Masuk Daftar
My Getplus

Raja yang Diasingkan

Ketika mendengar rajanya tertangkap dan dibuang oleh Belanda ke Cianjur, rakyat Sunggal berkabung selama tiga bulan.

Oleh: Hendi Johari | 18 Jul 2018
Makam Raja Sunggal di Pamoyanan, Cianjur. Foto: Hendi Jo

Tak sulit menemukan makam Sri Diraja Datuk Badiuzzaman Surbakti, raja Sunggal, di Kompleks Pemakaman Pamoyanan, Cianjur. Begitu masuk dan menyebut “makam Istana Deli”, penjaga kompleks pemakaman akan membawa Anda ke sebuah pusara kokoh berumpak dua. Namun tak ada yang tahu siapa Datuk Badiuzzaman. Termasuk Iwan (42), penjaga kompleks pemakaman.

“Yang jelas hampir setiap tahun makamnya dikunjungi orang-orang dari luar Cianjur, terutama dari Jakarta dan Sumatra,” ujar Iwan.

Pemimpin Perang Sunggal

Advertising
Advertising

Dalam catatan arsip-arsip Belanda, Datuk Badiuzzaman ditabalkan sebagai salah satu pemimpin Perang Batak (Batak Oorlog), sebuah penyebutan yang salah-kaprah karena Sunggal merupakan bagian dari Karo. Menurut Uli Kozok, ahli budaya dan sastra Batak dari University of Hawaii, Amerika Serikat, istilah tersebut membingungkan.

“Yang dimaksud dengan Batak ialah Karo. Jadi terjemahan yang lebih tepat daripada Batak Oorlog adalah Perang Karo,” ujarnya.

Namun penyebutan Perang Karo tidak populer. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebutnya sebagai Perang Sunggal. Salah satunya Tengku Luckman Sinar, sejarawan Sumatra Utara yang menulis buku Perang Sunggal (1872-1895).

“Perang ini merupakan kejadian yang sangat penting, bukan saja bagi orang-orang Sunggal tapi juga bagi pihak Belanda, karena akibat perang ini mereka harus mengeluarkan ongkos yang sangat besar,” tulis Tengku Luckman Sinar, yang masih keturunan Sultan Deli.

Bibit-bibit Perang Sunggal bermula dari ambisi Kesultanan Deli menguasai lahan orang-orang Sunggal sepeninggal Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, raja Sunggal, pada 1857. Datuk Muhammad Kecil Surbakti, adik Datuk Ahmad yang memegang kendali kerajaan untuk sementara karena putra raja masih kecil, melakukan perlawanan.

Tak yakin dengan kekuatan militernya, pada 1865 Sultan Mahmud mengundang pihak Hindia Belanda untuk terjun dalam konflik tersebut. Sebagai kompensasi, dia berjanji menyerahkan lahan-lahan subur milik Sunggal kepada maskapai tembakau milik orang-orang Belanda.

Datu Kecil bereaksi keras. Terlebih Sultan Mahmud memenuhi janjinya kepada Belanda. Bersama Sulong Barat dan Datuk Jalil, Datuk Kecil menyiapkan 1.500 pasukan. Perang meletus pada 1872. Namun kekuatan gabungan Deli-Hindia Belanda berhasil menangkap Datuk Kecil, Datuk Jalil, Sulong Barat, dan empat panglima perang Sunggal pada November 1872.

“Setelah 10 bulan disekap di Riau, mereka lalu dibawa ke Batavia,” tulis Tengku Luckman Sinar.

Tertangkapnya para datuk dan panglima Perang Sunggal tak menyurutkan perlawanan. Dipimpin Datuk Badiuzzaman, putra Datuk Ahmad yang sudah beranjak dewasa dan memimpin kerajaan, perang terus berkobar. Saking dasyatnya, Hindia Belanda harus bersusah-payah.

“Belanda tercatat tiga kali mengirim bantuan ekspedisi militernya dari Batavia,” ujar Asmyta Surbakti, pegiat Sumatra Heritage Trust.

Dikelabui Belanda

Tahun 1895, Hindia Belanda mengajukan tawaran berdamai. Sebagai bentuk “keseriusan”, mereka mengundang Datuk Badiuzzaman untuk berunding dengan Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck di Batavia.

Tanpa curiga, undangan tersebut dipenuhi. Bersama adiknya (Datuk Alang Mohammad Bahar), sekretarisnya (Datuk Mahmood), dan ajudannya (Da’im), dia bertolak ke Batavia. Namun, setiba di Batavia, bukan perundingan yang mereka terima namun penghinaan. Gubernur jenderal menyatakan akan memaafkan segala “kesalahan” Datuk Badiuzzaman jika mau bersujud di depan kakinya. Datuk Badiuzzaman menolak mentah-mentah:

“Biar mati sekalipun, saya tak akan pernah jongkok minta ampun di depan orang-orang Belanda.”

Akibat penolakan itu, hukuman dijatuhkan. Datuk Badiuzzaman dan Datuk Alang dihukum buang seumur hidup; masing-masing ke Cianjur dan Banyumas. “Ketika kabar itu sampai di Sunggal, tiga bulan lamanya rakyat Sunggal menyatakan berkabung,” tulis Tengku Luckman Sinar.

Belum ditemukan data-data sejarah tentang kehidupan Datuk Badiuzzaman sebagai orang buangan di Cianjur. “Hingga kini, kami belum mengetahui penyebab dan kapan wafatnya,” ujar Asmyta Surbakti.

TAG

Badiuzzaman Sunggal Cianjur

ARTIKEL TERKAIT

Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua Gempa Merusak Keraton Bupati dan Masjid Agung Cianjur Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung Gempa Besar bagi Bupati Cianjur Gempa Bumi Mengguncang Cianjur Akhir Petualangan Haji Prawatasari Persekutuan Rahasia Prawatasari-Ki Mas Tanu Menak Pemberontak dari Jampang Manggung Sang Pembawa Peluru Sultan Jailolo Mencari Leluhur Hingga Cianjur