masjid.
Selain mendirikan pos pantau, pasukan Mataram membangun musala berukuran 8x12 meter. Inilah musala cikal bakal Masjid al-Makmur. Anang memperoleh cerita turun temurun bahwa musala mempunyai rubanah (ruang bawah tanah). “Tapi seluas mana, kami tidak tahu,” kata Anang. Rubanah berfungsi untuk mendiskusikan serangan terhadap VOC.
Baca juga: VOC Gunakan Tinja untuk Melawan Mataram
Habib Hasan mempunyai keterangan berbeda terkait awal mula Masjid al-Makmur. Menurutnya, orang-orang dari Mataram atau Demak memang berperan dalam pendirian awal musala. Tetapi tahun pendiriannya bukan 1628-1629, melainkan 1704. Dia juga tidak menemukan rubanah seperti cerita Anang.
Abdul Chaer dalam “Mesjid-Mesjid Lama di Jakarta Sampai Abad ke-18” termuat di Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi menyebut pendiri musala tersebut bernama KH. Abdul Somad Asyura dan KH. Abdul Murad Asyura. Mereka keturunan Pangeran Kadilangu, pendakwah Islam asal Demak.
Keturunan Pangeran Kadilangu menjadikan Tanah Abang sebagai basis dakwah Islam di Batavia. Mereka mendirikan musala sebagai sarana penunjang dakwah Islam.
Musala tersebut berkembang memasuki 1800-an. Ketika itu orang-orang dari Hadramaut mulai bermukim di kawasan Tanah Abang. Dua saudagar dari komunitas Arab, Abubakar bin Muhammad bin Abdurrahman al-Habsyi dan Alwi bin Abdurrahman al-Habsyi mengembangkan musala menjadi masjid pada 1886.
Baca juga: Doa Silaban Ketika Merancang Masjid Istiqlal
Kemudian dua saudagar itu juga membeli tanah-tanah di sekitar masjid untuk perluasan masjid. Luas tanah tambahan sekira 3000 meter persegi.
Masjid ini menjadi bangunan permanen dan indah pada 1915 berkat bantuan keluarga-keluarga keturunan Arab lainnya seperti keluarga bin Sunkar dan bin Thalib. Mereka mendesain ulang masjid, menyerahkan pengerjaannya pada arsitek berkebangsaan Belanda, dan membiayai pengerjaannya.
“Bentuk masjid ini, seperti sekarang ini, bermula dari desain tahun 1915 itu,” kata Habib Hasan. Sampai sekarang bentuk asli masjid masih terjaga. Utamanya di bagian depan.
Peran Kebangsaan
Masjid al-Makmur mengambil perannya dalam pergerakan nasional. Peran ini berawal dari keterlibatan pengurus masjid dalam Jami’at Khair, lembaga pendidikan modern berbasis Islam dan berdiri di Tanah Abang pada 1901.
Para pengajar dan anggota Jami'at Khair juga menjadi pengurus di Masjid Al-Makmur. Letak kedua bangunan juga sangat berdekatan sehingga ikut mempengaruhi peran masjid.
Jami’at Khair memadukan keilmuan Islam dengan sains modern. Pendiri Jami’at Khair memperoleh inspirasi pemikirannya dari Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, tiga tokoh pembawa gagasan pembaruan di dunia Islam pada awal abad ke-20.
Jami’at Khair sebermula hanya membuka kesempatan pendidikan untuk keturunan Arab. Tetapi kemudian kesempatan pendidikan itu terbuka juga untuk kelompok anak negeri.
Jami’at Khair menjadi magnet kaum intelektual muslim di Hindia Belanda. Beberapa tokoh pergerakan Islam di Indonesia menjadi anggotanya. Misalnya KH. Ahmad Dahlan, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan Haji Agus Salim.
Melalui masjid ini, pengajar di Jami’at Khair menyebarkan gagasan Islam dan kebangsaannya secara lebih luas kepada penduduk. Penggunaan khotbah dalam bahasa Melayu turut mendorong persebaran gagasan tersebut.
Baca juga: Sejarah Bahasa Khotbah Jumat
Garis kebangsaan Masjid al-Makmur kian tegas pada masa Revolusi Fisik (1945-1949). Masjid Jami’ Al-Makmur menjadi tempat singgah para pejuang kemerdekaan. Kebanyakan mereka anggota laskar Hizbullah. Tetapi di luar itu, masjid juga menerima pejuang kemerdekaan dari kelompok lain seperti para pendekar silat dari berbagai aliran.
Berbagai kelompok di Masjid al-Makmur bersatu menghadapi serangan tentara NICA dan Belanda di Tanah Abang. Pertempuran itu tercatat dengan baik dalam beberapa literatur. Antara lain dalam Kampung Tua di Jakarta terbitan Dinas Museum dan Sejarah Provinsi Jakarta dan Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 10 karya Abdul Harris Nasution. Tetapi dua literatur tersebut tidak mencatat peran Masjid al-Makmur.
Peran Masjid al-Makmur selama Revolusi Fisik termaktub dalam KH. Hasan Basri 70 Tahun: Fungsi Ulama dan Peranan Masjid karya Ramlan Mardjoned.
“Masjid al-Makmur di Tanah Abang yang dibangun tahun 1932 M, dijadikan markas menghimpun pemuda-pemuda Betawi dalam menghadapi tentara Belanda dan NICA. Di Masjid al-Makmur itu menjadi pusat mengatur strategi dan taktik penyerangan menghadapi pasukan Sekutu dan Belanda di Jakarta,” tulis Ramlan.
Baca juga: Asal Usul Nama Kampung Bali Tanah Abang
Memasuki masa kemerdekaan, peranan Masjid al-Makmur lebih dekat pada urusan pendidikan dan perdagangan. Sejumlah ulama dari Timur Tengah berdatangan ke masjid ini pada 1950-an. Sementara itu, para pedagang dan pembeli dari Tangerang, Depok, dan Bekasi di pasar Tanah Abang memanfaatkan masjid sebagai tempat ngadem.
“Hal ini mungkin saja karena masjid ini mempunyai serambi depan yang luas dan nyaman sehingga memungkinkan orang bisa duduk-duduk, bahkan tidur-tiduran,” tulis Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe.
Pemandangan orang ngadem di Masjid al-Makmur masih terlihat hingga sekarang. Meskipun jalanan dan kawasan sekitar masjid kian padat.