Paris Pernandes mengambil sikap hormat. Kepada para penonton, dia menghaturkan sapaan ramah, “Salam dari Binjai.” Sejurus kemudian, jejaka ini langsung menggebuk pokok pisang sampai tumbang bak petinju di atas ring. Entah, apa salah pohon pisang itu. Tapi, aksinya itu malah berhasil menarik perhatian publik di jagad sosial media. Orang-orang jadi latah mengucapkan “Salam dari Binjai” lalu meninju pohon pisang dengan aneka gaya. Kota Binjai pun dikaitkan dengan pisang. Padahal, sejak lama Binjai dijuluki sebagai Kota Rambutan.
Binjai terletak 22 km di sebelah barat kota Medan. Ihwal toponimi Binjai sendiri setidaknya terjejaki dari catatan penjelajah Skotlandia John Anderson. Pada 1823, Anderson mengunjungi pantai timur Sumatra untuk membuka hubungan perdagangan atas perintah Gubernur Jenderal Inggris W.E. Philip. Ketika memasuki pedalaman, Anderson memasuki sebuah perkampungan kecil di pinggir Sungai Bingai. Di sana, seperti ditulis Anderson dalam Mission to The East coast of Sumatra 1823, berpenduduk 50 keluarga dan rumah mereka dibangun di bawah pohon binjai yang rindang dan berbatang besar.
Versi lain menyebutkan Binjai bertautan erat dengan mobilitas suku Karo di masa lalu. Berdasarkan cerita turun-temurun, daerah Binjai merupakan jalur dagang orang Karo yang ingin membarter hasil bumi dengan garam ke kawasan pesisir. Perjalanan itu membutuhkan waktu lama sehingga para pedagang mesti bermalam atau beristirahat. Dari sinilah kemudian lahir istilah “ben-ijai”, yang dalam bahasa Karo berarti “singgah di sini.” Lambat laun, dari tempat singgah, Kuta Benjei berkembang menjadi bandar perdangangan. Lada yang menjadi komoditas utama bahkan sampai di ekspor ke Penang, Malaya.
Baca juga: Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Pada masa kolonial, Binjai masuk ke dalam wilayah konsesi perkebunan tembakau. Namun, untuk mewujudkan itu, pemerintah Belanda harus menaklukkan penguasa setempat. Adalah Datuk Sunggal yang tegas menentang penyerahan konsesi tanah kepada Belanda yang dilakukan Kesultanan Deli. Pertentangan inilah yang kemudian mengakibatkan Perang Sunggal.
Pejuang Sunggal membangun benteng pertahanan di Timbang Langkat yang saat ini menjadi kawasan Binjai Timur. Pada 17 Mei 1872, terjadilah pertempuran sengit antara pejuang Sunggal dengan pasukan Belanda yang hendak menjebol benteng itu. Penanggalan tersebut sampai hari ini ditetapkan sebagai hari jadi kota Binjai. Namun, sejarawan Universitas Negeri Medan, Phil Ichwan Azhari, menyanggah perihal hari jadi kota Binjai.
Baca juga: Raja yang Diasingkan
Menurut Ichwan, bukan 17 Mei 1872, melainkan tanggal 27 Juni 1917-lah hari jadi kota Binjai. Seperti dilansir medanbisnidaily.com, Perang Sunggal tidak punya hubungan historis dengan pembentukan kota Binjai. Sebagai pembanding, Ichwan mengutip catatan arsip kolonial yang menyebutkan pada 27 Juni 1917, pemerintah kolonial menetapkan status Binjai sebagai gementee atau kotamadya.
Sejak ditetapkan menjadi gementee, Binjai bertumbuh jadi kota modern mengikuti Medan. Skripsi berjudul “Gementee Binjai (1917--1942)” yang ditulis Melisa di Universitas Sumatra Utara menyebutkan, antara tahun 1917 hingga 1942 terjadi perkembangan dalam bidang infrastruktur di Binjai. Untuk memenuhi kebutuhan warganya, beberapa sekolah dibangun baik untuk penduduk Eropa, Timur Asing, maupun pribumi. Selain itu, Binjai juga memiliki jaringan air bersih dan jaringan listrik yang dikelola oleh Nederlandsche Indische Gas Maatschappij. Dalam hal kesehatan, Binjai telah memiliki rumah sakit bernama Centraal Hospitaal dan Bangkattan Hospitaal, keduanya masih ada sampai sekarang.
Pada masa pendudukan Jepang, terjadi peristiwa toleransi beragama yang patut dicontoh. Seperti umum diketahui, di bawah pemerintahan militer Jepang, masyarakat dipaksa untuk melakukan “seikere” sebagai wujud pemuliaan kepada kaisar. Lantaran dianggap bid’ah, banyak pihak menolak upacara tersebut, terutama kalangan agamawan. Kelompok masyarakat berbeda agama pun saling tolong-menolong dalam menghadapi tekanan Jepang.
Baca juga: Langsa Diancam, Gubernur Hasan Bertindak Cepat
“Satu peristiwa simbolik yang patut dicatat dalam toleransi itu ialah pelaksanaan ibadat golongan Kristen di Binjai pada zaman Jepang dilakukan buat pertama kali di sekolah Muhamadiyah,” tulis tim peneliti Depdikbud dalam Sejarah Daerah Sumatra Utara.
Binjai jadi saksi pula pada masa perjuangan revolusi mempertahankan kemerdekaan. Selain Medan, menurut Edisaputra dalam Sumatra dalam Perang Kemerdekaan, Binjai merupakan pusat kegiatan pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA), khususnya yang didatangkan dari Aceh. Itulah sebabnya pada Agresi Militer Pertama, 21 Juli 1947, Belanda melacarkan serangan udara memborbardir Binjai.
“Jumlah korban semuanya, 26 orang bangsa Indonesia gugur, yang luka-luka berat 30 orang,” tulis Edisaputra.
Baca juga: Gerilyawan Aceh di Medan Area
Memasuki periode Indonesia merdeka, Binjai menjadi ibukota Kabupaten Langkat. Perannya sebagai kota penyangga membuat Binjai selalu berada di bawah bayang-bayang Medan. Binjai seolah jadi pintu gerbang Medan menuju Aceh. Letaknya yang strategis, menurut pakar sejarah kota Universitas Indonesia Tri Wahyuning M. Irsyam, membuat Binjai masuk kategori kota yang berkembang dengan mengikuti kota lain yang berdekatan.
“Binjai di utara Medan, Cimahi di barat laut Bandung, Sidoarjo di selatan Surabaya, dan Depok di selatan Jakarta. Kota-kota semacam ini disebut sebagai kota satelit,” kata Tri Wahyuning dalam Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950--1990-an.
Sebagai kota satelit, bukan berarti Binjai tidak punya ciri khas. Kota ini dikenal dengan rambutannya yang legit dan manis. Binjai adalah daerah yang subur sehingga memungkinkan rambutan bertumbuh dan berbuah dengan baik. Kesuburan tanah ini dipengaruhi letaknya yang berada di sepanjang Sungai Bingai yang setiap waktu mengalirkan lumpur humus yang kaya unsur hara. Tidak hanya di Medan, rambutan Binjai ini kesohor di seluruh Indonesia karena rasanya yang lezat.
Baca juga: Gerilyawan Tertolong Pohon Rambutan
Selain itu, beberapa tokoh nasional juga berasal dari Binjai. Beberapa di antaranya yakni Mohammad Isa, gubernur pertama Sumatra Selatan, dan sutradara kondang Bachtiar Siagian. Di kalangan generasi milinial ada Paris Pernandes, si petinju pohon pisang yang jadi artis dadakan karena mempopulerkan “Salam dari Binjai”.