Masuk Daftar
My Getplus

Gerilyawan Aceh di Medan Area

Orang-orang Aceh turun ke palagan Medan Area dengan semangat berani mati. Serdadu-serdadu Belanda dibuat ciut oleh mereka.  

Oleh: Martin Sitompul | 11 Mar 2019
Detasemen Artileri Tentara Pelajar Resimen II Aceh - Divisi Sumatera, sedang berbaris untuk menerima instruksi dari Pimpinan Divisi Rencong, awal 1949. Nomor 2: Amran Zamzami. Foto: Dok. Ali Hasjmy.

Akhir Desember, 1946. Amran Zamzami masih berusia 18 tahun saat berangkat dari Langsa menuju Medan. Bukan sesuatu yang aneh bila perjalanannya sekedar jalan-jalan. Namun nyatanya, Amran datang ke Medan hanya untuk satu tujuan: bertempur melawan tentara Belanda.  

“Kami ingin segera menghabisi mereka. Ingin rasanya cepat-cepat menikam Belanda yang bertahan di kota Medan,” tutur Amran kepada penulis Sugiono MP dalam Belajar dan Berjuang.

Amran, pemuda Aceh kelahiran Kutabuloh, seorang pasukan TRI jebolan sekolah Kadet Bireun. Dia merupakan satu dari sekian banyak pemuda Aceh yang ikut bertempur dalam palagan Medan Area. Medan Area adalah pertahanan di mulut pertempuran di mana Belanda terkepung di kota Medan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Teror Pao An Tui di Medan

“Sejarah mempertemukan perjalanan hidupku di Medan Area. Bergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA), di bawah pimpinan Komandan Resimen-ku sendiri, Teuku Cut Rachman dari Meulaboh,” kenang Amran.

Di Medan Area, para pasukan Aceh ini terkonsentrasi di front Barat. Kehadiran mereka lebih dari sekedar bala bantuan. Cukup banyak yang terlibat di garis depan.Dalam beberapa pertempuran terbuka, tentara Belanda dibikin keder juga. Dengan senjata seadanya, pejuang Aceh kerap menebar teror bagi tentara Belanda. Inilah kisah mereka.  

Menjemput Lawan

Sejak Oktober 1945, kota Medan jatuh ke tangan musuh. Pasukan Sekutu yang terdiri dari British-Indian Army dan pasukan Belanda, NICA telah mencaplok ibu kota Sumatera Utara itu. Objek vital di Medan disegel dan ditandai sebagai “Fixed Boundaries Medan Area” untuk dijadikan basis militer. Dari sini kemudian dikenal istilah “Medan Area” yang menjadi palagan pertempuran merebut kembali kota Medan.

Sekutu dan Belanda menjadikan gedung-gedung utama sebagai markas pasukannya. Tak hanya itu, rumah-rumah penduduk Medan tak luput dari sasaran untuk kepentingan tertentu. Demi keselamatan diri, warga sipil terpaksa eksodus dari kota Medan. Mereka mencari tempat yang lebih aman ke pedalaman atau ke arah utara menuju Aceh.

“Penduduk kota itu berbondong-bondong meninggalkan tempat tinggalnya. Diantaranya banyak yang mengungsi ke pedalaman Aceh melalui Tanah Karo dan terus ke Aceh Tengah lewat Kutacane, Blangkejeren dan Takengon,” tulis Abdul Karim Jakobi dalam Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area.

Baca juga: Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Perang

Selain gelombang pengungsi yang silih berganti berdatangan, Di Aceh tersiar kabar mengkhawatirkan. Muncul desas-desus tentara Belanda hendak merebut pusat pertambangan minyak, Pangkalan Brandan di Langkat. Pangkalan Brandan adalah pintu gerbang menuju Aceh. Tak ingin menunggu di tempat, pejuang Aceh lebih memilih untuk menjemput lawan.

Memasuki 1946, orang-orang Aceh mulai berdatangan ke Medan untuk bertempur. Setiba di Medan, pejuang-pejuang Aceh tergabung ke dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) di bawah komando Mayor Teuku Cut Rachman, perwira TRI asal Meulaboh kemudian Mayor Hasan Achmad.

Selain tentara profesional yang tergabung dalam TRI, ikut serta para veteran yang menamakan diri Gerilyawan Muslimin. Mereka adalah gerilyawan Aceh dari dataran tinggi Gayo. Di antara mereka, pada zamannya tenar sebagai “Pang”, jagoan yang telah bertempur melawan Belanda sejak zaman kolonial akhir abad 20 sampai masa pendudukan Jepang. Dari barisan laskar, turut pula Laskar Rakyat Mujahidin dan Laskar Rakyat Hizbullah.

Aksi Legiun Aceh

Reputasi pejuang Aceh yang datang ke Medan cukup diperhitungkan. Mereka tergabung dalam pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang terdiri dari sebelas batalion. Selain dengan senjata ringan, pasukan ini dilengkapi dengan meriam-meriam 4 cm, Penangkis Serangan Pantai (PSP), Penangkis Serangan Udara (PSU), mortir 2 dan 3 inci, bom, dan granat.

Batalion terkuat berkedudukan di Kampung Lalang berdampingan dengan Pasukan Meriam Nukum Sanany yang terkenal ampuh menggempur musuh. Pada 15 Januari 1947, kota Medan digempur pasukan dari Aceh dengan lindungan tembakan meriam. Duel meriam berlangsung selama satu jam.

“Pertahanan Kampung Lalang terkenal sekali kuatnya. Menurut Belanda, front tersebut merupakan pertahanan Republik satu-satunya yang payah dihadapi di Medan Area,” tulis Teuku Alibasyah Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947-1948.

Yang lagi menakutkan, pasukan Aceh kadangkala bergerak dalam kelompok kecil di malam hari. Mereka kerap menyambangi tangsi-tangsi tentara Belanda atau membuntuti patroli musuh yang lengah. Dengan bermodal senjata tajam macam parang, klewang, atau rencong, tak sedikit tentara Belanda yang jadi korban teror pasukan Aceh, kena tebas atau luka parah.  

Baca juga: Alkisah Kompi Parang Berdarah

Untuk mengimbangi luapan pejuang Aceh, markas tentara Belanda sampai-sampai mengirim telegram ke Padang dan Palembang. Isinya behubungan dengan permintaan pasukan tambahan. “’Wij zitten in de miet zend gouw help,” (Kami sedang terjepit, harap segera kirim bantuan),” demikian bunyi pesan itu sebagaimana dicatat Amran Zamzami.

Pasukan Lebah

Selain menggunakan senjata tajam, pejuang aceh di Medan kerap bertempur dengan cara tak lazim. Terhembuslah rumor, pasukan Aceh dibantu oleh “Kompi Pasukan Lebah”. Pengerahan serangga bersengat ini dimobilisasi oleh Pang Lokop, pawang lebah asal Takengon yang disebut-sebut memiliki ilmu tenaga dalam. Selain lebah, menurut Abdul Karim Jakobi, para veteran Aceh suka bertempur dengan senjata tradisional dalam bentuk panah beracun.  

Konon katanya, lebah-lebah gaib dari Aceh ini bisa terbang jarak jauh dari Gayo sampai ke kota Medan. Mereka menyengat tentara Belanda hingga musuh pingsan, bahkan bisa mematikan karena sengatnya sangat berbisa. Lebah-lebah itu digerakkan dengan mantera-mantera.

Baca juga: Gajah Aceh yang Agung

Isu “pasukan lebah” itu cukup membesarkan moril pasukan Aceh di front Medan Barat. Akan tetapi, sekali waktu pernah diinspeksi cara kerja lebah-lebah itu. Apa yang terjadi? Lebah-lebah sama sekali tak bergerak.  Pang Lokop memberi keterangan bahwa anggota kesatuannya itu “ngambek” karena kekurangan logistik berupa cabe merah. Maka dimintakan dana dari markas untuk membeli makanan lebah tersebut berkilo-kilo.

“Setelah lebah-lebah itu puas makan, Pak Lokop mengomando dengan mantera-mantera segala, binatang itu pun terbang ke sana ke mari menyengati Pak Lokop. Ternyata pasukan lebah hanya isapan jempol,” kenang Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area.

Epilog

Hampir empat dekade kemudian, tepatnya pada 1984, kebenaran Pasukan Lebah terkuak. Dalam event International Bridge Invitation, Amran Zamzami bertemu-cengkrama dengan Henk Maaten, Ketua Umum Nederland Bridge Bond. Amran saat itu menjadi pelopor olahraga Bridge di Indonesia. Sementara Henk, tak lain merupakan keponakan langsung dari Dr. J.J. van der Velde, penasihat politik Gubernur Jendral Belanda, H.J. van Mook dan penulis buku Surat-surat dari Sumatera.

Nostalgia di antara keduanya pun terjadi. Henk mengatakan saat revolusi Indonesia, dia menjadi komandan peleton tempur di sekitar kota Medan pada tahun 1947 dengan pangkat Eerste Luitenant (Letnan Satu). Pos penjagaannya di sekitar Glugur, Petisah, dan Sei Sikambing, persis berhadapan langsung dengan kompi Amran yang siaga di Kampung Lalang. Tak berapa lama di Medan, Henk kemudian dipindahtugaskan ke wilayah Tapanuli. Dia cukup mahir berbahasa Batak.

Baca juga: Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?

“Di antara tentara Belanda saat itu, kalau bisa menghindari tugas di Front Barat (Medan Area), karena ada tentara Aceh yang terkenal nekad dan bangga akan kematian. Itu cukup menakutkan kami,” kata Henk.

“Jadi anda pernah merasakan sengatan tawon Pang Lokop?,” tanya Amran.

“Ya, apa itu tawon?,”

“Sebangsanya lebah berbisa yang dapat mematikan karena bisanya.”

“ha..ha..ha..,” Henk tertawa terbahak-bahak. “Di Holland kami biasa meminum madunya,” katanya.

Pengakuannya yang bernada guyon, disambung ucapan, “Ooh! The world is getting smaller.” Suasana akrab terjalin diantara keduanya. Dendam di masa peperangan telah sirna.

Baca juga: Damai Sebagai Jalan Keluar

 

 

TAG

Aceh Revolusi Sejarah-Medan

ARTIKEL TERKAIT

Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Persahabatan Sersan KNIL Boenjamin dan dr. Soemarno Sejumput Kisah Sersan Baidin Napoleon yang Sarat Dramatisasi Sersan Zon Memburu Panglima Polim Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi Sebelum Sersan Pongoh ke Petamburan Darlang Sang "Radja Boekit" Meninggal di Meja Bedah Tewasnya Kapten "Sakti" Paris