Masuk Daftar
My Getplus

Bobolnya Gedung Capitol

Massa demonstran pro-Donald Trump membobol Gedung Capitol. Invasi dan vandalisme pertama di situs simbol demokrasi Amerika dalam dua abad terakhir.

Oleh: Randy Wirayudha | 09 Jan 2021
Gedung Capitol, kawah candradimuka demokrasi Amerika Serikat. (uscp.gov/aoc.gov).

GEDUNG Capitol di Washington DC, Amerika Serikat, diserang dan diduduki massa pendukung Donald Trump pada Rabu (6/1/2021) siang hingga petang waktu setempat. Simbol parlemen negeri adidaya itu dikuasai karena massa tak terima figur yang diusungnya, petahana dalam Pilpres 2020, kalah dari Joe Biden.

Sebagaimana dirangkum Boston Globe, Rabu (6/1/2021), ribuan pendukung Trump berbondong-bondong dari The Ellips, taman di sisi selatan Gedung Putih, menuju Gedung Capitol. Mereka terprovokasi pernyataan Presiden Trump yang bersikeras kekalahannya karena dicurangi.

“Kita bertarung habis-habisan karena jika tidak, kita akan kehilangan negara kita. Kita akan turun ke jalan menyusuri Pennsylvania Avenue dan kita akan menuju (gedung) Capitol,” seru Trump kepada ribuan pendukungnya di The Ellips.

Advertising
Advertising

Di saat yang sama di Gedung Capitol, para anggota senat dan legislatif tengah merampungkan penghitungan suara final dan kemudian akan meresmikan kemenangan pasangan Joe Biden dan Kamala Harris dari Partai Demokrat. Namun belum lagi agenda mereka rampung, ribuan massa pro-Trump sudah menerobos barikade dan aparat keamanan Capitol.

Baca juga: Joe Biden dan Pemimpin Gagap

Pendudukan Gedung Capitol oleh massa perusuh pro-Donald Trump. (Wikipedia).

Aparat keamanan tak mampu membendung arus massa. Kekuatan mereka dipecah antara untuk yang mengadang dan mengevakuasi para anggota senat dan legislatif serta wakil presiden petahana Mike Pence. Sekira pukul 2.30 siang, Gedung Capitol pun dikuasai massa yang kemarahannya mereka salurkan ke tindakan penjarahan, vandalisme, dan pengrusakan.

Butuh waktu tiga jam bagi para anggota Kepolisian Capitol dan Metropolitan DC, yang dibantu para agen FBI dan Homeland Security, untuk merebut kembali Gedung Capitol. Bentrokan sempat terjadi dengan klimaksnya terdengar beberapa kali suara tembakan. Sebanyak 70 orang luka-luka dan lima nyawa melayang, satu dari aparat kepolisian dan empat dari pihak massa.

Baca juga: Darah Aktivis Kamala Harris

Penangkapan terhadap 80 oknum massa yang mengikutinya kemudian menuai kecaman. Selain dari politisi Partai Demokrat maupun Republik, kecaman juga datang dari kalangan akademisi. Sosiolog Profesor David Meyer dari University of California, salah satunya.

“Gedung Capitol adalah magnet bagi aksi unjuk rasa dan kadang kekerasan yang menyertainya. Hanya saja yang sangat tidak masuk akal kali ini adalah, Presiden Amerika (Donald Trump) sendiri yang mengajak massa untuk melakukan kekerasan terhadap lawan politiknya,” ujar penulis The Politics of Protest: Social Movements in America itu kepada Reuters, Jumat (8/1/2021).

Meyer juga mengungkit bahwa itu bukan kali pertama simbol demokrasi Amerika yang terbagi dua kamar parlemen itu diinvasi. Dua abad silam, hal serupa pernah terjadi meski faktor penyebab dan kondisinya berbeda.

Capitolinus, Capitolina, Capitol

Gedung Capitol dibangun bersamaan dengan Capitol Hill yang jadi kawasan tempat tinggal tertua di Washington City (kini Washington DC), kota yang menyandang nama presiden pertama, George Washington. Kota itu baru dibangun dan akan dikembangkan sebagai calon ibukota baru, menggantikan Philadelphia yang menjadi ibukota sementara sejak Revolusi Kemerdekaan Amerika. Gagasan pemindahan ibukota oleh pemerintah federal lantas direalisasikan lewat dikeluarkannya Residence Act pada 1790, di mana ibukota akan dipindah dari Philadelphia ke Washington City (kini Washington DC). 

“Setelah adanya Residence Act, pada Maret 1791 (menteri luar negeri) Thomas Jefferson mengemukakan usulan rencana tata kotanya kepada (presiden) George Washington. Pada 4 April (1791) Washington mempercayakan penggarapan rencananya kepada Mayor Pierre Charles ‘Peter’ L’Enfant, seorang insinyur di kalangan militer Amerika keturunan Prancis,” ungkap James D. Kornwolff dkk. dalam Architecture and Town Planning in Colonial North America, Volume 3.

Baca juga: Donald Trump dan Tiara Penolak Bala

Arsitek William Thornton (kiri) dan cetak biru L'Enfant Plan. (National Gallery of Art/Repro: History of the United States Capitol).

Khusus untuk gedung parlemen yang dalam cetak biru masih disebut sebagai “Congress House”, Mayor L’Enfant menetapkan lokasinya di Jenkin’s Hill. Posisinya tepat di seberang President’s Mansion (kini Gedung Putih) yang hanya terpisahkan bentangan jalan Pennsylvania Avenue.

Setelah penentuan lokasi, desain Congress House bersamaan dengan desain President’s Mansion disayembarakan oleh Jefferson pada 1792 dengan iming-iming hadiah uang 500 dolar dan sebidang tanah di Washington City. Sayembara itu dimenangkan oleh desain karya arsitek William Thornton.

Menurut William C. Allen dalam History of the United States Capitol: A Chronicle of Design, Construction, and Politics, desain Thornton dianggap yang paling elegan di antara 10 karya arsitek yang ikut sayembara. Desain Congress House Thornton terinspirasi dari dua monumen megah di Paris: Monumen Panthéon dengan kubah besarnya dan Louvre Colonnade atau muka bangunan sisi timur Palais du Louvre dengan pilar-pilar megah bergaya Romawinya.

Baca juga: Tradisi Islam di Gedung Putih

Desain awal Congress House alias Gedung Capitol karya arsitek William Thornton. (Library of Congress).

Pembangunannya kemudian dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden Washington pada 18 September 1793, dan rampung tujuh tahun berselang. Sesuai rencana awal, gedung tersebut mulai ditempati para anggota parlemen tahun 1800. Nama Congress House kemudian diganti menjadi The Capitol, senada dengan permukiman Capitol Hill yang juga bagian tata kota garapan L’Enfant.

“Jeffersonlah yang konsisten dan bersikeras kala beraudiensi dengan anggota legislatif bahwa gedungnya akan dinamai ‘Capitol’ ketimbang ‘Congress House’ sebagaimana dalam rencana L’Enfant. Nama ‘Capitol’ bersumber dari bahasa Latin untuk penyebutan Kuil Dewa Jupiter Capitolinus yang berlokasi di atas Bukit Capitolina, Roma, Italia,” singkap Allen.

Kendati begitu, lanjut Allen, belum ada penjelasan lebih terang terkait hubungan antara kuil di Roma itu dengan gedung parlemen di Washington. Kemungkinan besar Jefferson memilih nama itu sekadar menyamakan beberapa bagian arsitekturnya yang bergaya Romawi.

Dikuasai dan Dibakar Pasukan Inggris

Belum dua dekade digunakan para anggota parlemen Amerika, Gedung Capitol diinvasi, dirusak, hingga dibakar pasukan Inggris. Petaka itu datang pada 24 Agustus 1814 di tengah Perang 1812 yang berlangsung 18 Juni 1812-17 Februari 1815.

Perang 1812 adalah konflik skala besar antara Amerika dan Inggris setelah Perang Revolusi Amerika (1775-1783). Inggris menjadikan Washington City sasaran untuk diratakan dalam Kampanye Chesapeake, satu bagian dalam Perang 1812, sebagai balasan terhadap pembumihangusan Port Dover, ibukota Provinsi Upper Canada, oleh pasukan Amerika pada Mei 1814.

Dalam kampanye Chesapeake, 4.500 ribu personil pasukan Inggris pimpinan Jenderal Robert Ross dengan gemilang memukul pasukan Amerika yang dikomando Jenderal William H. Winder –yang jumlahnya nyaris dua kali lipat– pada 24 Agustus 1814 dalam pertempuran dramatis di kota Bladensburg, 13,8 km timur laut Washington City. Usai Pertempuran Bladensburg, hari itu juga pasukan Jenderal Ross terus menerjang musuhnya hingga memasuki Washington City.

“Seiring laju mundur pasukan Amerika, Inggris yang masuk ibukota pada malam hari mulai menunaikan kesumatnya lewat darat dan laut atas serangan Amerika ke ibukota Kanada sebelumnya. Pasukan Inggris menghancurkan gedung-gedung pemerintahan federal,” sambung Allen.

Baca juga: Sejarah Presidentinlinna, Istana Presiden Finlandia

Gedung Capitol termasuk yang jadi sasaran. Setelah diserbu, gedung setinggi 88 meter itu barang-barangnya dijarah dan bangunannya dirusak dan dibakar atas perintah Jenderal Ross. Ketika ditinggalkan pasukan Inggris, Gedung Capitol hanya menyisakan aula sisi barat yang masih utuh.

“Kerugian dari pembakaran itu antara lain jurnal-jurnal rahasia negara yang disimpan di ruangan juru tulis Gedung Capitol, juga sejumlah barang seni, naskah-naskah bersejarah, buku-buku dan peta-peta di perpustakaan. Walau aula legislasinya masih utuh, tetap saja kerusakan-kerusakannya jadi kerugian yang sangat besar,” tambahnya.

Pasukan Inggris memasuki Washington City (atas) dan Gedung Capitol setelah dibakar Inggris (bawah). (Library of Congress/Repro History of England, from the Earliest Periods).

President’s Mansion yang kini bernama Gedung Putih juga mengalami nasib serupa seiring pembumihangusan Washington City. Beruntung, hujan badai mengguyur Washington City keesokan paginya sehingga memadamkan kebakaran hebat di seantero kota.

Gedung Capitol bersamaan dengan President’s Mansion baru dibangun kembali setelah perang berakhir, tepatnya pada 1815. Selain diperbaiki, aula di kedua sayap bangunan yang menjadi “kandang” para anggota senat dan legislatif itu didesain ulang oleh duet arsitek George Bomford dan Joseph Gardner Swift.

Seiring dengan bertambahnya anggota parlemen dari negara bagian-negara bagian baru, pada 1850 Gedung Capitol mengalami perluasan di kedua sayapnya di bawah pimpinan arsitek Thomas Ustick Walter. Kendati sejumlah renovasi dan penambahan bangunan terjadi hingga 1960, bentuk dan luas bangunan Gedung Capitol tak lagi berubah setelah gedung tersebut dinyatakan sebagai National Historic Landmark oleh National Park Service.

Baca juga: Monumen yang Ternoda

TAG

amerika serikat donald trump

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu Gara-gara Iklan Pertunangan Palsu Awal Mula Biro Iklan Mencari Pasangan Lewat Koran Pengemis dan Kapten Sanjoto Insiden Menghebohkan di Stasiun Kroya Bersepeda Keliling Dunia Mengirim Bayi dan Anak-anak Lewat Paket Pos